Adab-adab Doa

Ketahuilah wahai saudariku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatimu! Doa merupakan senjata orang-orang yang beriman. Sehingga seorang hamba tidak patut meninggalkan doa kepada Rabbnya. Apatah lagi telah ada perintah dan janji dari-Nya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ

“Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.” (al-Ghafir: 60)

Namun perlu kita perhatikan untuk berdoa itu ada adab-adabnya yang tidak boleh diabaikan bila memang diinginkan doa itu mustajab. Beberapa di antara adab tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Menjauhi makanan, minuman dan pakaian yang diperoleh dari hasil yang haram. Dalam hadits Abu Hurairah rahimahullah disebutkan:

Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan yang panjang, dalam keadaan kusut masai lagi berdebu. Ia membentangkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia diberi makan dari yang haram, lalu dari mana doanya akan dikabulkan ? (HR. Muslim no. 2343 kitab Az-Zakah, bab Qabulush Shadaqah minal Kasbith Thayyib)

 

  1. Mengikhlaskan doa hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana Dia Yang Maha Suci berfirman:

فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Berdoalah kalian kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama untuk-Nya.” (al-Ghafir: 14)

 

  1. Tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan shalih yang pernah dilakukan sebagaimana kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua, tidak bisa keluar darinya, kemudian masing-masingnya berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyebut amalan shalih yang pernah mereka lakukan hingga akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala pun memerintahkan batu yang menutupi mulut gua tersebut agar bergeser hingga mereka bertiga dapat keluar darinya. (lihat HR. Bukhari no. 3465, kitab Ahaditsul Anbiya’, bab Haditsul Ghar dan Muslim no. 6884, kitab At-Taubah, bab Qishshah Ashabil Ghar Ats-Tsalatsah wat Tawassul bi Shalihil A‘mal)

 

  1. Menghadap kiblat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendoakan umatnya, beliau berdoa dengan mengangkat tangan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini: ‘Amr ibnul ‘Ash rahimahullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:

Wahai Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia maka siapa yang mau mengikutiku berarti ia termasuk golonganku.

Nabi ‘Isa  ‘alaihissalam berkata:

“Jika Engkau mengazab mereka maka sungguh mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau adalah Maha Perkasa lagi memiliki hikmah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat kedua tangannya seraya berdoa:

“Ya Allah! Umatku, umatku. Dan beliau menangis.” (HR. Muslim no. 489, kitab Al-Iman, bab Du‘an Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam li Ummatihi wa Buka’uhu Syafaqatan ‘alaihim)

Di antara faedah yang didapatkan dari hadits di atas kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah disenanginya mengangkat kedua tangan ketika berdoa. (Al-Minhaj, 3/74)

 

  1. Membentangkan kedua tangan dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala malu bila seorang hamba-Nya membentangkan kedua tangannya untuk memohon kebaikan kepada-Nya lalu ia mengembalikan kedua tangan itu dalam keadaan hampa/gagal.” (HR. Ahmad 5/438, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1757)

 

  1. Meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah (Al-Asma’ul Husna), Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ

“Milik Allah-lah Al-Asma’ul Husna, maka berdoalah kalian dengan menyebut nama-nama tersebut.” (al-A’raf: 180)

  1. Berdoa dengan doa-doa yang ma’tsur (ada atsarnya) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Meminta dengan penuh kesungguhan dan penuh harapan. Shahabat yang mulia Abu Hurairah rahimahullah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian berdoa dengan mengatakan: “Ya Allah, ampunilah aku bila Engkau mau, rahmatilah aku bila Engkau mau.” Namun seharusnya ia bersungguh-sungguh (menghiba) dalam permintaannya (kepada Allah), karena sesungguhnya tidak ada yang dapat memaksa-Nya.

Dalam satu lafadz: …akan tetapi hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permintaannya dan membesarkan harapannya. Karena sesungguhnya tidaklah memberatkan Allah (atau tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menganggap besar) sesuatu yang diberikannya.” (HR. Bukhari no. 6339, kitab Ad-Da‘awat, bab Li Ya‘zimal Mas’alah Fainnahu La Mukraha lahu dan Muslim no. 6752 , kitab Adz-Dzikr wad Du‘a, bab Al-‘azmu bid Du‘a wa laa Yaqul In Syi’ta)

  1. Menghadirkan hati dan meyakini doanya akan diijabahi. Abu Hurairah rahimahullah mengabarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Berdoalah kalian kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai lagi main-main.” (HR. At-Tirmidzi no. 3479. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 594 dan Shahih Tirmidzi)

  1. Mengulang-ulang doa dengan dalil potongan dari hadits Ibnu Mas‘ud rahimahullah yang panjang:

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila berdoa beliau berdoa tiga kali dan bila meminta beliau minta tiga kali.”(HR. Muslim no. 4625, kitab Al-Jihad was Sair, bab Ma Laqiyan Nabiyyu shallallahu ‘alaihi wa sallam min Adzal Musyrikin wal Munafiqin)

  1. Tidak berdoa dengan sesuatu yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahim, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Terus menerus dikabulkan permintaan seorang hamba selama ia tidak berdoa dengan sesuatu yang mengandung dosa dan pemutusan silaturahim.” (HR. Muslim no. 6871, bab Bayanu Annahu Yustajabu Lid Da‘i Ma Lam Ya‘jal…)

  1. Seorang mukmin tidak sepantasnya bersikap terburu-buru, ingin segera terkabul doanya dan merasa begitu lambatnya doanya dikabulkan, hingga keluar omongan dari lisannya: “Aku telah berdoa namun doaku belum juga dikabulkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dikabulkan doa salah seorang dari kalian selama ia tidak terburu-buru (ingin segera dikabulkan doanya, -pent.) hingga ia berkata: “Aku telah berdoa, namun belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, kitab Ad-Da‘awat, bab Yustajabu lil ‘Abd Ma Lam Ya‘jal dan Muslim no. 6869, kitab Adz-Dzikr wad Du’a, bab Bayanu Annahu Yustajabu lid Da‘i Ma Lam Ya‘jal fa Yaqulu: Da‘awtu falam Yustajab Li)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Terus menerus dikabulkan doa seorang hamba selama ia tidak meminta perkara yang mengandung dosa dan pemutusan silaturahim, dan selama ia tidak terburu-buru (minta disegerakan). Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan terburu-buru (isti`jal) ?” Beliau menjawab: “Orang yang terburu-buru itu berkata: “Sungguh aku telah berdoa namun aku belum melihat doaku dikabulkan.” Lalu ketika itu ia merasa capek berdoa dan jenuh dan ia pun meninggalkan doa (tidak mau lagi berdoa kepada Allah-pent.)”(HR. Muslim 6871, kitab Adz-Dzikr wad Du’a, bab Bayanu Annahu Yustajabu lid Da‘i Ma Lam Ya‘jal fa Yaqulu: Da‘awtu falam Yustajab Li))

  1. Memperbanyak doa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila salah seorang dari kalian meminta maka hendaklah ia memperbanyak permintaannya karena dia sedang meminta kepada Rabbnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 2403, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1325)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Siapa yang menyenangkannya bila Allah mengabulkan doanya ketika ia ditimpa kesempitan dan bencana, maka hendaklah ia memperbanyak doa ketika dalam keadaan lapang/senang.” (HR. At-Tirmidzi no. 3382, kitab Ad-Da‘awat, bab Ma Ja`a Annad Da‘watal Muslim Mustajabah. Dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 593 dan Shahih At-Tirmidzi)

Demikian beberapa adab doa yang dapat kami haturkan untukmu, wahai saudariku. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

 

adab doa