Adab Mulia Menghadapi Ketentuannya

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)

Islam adalah agama yang mulia. Islam datang membawa syariat yang sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun melainkan Islam pasti telah mensyariatkannya. Demikian pula, tidak ada satu kejelekan pun melainkan Islam telah melarangnya.
Allah l berfirman:

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu.” (al-An’am: 115)
Menurut sebuah penafsiran, maksudnya adalah Al-Qur’an.
Rasulullah n bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Hal ini karena Rasulullah n telah menjelaskan kepada seluruh umat manusia segala sesuatu yang telah diturunkan oleh Rabbnya kepadanya, baik hal yang rinci maupun global, urusan yang tampak maupun tidak. Sampai-sampai beliau n juga mengajarkan kepada mereka segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hal makanan, minuman, pernikahan, pakaian, dan tempat tinggal mereka. Beliau n juga mengajari mereka tentang adab-adab makan, minum, bersuci dari buang besar dan air kecil. Beliau n juga mengajarkan adab-adab perkawinan, pakaian, masuk dan keluar rumah. Beliau n juga mengajari mereka segala sesuatu yang dibutuhkan dalam hal beribadah kepada Allah k, seperti thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Beliau n juga mengajari mereka segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hal pergaulan dengan orang lain, seperti birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), silaturahim, berteman, bertetangga yang baik, dan yang lainnya. Beliau n juga telah mengajari manusia cara bermuamalah di antara mereka, seperti jual beli, gadai, sewa-menyewa, hibah, dan lainnya. Sampai-sampai Abu ad-Darda z berkata, “Sungguh, Rasulullah n telah meninggal dalam keadaaan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di langit, melainkan beliau n telah menyebutkan ilmunya kepada kami.” (HR. Ahmad, ath-Thayalisi, dan Ibnu Majah)
Dalam Shahih Muslim, dari Salman z bahwa beliau n ditanya, “Apakah nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu kepada kalian, sampai-sampai (adab) buang air besar?”
Salman z menjawab, “Tentu. Sungguh, beliau n melarang kami menghadap kiblat ketika waktu buang air besar atau buang air kecil.” (Mukadimah Taqrib at-Tadmuriyah, hlm. 7—8)
Para pembaca, oleh karena itulah, ketika kita menghadapi berbagai ketentuan Allah l, hendaknya kita tidak mempermasalahkan ketentuan yang terjadi. Akan tetapi, hendaknya kita menyikapinya dengan benar sehingga semakin menyempurnakan keimanan dan ketakwaan kita kepada-Nya.
Ada beberapa adab syar’i yang dituntunkan oleh Allah l dan Rasul-Nya n. Berikut ini beberapa adab yang perlu diperhatikan.

1. Beriman kepada takdir-Nya yang sempurna
Tatkala kita menyaksikan suatu kejadian, kita langsung yakin bahwa inilah ketentuan Allah l yang pasti terjadi. Allah l berfirman:

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadid: 22)
Rasulullah n bersabda:
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛
“Apabila suatu musibah menimpamu, janganlah engkau berkata, ‘Kalau saja aku berbuat demikian, tentu akan terjadi demikian dan demikian.’ Akan tetapi katakanlah, ‘(Ini adalah) ketentuan Allah. Apa saja yang Dia kehendaki pasti terjadi’, karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Apa pun yang kita lakukan dan usahakan, tidak akan bisa menolak ketentuan-Nya. Allah l berfirman:

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.” Katakanlah, “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (Ali Imran: 168)
Rasulullah n bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Yakinilah, apabila umat ini bersepakat untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikannya melainkan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah untukmu. Apabila mereka bersekongkol untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak mampu melakukan selain sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah akan menimpamu. Pena-pena pencatat takdir telah diangkat, dan lembaran-lembaran catatan takdir telah kering.” (HR. at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas c)
2. Ridha terhadap ketentuan-Nya dan berserah diri kepada-Nya
Kita adalah makhluk yang lemah, milik Allah l, dan berada di bawah kehendak-Nya. Dengan demikian, ketika ada suatu musibah menimpa kita, sikap yang mulia adalah berserah diri (istislam) kepada Allah l atas ketentuan/takdir tersebut, kemudian meridhainya.
Allah l berfirman:

(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (al-Baqarah: 156)
Rasulullah n membimbing putri beliau, Zainab x, dengan bimbingan mulia dan bijaksana dalam hal menghadapi ketentuan Allah l. Beliau n bersabda:
إِنَّ لِلهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلٌّ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
“Sesungguhnya, milik Allah sajalah yang Dia ambil. Hanya milik-Nya pula yang Dia berikan. Segala sesuatu sudah ada ketentuan ajalnya di sisi-Nya. Hendaknya dia bersabar dan mengharapkan (balasannya).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Zaid Usamah bin Zaid c)
Disunnahkan bagi seseorang untuk ber-istrija’ dan berdoa ketika tertimpa musibah. Ummu Salamah x mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخْلُفْنِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلَّا أَجَرَهُ اللهُ فِي مُصِيبَتِهِ وَخَلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidaklah seorang hamba ditimpa oleh suatu musibah lalu ia berdoa, ‘Sesungguhnya kita adalah milik Allah l dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, karuniailah aku pahala atas musibah yang menimpaku ini. Karuniakanlah pengganti bagi diriku yang lebih baik darinya’, melainkan Allah l akan mengaruniakan pahala kepadanya atas musibah yang menimpanya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Ummu Salamah x berkata, “Tatkala Abu Salamah z (suaminya) meninggal, aku pun berdoa sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah n kepadaku ini. Allah l pun mengaruniaiku pengganti yang lebih baik darinya, yaitu Rasulullah n.” (HR. Muslim)
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan itu tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah l mencintai satu kaum, Ia akan menguji mereka. Barang siapa ridha (dengan ujian tersebut), dia akan mendapatkan keridhaan (dari Allah l), sedangkan barang siapa yang murka, dia juga akan mendapatkan kemurkaan (dari Allah l).” (HR. at-Tirmidzi dari Anas z)

3. Sabar dan mengharapkan pahalanya
Rasulullah n menasihati putrinya, Zainab x, sebagaimana disebutkan dalam hadits Usamah bin Zaid c:
فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
“Hendaknya dia bersabar dan mengharapkan (balasannya).” (Muttafaqun alaih)
Bersabar maknanya adalah tidak marah dan murka terhadap takdir Allah l, baik dalam hati, pada lisan, maupun anggota badan. Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah orang yang memenangi gulat. Orang yang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan dirinya tatkala marah.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Dari Ibnu Umar c, bahwasanya Rasulullah n bersama dengan Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Mas’ud g, menjenguk Sa’d bin Ubadah z. Beliau n menangis. Ketika melihat beliau n menangis, mereka pun ikut menangis. Beliau n lalu berkata, “Tidakkah kalian mendengar? Sesungguhnya Allah l tidak akan mengazab karena air mata dan sedihnya hati, namun Ia akan mengazab atau merahmati karena ini.” Beliau n menunjuk lisannya. (Muttafaqun alaih)
Rasulullah n juga bersabda tatkala putra beliau n, Ibrahim, meninggal dunia:
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Sungguh, mata ini menangis, hati pun bersedih, namun kami tidak akan mengucapkan selain yang menjadikan ridha Rabb kami. Sesungguhnya kami, wahai Ibrahim, sedih berpisah denganmu.” (HR. al-Bukhari dari Anas z)
Kita juga tidak boleh melampiaskan kemarahan dan kemurkaan dengan perbuatan, seperti memukul, menampar, menendang, merobek, dan lainnya. Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan golongan kami, orang yang menampar-nampar pipi, merobek kerah baju, dan memanggil dengan panggilan jahiliah.” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Mas’ud z)
Yang harus senantiasa kita hadirkan adalah perasaan berbaik sangka kepada Allah l, apa pun masalah yang kita hadapi.
Allah l berfirman tentang orang-orang munafik:

Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (Ali Imran: 154)
Rasulullah n bersabda:
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan ia berbaik sangka kepada Allah k.” (HR. Muslim, al-Baihaqi, dan Ahmad, dari Jabir bin Abdillah c)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t mengatakan, “Terkait dengan apa yang Allah l perbuat terhadap alam semesta ini, yang wajib adalah engkau berbaik sangka kepada Allah k dan berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah l hanyalah terjadi dengan hikmah-Nya yang sempurna. Terkadang akal mampu menjangkaunya dan terkadang pula tidak. Dengan inilah akan tampak jelas keagungan dan hikmah Allah l dalam hal ketentuan-Nya. Oleh karena itu, janganlah berprasangka jelek kepada Allah l apabila dia melakukan sesuatu di alam semesta ini.” (al-Qaulul Mufid, 2/382—383)
Selayaknya kita mengharapkan ampunan dan rahmat-Nya dalam ketentuan takdir-Nya karena berbagai takdir yang menyedihkan itu terjadi disebabkan kesalahan dan dosa-dosa kita. Allah l berfirman:

“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (asy-Syura: 30)
Berbagai ujian dan cobaan yang menimpa kita akan menjadi penghapus dosa kita, sebagaimana sabda Rasulullah n:
مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Senantiasa ujian dan cobaan itu menimpa diri, anak, dan harta seorang mukmin dan mukminah, hingga dia bertemu dengan Allah l dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z)
Bahkan, balasan yang dijanjikan jauh lebih baik daripada apa yang kita korbankan. Rasulullah n bersabda:
مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Allah l berfirman, ‘Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang mukmin ketika Aku mengambil orang yang dicintainya dari kalangan penduduk dunia lalu ia mengharapkan pahalanya, selain al-jannah (surga)’.” (HR. al-Bukhari)
Dari Anas z, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ قَالَ: إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ- يُرِيدُ عَيْنَيْهِ
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya (yaitu kedua matanya menjadi buta) lalu dia bersabar, niscaya Aku akan menggantinya dengan surga untuknya’.” (HR. al-Bukhari)

Pelajaran dari Wanita Calon Penghuni Surga
Ada sebuah pelajaran berharga dari seorang wanita calon penghuni surga. Dikisahkan oleh Atha bin Abi Rabah t, Ibnu Abbas c berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita calon penghuni surga kepadamu?” Aku jawab, “Tentu.” Beliau lalu berkata, “Ada seorang wanita berkulit hitam yang datang kepada Rasulullah n dan berkata, ‘Saya terkena penyakit ayan (epilepsi). Aurat saya akan tersingkap kalau penyakit saya itu kambuh. Doakanlah saya!’ Nabi n menjawab, ‘Kalau engkau mau bersabar, balasan bagimu adalah surga. Tetapi, jika engkau mau (sembuh), aku akan mendoakanmu agar Allah menyembuhkanmu.’ Wanita itu lalu menjawab, ‘Aku akan bersabar. Namun, auratku akan tersingkap, maka doakan agar tidak tersingkap.’ Beliau n pun mendoakannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Masih ada pelajaran lain, dari wanita yang lain pula.
Anas z bercerita bahwa anak lelaki Abu Thalhah z merintih sakit. Abu Thalhah z lalu pergi (untuk satu keperluan). Anak lelaki tersebut kemudian meninggal.
Ketika pulang, dia bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim x, ibu Anas z), “Bagaimana keadaan anakku?”
Istrinya menjawab, “Dia sangat tenang sebagaimana mestinya.”
Istrinya lantas menyiapkan makan malam. Setelah itu, mereka melewatkan malam itu berdua. Dalam riwayat lain disebutkan sang istri berdandan lebih cantik dari apa yang pernah dia lakukan sebelumnya sehingga Abu Thalhah menggaulinya. Setelah selesai, istrinya berkata, “Makamkanlah anak laki-laki itu!”
Pagi harinya, Abu Thalhah menemui Rasulullah n dan mengabarkan apa yang terjadi malam itu.
Beliau n bertanya, “Apakah kalian tadi malam bersenang-senang?”
Abu Thalhah menjawab, “Benar.”
Rasulullah n berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.”
Beberapa waktu kemudian, istrinya mengandung dan melahirkan seorang anak lelaki. Abu Thalhah lalu menyuruh Anas membawanya kepada Rasulullah n. Beliau n bertanya, “Apakah ia membawa sesuatu?”
Anas menjawab, “Ya, ada beberapa butir kurma.”
Rasulullah n mengambil dan mengunyahnya. Beliau n lalu mengambil dari mulutnya dan memasukkannya ke dalam mulut anak itu. Beliau mentahniknya dan menamainya Abdullah.
Kisah di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Dalam riwayat al-Bukhari yang lain disebutkan bahwa Ibnu Uyainah t mengatakan, “Seorang lelaki dari kalangan Anshar mengatakan, ‘Lahirlah sembilan anak lelaki yang semuanya hafal Al-Qur’an’, yakni anak-anak dari Abdullah (bin Abu Thalhah).”
Mengambil Pelajaran dan Peringatan dari Peristiwa yang Terjadi
Seorang mukmin yang cerdas dan pandai akan mengambil pelajaran dan peringatan dari berbagai peristiwa, baik yang terjadi pada dirinya maupun pada orang lain, baik pada umat ini maupun umat terdahulu.
Allah l berfirman:

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, serta petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 137—138)
Rasulullah n bersabda:
لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
“Tidak sepantasnya seorang mukmin disengat dua kali dari satu lubang.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t mengatakan, “Seorang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama karena dia hati-hati, cerdas dan pandai (mengambil pelajaran dari peristiwa yang telah menimpanya).” (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/298)
Mudah-mudahan Allah l senantiasa menunjuki kita ke jalan-Nya yang mulia sampai ajal menjemput kita. Amin, ya Rabbal ‘alamin.

4. Tidak beralasan dengan takdir untuk terus-menerus bermaksiat
Allah l memberitakan sekaligus membantah kaum musyrikin yang beralasan dengan takdir dalam hal perbuatan syirik dan penghalalan segala yang Dia l haramkan, dalam firman-Nya:

Orang-orang yang mempersekutukan Allah akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kalian dapat mengemukakannya kepada Kami? Kalian tidak mengikuti selain persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanya berdusta.” Katakanlah, “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat. Jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya.” (al-An’am: 148—149)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t berkata, “Kalau saja alasan mereka itu benar, sungguh mereka akan selamat dari hukuman dan Allah l tidak akan menimpakan azab kepada mereka. Azab-Nya tidak menimpa selain yang berhak mendapatkannya. Dari sinilah dapat diketahui/diyakini bahwa alasan mereka itu keliru.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 278)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Seandainya sebuah pengumuman penerimaan pegawai/karyawan termuat di surat kabar yang menyebutkan gaji sekian dan pekerjaan lain gajinya lebih kecil, niscaya Anda akan berusaha mendapatkan pekerjaan yang bergaji paling tinggi. Kalau tidak dapat, Anda akan berusaha mendapatkan yang lainnya. Kala masih tidak berhasil mendapatkannya, Anda akan mencela diri Anda sendiri karena kurangnya usaha Anda.
Kita juga memiliki amalan-amalan agama, seperti shalat lima waktu yang menghapus dosa-dosa yang terjadi di antara waktu-waktu shalat tersebut. Shalat lima waktu ibarat sebuah sungai yang ada di depan pintu rumah kita, kita bisa mandi dari air sungai tersebut lima kali sehari. Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan pahala 25 kali lipat. Mengapa Anda meninggalkan amalan-amalan ini dan berdalil dengan takdir, padahal untuk masalah pekerjaan Anda memilih yang paling tinggi gajinya? Mengapa Anda tidak beralasan dengan takdir pula pada masalah-masalah duniawi, namun beralasan dengan takdir ketika berhadapan dengan masalah akhirat?! Dengan demikian, beralasan dengan takdir untuk tetap bergelimang dalam kemaksiatan adalah ucapan yang batil berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah serta logika.” (al-Qaulul Mufid, 2/408)
Wallahu a’lam.