Antara Cinta dan Benci

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Cinta dan benci adalah dua kata yang bertolak belakang. Kurang lebih sepadan dengan “suka dan tidak suka” atau “sudi dan tidak sudi.” Cinta akan datang jika segala keinginan tercapai dan segala kemauan tersalurkan. Benci datang apabila tidak tercapai apa yang diinginkan dan muncul sesuatu yang tidak disukai.
Jika cinta itu datang dan muncul, pasti Anda akan mempersiapkan diri untuk menyerahkan segala pengorbanan yang dituntut oleh cinta tersebut. Namun, jika benci itu datang, Anda pasti akan mempersiapkan langkah-langkah untuk membalas dan meluapkan rasa benci Anda. Itu adalah hal yang telah menghiasi langkah setiap manusia. Allah l telah menjelaskannya hal ini dalam sebuah firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
Di dalam ayat ini, Allah l memberitakan kondisi manusia yang lebih mencintai urusan dunia daripada urusan akhirat. Allah l juga menjelaskan adanya perbedaan yang besar antara kedua negeri tersebut. Allah l memberitakan bahwa semua hal ini telah dihias-hiasi sehingga mata manusia terbelalak melihatnya. Perhiasan yang memikat hati. Setiap jiwa terlena dalam kelezatannya. Setiap orang cenderung kepada bagian dunia yang disebutkan sehingga menitikberatkan keinginannya pada hal tersebut. Itulah batas ilmunya, padahal itu adalah kenikmatan yang sedikit dalam masa yang singkat. (Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 102)
Lalu, untuk dan karena siapa cinta dan benci yang ada pada diri Anda?
Inilah yang perlu dijawab dan dicari jalan keluarnya agar cinta dan benci tidak salah dalam penerapan. Jika penerapan cinta dan benci salah, akan menimbulkan banyak pelanggaran.
– Meremehkan aturan-aturan Allah l dan Rasul-Nya, yang penting keinginannya bisa tercapai.
– Menodai cinta dan benci itu sendiri, padahal keduanya adalah salah satu bentuk ibadah batin.
– Menjadikan lawan sebagai kawan dan kawan sebagai lawan.
Munculnya dampak yang besar ini jika terjadi salah aplikasi, menyebabkan hal ini harus diluruskan dan diperjelas.

Cinta dan Benci sebagai Ibadah
Tahukah Anda bahwa kedua kata yang bertolak belakang ini, cinta dan benci, bisa menjadi ibadah batin kepada Allah l?
Jika Anda telah mengetahuinya, tahukah Anda, siapa yang harus kita cintai dan yang harus kita benci?
Kita mencintai Allah l dan Rasul-Nya. Konsekuensinya, kita harus mencintai siapa saja yang mencintai dan dicintai oleh Allah l dan Rasul-Nya. Kita mencintai para rasul, para malaikat, dan orang-orang yang beriman. Sebaliknya, kita harus membenci siapa saja yang membenci Allah l dan Rasul-Nya atau yang menjadi musuh Allah l dan Rasul-Nya. Kita membenci orang-orang kafir, pelaku kesyirikan, pelaku kebid’ahan, dan pelaku kemaksiatan.
Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 54)
Bahwa cinta dan benci itu adalah ibadah, telah dijelaskan oleh Rasulullah n dalam sabdanya:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tali iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah k.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir no. 10531 dan 10537 dari sahabat Abdullah bin Mas’ud z, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ no. 2537 dan ash-Shahihah no. 1728)
مَنْ أَحَبَّ لِلهِ وَأَبْغَضَ لِلهِ وَأَعْطَى لِلهِ وَمَنَعَ لِلهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ
“Barang siapa mencintai karena Allah l dan membenci karena Allah l, memberi karena Allah l dan tidak memberi juga karena Allah l, sungguh dia telah menyempurnakan keimanan.” (HR. Abu Dawud no. 4681 dari sahabat Abu Umamah z, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5841 dan ash-Shahihah no. 380)

Cinta dan Benci adalah Amalan Hati
Kita telah mengetahui definisi ibadah, yakni segala bentuk ucapan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah l, baik yang lahiriah maupun batiniah. Termasuk dalam deretan ibadah batiniah adalah cinta dan benci.
Jenis ibadah batiniah lebih banyak dilanggar daripada ibadah lahiriah karena kebanyakan orang tidak mengetahuinya, atau salah menerapkannya. Kesalahan ini adalah sesuatu yang “wajar” terjadi, terlebih lagi di masa ini yang kebanyakan manusia jauh dari ilmu agama dan para ulama. Kalaupun banyak orang alim di tempat tertentu, namun minat dan keingintahuan masyarakat terhadap agama sangat minim, atau mungkin sang alim tidak pernah menyinggung hal tersebut.
Jika seseorang benar dalam menerapkan cinta dan bencinya, sungguh dia telah merealisasikan konsekuensi iman yang tinggi.
As-Sa’di t berkata, “Fondasi tauhid dan ruhnya adalah mengikhlaskan kecintaan kepada Allah l semata. Terlebih lagi, ini adalah landasan pengabdian dan penghambaan diri. Bahkan, ini adalah hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid seseorang hingga ia menyempurnakan cintanya kepada Allah l dan kecintaannya kepada Allah l lebih besar dan mengalahkan kecintaannya kepada selain-Nya. Kecintaan kepada-Nya menjadi poros hukum atas semua bentuk kecintaan. Artinya, semua bentuk kecintaan kepada hamba harus mengikuti kecintaan kepada Allah l yang merupakan tanda kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba.” (al-Qaulus Sadid hlm. 110)
Ibnu Abbas c berkata, “Barang siapa cinta dan benci karena Allah l, berloyalitas dan memusuhi juga karena Allah l, dia akan mendapatkan kasih sayang Allah l. Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman meskipun sering melakukan shalat dan puasa, hingga dia memiliki sifat di atas. Adapun mayoritas persaudaraan di kalangan manusia hanya karena urusan dunia yang tidak akan bermanfaat sedikit pun bagi pemiliknya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)
Yahya bin Mu’adz t berkata, “Hakikat cinta karena Allah l ialah bahwa cinta itu tidak bertambah meskipun yang dicintainya berbuat kebaikan kepadanya, tidak pula berkurang ketika yang dicintainya bersikap kasar kepadanya.”
Cinta adalah realisasi tauhid sehingga harus diluruskan dan dijelaskan agar tidak menyelisihi tauhid. Oleh karena itu, kita harus mengetahui macam-macam cinta.
Macam-Macam Cinta
Cinta ada empat macam.
1. Cinta yang bersifat ibadah, yang merupakan landasan iman dan tauhid
2. Cinta yang syirik, yaitu mencintai selain Allah l sama atau melebihi kecintaannya kepada Allah l sebagaimana kecintaan kaum musyrikin kepada tuhan-tuhan mereka.
3. Cinta yang maksiat, yaitu cinta yang membuahkan sikap berani melanggar larangan-larangan Allah l dan meninggalkan segala perintahnya.
4. Cinta yang merupakan tabiat, yaitu cinta yang setiap orang tidak lepas darinya, seperti cinta kepada makanan, minuman, pernikahan, pakaian, keluarga, harta-benda, istri, anak, dan sebagainya.
Cinta yang merupakan ibadah dan cinta syirik telah kita bahas pada Asy Syariah edisi 3. Pembahasan kali ini akan menitikberatkan pada dua jenis cinta, yaitu cinta tabiat manusiawi dan cinta maksiat.

Cinta Tabiat
Setiap makhluk memiliki jenis cinta ini, sampai pun makhluk yang tidak berakal. Orang yang beriman akan berusaha menjadikan jenis cinta ini tidak hanya berkedudukan pada hukum mubah. Ia berusaha menjadikannya bernilai di sisi Allah l. Usaha yang dia lakukan adalah melihat dan mengkaji, karena siapakah dia mencintai?
Dia mengubah cinta tabiat menjadi cinta yang berpahala di sisi Allah l. Dia mencintai harta bendanya. Bersamaan dengan cintanya itu, dia mempergunakan hartanya untuk menopang ketaatan dirinya kepada Allah l dengan bersedekah, berinfaq, membantu fakir-miskin, dan orang yang membutuhkan. Harta-benda yang dia cintai tidak melalaikannya dari akhirat.
Dia mencintai anak dan istrinya. Namun, kecintaannya itu tidak menjadikannya berani melanggar norma-norma agama. Dia justru menganggap istri dan anak sebagai amanat dari Allah l yang harus dijaga dan ditunaikan, diluruskan, dididik, dan diajari. Kecintaannya tidak kemudian melalaikannya dari Allah l.
Dia mencintai makanan dan minuman. Namun, dia menjadikan makanan dan minuman sebagai penguat dalam pengabdian dirinya kepada Allah l.
Dia mengetahui peringatan Allah l di dalam Al-Qur’an tentang harta-benda, anak, dan istri yang dicintainya. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka). Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 14—15)
Akan tetapi, yang sering terjadi justru sebaliknya. Mayoritas kaum muslimin tidak mengindahkan peringatan tersebut. Yang terjadi adalah kecintaan yang sebatas tabiat, yang terkadang menyebabkan terjatuh dalam kesalahan yang lebih besar.
Dia mencintai harta-bendanya. Tatkala Dzat yang menitipkan harta mengujinya dengan hancur atau hilangnya, dia tidak kembali kepada Allah l. Justru ia menjauh dari-Nya. Bukan cerita aneh lagi jika dia lantas gantung diri, menjadi gila, atau membawa masalahnya kepada para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung. Tidak sampai di sini, dia juga berusaha mengadukan harta bendanya yang berkurang, hilang, atau rusak kepada kuburan-kuburan atau jin-jin dengan mendekatkan diri kepadanya.
Dia mencintai anak dan istrinya. Ternyata cintanya itu menyebabkannya terjatuh dalam kemaksiatan: menipu, mencuri, bermuamalah dengan riba, korupsi, dan berbagai kemaksiatan lain karena ingin mewujudkan cintanya kepada istri dan anaknya. Ketika Allah l mengujinya dengan menimpakan penyakit kepada mereka, dia membawanya ke dukun, tukang ramal, dan semacamnya. Bahkan, demi kesembuhan istri atau anaknya, ia mendatangi kuburan-kuburan—yang katanya mengandung sejuta bentuk kekeramatan—atau tempat yang mengandung keberkahan, dengan harapan musibah yang melilitnya hilang.
Tidak ada yang menyebabkan mereka terjatuh dalam semua hal ini selain kejahilan tentang agama dan jauhnya mereka dari ulama.
Orang yang beriman akan mencintai Allah l dan Rasul-Nya di atas segala kecintaannya kepada yang lain. Ia mencintai orang-orang yang beriman dan yang melaksanakan kebaikan.
“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)
Rasulullah n bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْأَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal yang barang siapa ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya; dia mencintai seseorang dan tidak mencintainya melainkan karena Allah; dan dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dia darinya sebagaimana kebenciannya untuk dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jauhnya seseorang dari ilmu agama dan aturan-aturan Allah l mengubah cinta tabiat menjadi cinta buta dan hawa nafsu. Jika hawa nafsu yang mengendalikan, tiada lagi halal dan haram atau boleh dan tidak boleh. Semuanya akan diukur dengan hawa nafsu. Allah l menceritakan kisah Nabi Yusuf q:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
As-Sa’di t berkata, “Karena nafsu sering memerintahkan pemiliknya kepada kejelekan, yakni perbuatan keji dan dosa. Sesungguhnya nafsu adalah tunggangan setan. Melalui perantaraannya, setan masuk kepada setiap manusia.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 356)
Ibnu Qayyim t berkata tatkala menyebutkan sifat hati yang mati, “Jika dia mencintai, dia mencintai karena nafsunya. Jika dia benci, dia pun benci karena hawa nafsu. Jika dia memberi, juga karena nafsu. Jika dia tidak memberi, karena hawa nafsu pula. Hawa nafsunya lebih ia utamakan dan lebih ia cintai daripada ridha Allah l. Akibatnya, hawa nafsu menjadi imamnya, syahwat menjadi pemandunya, kebodohan menjadi pengemudinya, dan kelalaian menjadi kendaraannya.” (Mawaridul Aman hlm. 36)
Cinta yang dilandasi oleh hawa nafsu inilah yang sering menjerumuskan seseorang kepada cinta yang maksiat.

Cinta yang Maksiat
Tatkala cinta tabiat itu menghalangi seseorang berbuat kebajikan dan mendorongnya melanggar perintah Allah l serta melaksanakan larangan-Nya,, inilah yang disebut cinta maksiat.
Cinta yang maksiat dilandasi dan didasari oleh dorongan hawa nafsu. Ini menyebabkan cinta tabiat tersebut ternodai oleh nafsu sehingga keluar dari norma agama dan aturan syariat.
Anda mencintai istri, anak, dan harta benda, ini adalah sesuatu yang wajar. Namun, ketika istri, anak, dan harta tersebut menyebabkan Anda melanggar syariat, yang tadinya wajar-wajar saja menjadi sesuatu yang membuahkan dosa.
Orang sering menjadikan agama sebagai alat untuk menghalalkan keharaman dan menjadikannya sebagai pelaris dalam kemaksiatan. Istilah “pacaran Islami” atau pacaran ala Islam sesungguhnya adalah sebuah kamuflase untuk melariskan kemaksiatan tersebut. Tujuannya adalah membolehkan cinta meskipun bermaksiat.

Benci
Jika Anda membenci saudara Anda, atas dasar apa Anda membencinya dan karena siapakah Anda membencinya?
Jika Anda membenci saudara Anda karena dia adalah orang yang jahat, gandrung bermaksiat kepada Allah l dan Rasul-Nya, dan Anda membencinya karena Allah l, maka Anda akan mendapatkan nilai amal saleh dari sisi Allah l. Anda telah membencinya karena Allah l.
Jika Anda membencinya karena dia lari dari diri Anda yang sedang bermaksiat dan meninggalkan dunia hitam yang menyelimuti hidupnya lalu menjadi baik, atau membenci orang yang melaksanakan bimbingan agama, kebencian Anda tersebut akan mendatangkan dosa.
Memberikan kecintaan kepada orang yang dianjurkan oleh Allah l dan Rasul-Nya untuk dicintai dan membenci orang yang harus dibenci, termasuk tali iman yang kokoh dan jalan yang benar yang telah dilalui oleh pendahulu kita yang saleh. Mereka cinta karena Allah l dan benci karena Allah l.

Harga Mati Cinta dan Benci karena Allah l
Asal-muasal segala perbuatan dan gerak yang terjadi di alam ini adalah cinta dan keinginan. Keduanya merupakan pendorong adanya perbuatan dan gerak, sebagaimana marah dan benci adalah dasar diam dan tidak berbuat. Cintalah yang mendorong seseorang sampai kepada apa yang dicintainya (Lihat Mawaridul Aman hlm. 390)
Karena cinta dan benci itu mesti ada, agama membimbing dan mengarahkannya agar tidak salah meletakkannya. Jika salah, kawan bisa menjadi lawan dan sebaliknya lawan bisa menjadi kawan. Bimbingan agama terhadap dua hal ini sesungguhnya telah dipraktikkan oleh Rasul kita, Muhammad n. Kecintaan beliau n terhadap para sahabatnya terbukti dari ucapan dan perbuatan. Begitu juga rasa tidak suka dan benci beliau n.
Lalu, apa yang menjadi harga mati sebuah kecintaan karena Allah l? Mari kita ikuti dialog bersama asy-Syaikh al-Albani t.
Penanya: Apakah orang yang mencintai karena Allah l wajib mengatakan, “Aku cinta kepadanya karena Allah l?”
Asy-Syaikh al-Albani: Ya. Hanya saja, cinta karena Allah l memiliki harga yang sangat mahal. Sedikit sekali orang yang bisa membayarnya. Tahukah Anda, apa yang menjadi harga mahal sebuah kecintaan karena Allah l? Apakah ada salah seorang dari Anda yang mengetahui harganya? Siapa yang mengetahuinya silakan memberikan jawaban kepada kami.
Penanya: Rasulullah bersabda, “Tujuh golongan orang yang kelak akan mendapatkan naungan dari Allah l pada hari tidak ada naungan melainkan dari Allah l (dan di antara mereka adalah) dua orang yang saling mencintai karena Allah l, berkumpul karena Allah l dan berpisah juga karena Allah l.”
Asy-Syaikh al-Albani: Itu memang benar. Namun, bukan itu jawaban atas pertanyaan saya. Ini kurang lebih definisi cinta karena Allah l, bukan definisi yang meliputi banyak hal. Pertanyaan saya, apa sesungguhnya harga yang harus dibayar oleh dua orang yang saling mencintai karena Allah l kepada yang lain? Saya tidak memaksudkan imbalan kelak di akhirat. Yang saya maukan dari pertanyaan ini, apa bukti nyata wujud cinta karena Allah l di antara dua orang yang saling mencintai karena-Nya? Terkadang, ada dua orang yang saling mencintai hanya sebatas lahiriah, bukan hakiki. Mana dalil yang menunjukkan cinta yang hakiki?
Penanya: Dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.
Asy-Syaikh al-Albani: Ini sifat cinta atau sebagian sifat cinta?
Penanya: Allah l berfirman:
“Katakan, ‘Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian’.” (Ali Imran: 31)
Asy-Syaikh al-Albani: Ini jawaban yang benar untuk pertanyaan yang lain.
Penanya: Hadits sahih, “Tiga hal yang barang siapa ada pada diri seseorang niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Di antaranya adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah.”
Asy-Syaikh al-Albani: Ini adalah buah cinta karena Allah l yaitu manisnya iman yang dia dapatkan di dalam hatinya.
Penanya: Firman Allah l:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)
Asy-Syaikh al-Albani: Bagus, inilah jawabannya. Penjelasannya, jika saya mencintai Anda karena Allah l niscaya saya akan mengiringinya dengan nasihat. Anda pun akan melakukan hal yang sama. Iringan nasihat sangat sedikit terjadi di antara dua orang yang mengaku saling mencintai karena Allah l. Hal ini karena cinta yang seperti ini harus dibangun di atas keikhlasan. Saat keikhlasan tidak sempurna, terkadang muncul kekhawatiran jika (setelah dinasihati) dia marah, takut jika dia lari, dan sebagainya. Maka dari itu, dalam cinta karena Allah l kedua pihak mengikhlaskan niat untuk menegakkan nasihat kepada yang lain, senantiasa menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Menasihati saudaranya lebih berguna daripada (sekadar) dia melindunginya. Oleh karena itu, telah sahih bahwa termasuk dari adab para sahabat jika mereka bertemu setelah berpisah, mereka membacakan ayat ini kepada yang lain.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Lihat Fatawa asy-Syaikh al-Albani hlm. 185—186 )
Wallahu a’lam.