AMANAH DALAM ZAKAT

Sesungguhnya banyak problem zakat yang mengitari umat. Salah satunya adalah soal pendistribusian zakat. Amil zakat baik berupa lembaga maupun badan yang profesional memang sudah menjamur. Demikian juga dengan badan yang dibentuk Pemerintah Daerah atau Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota juga sudah mapan dalam menggenjot potensi zakat sebagian masyarakat. Belum termasuk amil zakat yang dibentuk tahunan menjelang Idul Fitri sebagaimana tampak di masjid-masjid. Namun, penditribusian yang tidak tepat sasaran tetap menjadi ganjalan hingga kini.
Zakat, meskipun dari dan untuk umat, tetap punya peruntukan tersendiri. Jadi, ia tidak bisa disalurkan untuk kepentingan di luar yang telah digariskan syariat. Pembangunan masjid/mushalla, pembangunan pondok pesantren, insentif karyawan tidak tetap atau honorer, dana untuk ormas atau partai berlabel Islam—langsung/tidak langsung—, sering diambilkan dari dana zakat. Padahal kita tidak boleh gegabah dalam menyalurkan zakat karena itu menyangkut amanah yang mesti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah l kelak. Karena itu, tidak bisa kita bermudah-mudah dalam menyalurkan dana zakat dengan dalih demi “Islam”, demi “dakwah”, dan sebagainya.
Tumpang tindihnya peruntukan zakat ini tak bisa dimungkiri menjadi faktor yang menyebabkan “energi” zakat menjadi tidak maksimal. Banyak tokoh agama yang terhitung mampu justru rutin mendapat gelontoran dana zakat—dengan istilah bisyarah atau lainnya—, padahal masih banyak tetangganya yang hidup menderita. Banyak masjid berdiri megah—meski tempatnya sangat berdekatan—yang dana pembangunannya bersumber dari zakat. Sementara di tempat lain, banyak masyarakat miskin yang tidak bisa makan secara layak. Lebih parah lagi, kemegahan masjid tersebut ternyata tak diimbangi dengan jumlah orang yang memakmurkannya.
Ini tentu ironis. Kita acapkali bersemangat ketika berbicara pemurtadan karena faktor ekonomi yang dialami saudara-saudara kita. Namun, kepekaan kita ternyata masih tumpul kala berbicara tentang zakat. Banyak orang justru berdalih macam-macam untuk menghindari kewajiban zakat. Alhasil, kerabat atau tetangga dekat kita yang miskin saja nyaris tak tersentuh.
Zakat, ditambah sedekah dan infak, sebenarnya punya kekuatan besar bila dikelola dengan benar. Itulah sebabnya, kita mesti memahami fikih zakat dan adab-adab penyalurannya agar kita—terutama yang menjadi petugas zakat atau amil—tidak serampangan menyalurkannya. Tafsir tentang siapa-siapa yang berhak menerima zakat harus dipahami dulu agar kita tidak salah bertindak. Alih-alih menyoal tepat sasaran, sikap amanah kita dalam hal zakat sendiri nyata-nyata masih perlu diuji.