Antara Tahdzir dan Rahmat

Yang dimaksud tahdzir di sini adalah memperingatkan umat dari penyimpangan dan para pengusungnya. Kita tahu bahwa mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran serta penyimpangan adalah urusan prinsip dalam agama ini. Ini adalah tugas mulia yang diemban oleh para rasul dan pengikutnya.

Bahkan, karena menjalankan prinsip yang pokok ini, umat Islam meraih predikat sebaik-baik umat di tengah-tengah manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali ‘Imran: 110)

Sungguh, sangat banyak manfaat yang dirasakan oleh manusia saat amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran) benar-benar dijalankan sesuai dengan bimbingan Islam.

Di antara buah yang bisa dipetik ialah meratanya ilmu dan kebaikan pada seluruh lapisan masyarakat. Pada gilirannya nanti, masyarakat akan menjunjung tinggi nilai ketaatan, kejujuran, dan keadilan. Sebaliknya, kejahatan bisa ditekan karena telah tertanam pada jiwa mereka sikap benci kepada kezaliman dan penyimpangan.

Di sisi lain, kenikmatan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala akan terjaga dan berkembang, sedangkan azab bisa ditangkal sehingga berkah kehidupan benar-benar sangat terasa.

Nikmat Diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah subhanahu wa ta’ala dengan kasih sayang-Nya telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa berita gembira dan sebagai juru peringatan agar manusia bisa membedakan jalan kebaikan dan jalan kejelekan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ شَٰهِدٗا وَمُبَشِّرٗا وَنَذِيرٗا ٤٥

“Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan.” (Al-Ahzab: 45)

Sejak Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat beliau sebagai rasul untuk menyampaikan agama-Nya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan tugas yang agung ini dengan sepenuh ketulusan. Tiada suatu kebaikan pun kecuali telah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan. Tiada suatu kejelekan sekecil apa pun yang akan membahayakan umat kecuali telah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam peringatkan umat darinya.

Aral melintang di jalan dakwah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hadapi dengan sepenuh kesabaran. Semangat menyampaikan agama Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah pupus, sesulit apapun kondisinya dan sekeras apapun permusuhan manusia. Tahapan demi tahapan dalam berdakwah telah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lalui, dan tiada yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam harap selain supaya manusia mengikuti agama yang lurus ini.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersedih apabila umatnya terjatuh ke dalam kesulitan, apalagi jika sampai terjerumus ke dalam penyimpangan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١٢٨

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

Di antara penyimpangan besar yang akan terjadi di tengah-tengah umat ini adalah kebid’ahan. Karena itu, beliau mewanti-wanti umatnya agar waspada darinya. Kebid’ahan—yakni cara yang diada-adakan dalam beragama yang tidak ada perintahnya dari agama—telah mencoreng keindahan Islam.

Selain itu, kebid’ahan merupakan bentuk menyisipkan suatu urusan yang tidak disyariatkan yang disandarkan pada agama sehingga seolah-olah agama ini belum sempurna.  Padahal tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkan Nabi- Nya kecuali dalam keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan seluruh syariat dengan gamblang, malamnya bagaikan siangnya.

Kebid’ahan yang muncul dengan dipoles seakan-akan bagian agama telah banyak memakan korban. Banyak manusia dibuat bingung dan tersamarkan, mana yang sebenarnya ada perintahnya dari agama dan mana yang tidak.

Oleh karena itu, dalam banyak kesempatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya dari bahaya kebid’ahan, terutama ketika khutbah Jumat saat manusia berkumpul di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umat agar waspada dari para pengusung kebid’ahan.

Di antara pengusung kebid’ahan adalah orang yang berpegang dengan ayat-ayat al-Qur’an yang masih samar maksudnya (mutasyabihat) untuk suatu keyakinan atau amalan, dengan meninggalkan ayat yang telah jelas maksudnya (muhkamat).

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini,

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٧

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an. Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal. (Ali ‘Imran: 7)

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti perkara yang masih samar, merekalah orang yang telah Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan. Waspadalah kalian dari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita cara/jalan agar selamat dari kebid’ahan, yaitu mengambil sikap waspada, memperingatkan bahaya kebid’ahan dan pelakunya, serta memboikot mereka.

Sesungguhnya, memboikot ahli bid’ah dan bersikap tegas kepada mereka termasuk prinsip agama yang besar yang akan menjaga agama seseorang dari kesesatan. Orang yang mengerti hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan kebid’ahan akan tahu sejauh mana bahaya yang ditimbulkan oleh kebid’ahan tersebut.

Begitu bahayanya perkara ini sampai-sampai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang akan munculnya suatu kelompok yang secara lahiriah ahli ibadah, rajin shalat, puasa, dan tilawatil Qur’an, tetapi dalam beragama tidak mau mengikuti bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemahaman para sahabat radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah kelompok Khawarij yang gampang mengafirkan orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa mereka telah keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari buruannya (karena amat kencangnya anak panah itu dilemparkan). (HR . al-Bukhari no. 3610)

Ulama Pewaris Para Nabi

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum tetap berjalan di atas garis yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalui. Setiap muncul penyimpangan, para sahabat radhiallahu ‘anhum berdiri tegak menghadang gerak lajunya sehingga umat terbentengi dari kesesatan tersebut.

Pada zaman Abu Bakr radhiallahu ‘anhu, misalnya, muncul orang-orang yang mengaku muslimin tetapi tidak mau membayar zakat. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu kemudian mengirim pasukannya sampai mereka mau kembali menunaikan zakat.

Pada masa pemerintahan Umar radhiallahu ‘anhu, muncul seorang bernama Shabigh bin ‘Isl. Orang ini menebarkan syubhat (kerancuan berpikir) di tengah-tengah masyarakat muslimin dengan melontarkan ayat-ayat yang maksudnya masih samar. Umar radhiallahu ‘anhu memanggilnya lalu memukul kepalanya hingga berdarah, sampai Shabigh radhiallahu ‘anhu berkata, “Cukup, wahai Amirul Mukminin, telah hilang apa yang ada di kepalaku.” Namun, Umar radhiallahu ‘anhu tetap mengasingkan Shabigh dan memerintahkan kaum muslimin untuk memboikotnya. (Syarhus Sunnah, 4/ 702—703 karya al-Lalikai)

Ketika Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma diberitahu tentang munculnya sekelompok orang yang mengingkari takdir Allah subhanahu wa ta’ala, beliau radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apabila kamu berjumpa dengan mereka, beri tahu mereka bahwa aku (Ibnu Umar) berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku.” (HR .Muslim)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Janganlah kalian duduk-duduk dengan pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah), karena duduk dengan mereka akan menjadikan hati berpenyakit.” (Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa, hlm. 18, karya asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri hafizhahullah)

Di atas jalan yang terang ini pula, para ulama dari kalangan tabi’in dan yang setelahnya berjalan hingga masa kini. Mereka melakukan hal ini demi menjaga kemurnian agama sekaligus sebagai langkah antisipasi dari bahaya yang akan menimpa umat.

Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Janganlah kamu duduk-duduk bersama ahlul ahwa, karena duduk dengan mereka akan melenyapkan cahaya keimanan dari hati, menghilangkan indahnya wajah (penampilan), serta memunculkan kebencian pada hati kaum muslimin.”

Faedah Memperingatkan dari Orang yang Sesat

Bisa jadi, akan ada yang bertanya, “Apa faedah yang bisa diambil oleh Islam dan Ahlus Sunnah dari tindakan memboikot pengusung kebatilan dan mentahdzir mereka?”

Jawabannya, tahdzir mengandung faedah-faedah yang besar. Di antaranya adalah bahwa kaum muslimin, khususnya orang awam, menjadi tahu bahwa orang yang diboikot tersebut di atas kebatilan dan kesesatan sehingga mereka mewaspadainya dan bertambah kuat pegangannya terhadap kebenaran.

Adapun faedah bagi orang yang memboikot adalah ia telah mewujudkan kebaikan yang banyak, di antaranya:

  1. Menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar.
  2. Melaksanakan prinsip al-wala’ wal bara’ (mencintai kabaikan beserta pelakunya dan membenci kejelekan beserta pengusungnya).
  3. Menjalankan kewajiban nasihat (memberikan ketulusan) terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, kitab-Nya, penguasa kaum muslimin, dan masyarakat muslimin secara umum.

Saat seseorang menjalankan tiga prinsip yang agung ini, dia akan meraih pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tentu saja, ini suatu manfaat yang besar bagi orang yang menjalankannya.

Demikian pula, dengan menjalankan tiga prinsip di atas seseorang akan terhindar dari ancaman yang keras, misalnya ancaman bagi yang tidak beramar ma’ruf nahi mungkar.

Dalil-dalil untuk urusan ini banyak terdapat di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; hal ini sudah masyhur di kalangan para ulama dan para penuntut ilmu.

Orang yang membiarkan ahlul batil, tidak mengingkari mereka, justru membela mereka atau menampakkan sikap baik terhadap mereka, telah terjatuh dalam sekian banyak penyimpangan besar, di antaranya:

  1. Bertolak belakang dengan tiga prinsip yang telah disebutkan di atas. Padahal tiga prinsip itu merupakan kewajiban atas muslimin.
  2. Saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan bersama ahlul batil, dan membiarkan atau tidak membela kebenaran dan para pengusungnya.

Bahkan, sikap membiarkan dan tidak mengingkari kebatilan dan pengusungnya menyiratkan celaan terhadap pengusung kebenaran.

Faedah-faedah ini bisa dibaca pada kitab karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah yang berjudul Bayan Ma fi Nashihati Ibrahim ar-Ruhaili minal Khalal wal Ikhlal hlm. 38—39.

Tahdzir Adalah Rahmat

Diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rahmat/kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala untuk semesta alam sebagaimana firman-Nya,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧

“Dan tidaklah kami mengutusmu kecuali untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)

Demikian pula, al-Qur’an yang dibawa oleh beliau juga merupakan rahmat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا ٨٢

“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al- Isra’: 82)

Oleh karena itu, perintah dan larangan syariat adalah semata-mata untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat; bukan beban yang memberatkan dan bukan pula kekangan terhadap ruang gerak dan kebebasan mereka.

Coba Anda perhatikan! Apakah salah ketika seorang dokter melarang pasiennya yang menderita suatu penyakit mengonsumsi makanan tertentu yang bisa memperparah sakitnya?! Demikian pula seorang ibu yang mencegah anak balitanya mendekati api yang akan membakarnya. Apakah ibu yang seperti ini dikatakan telah mengekang kebebasannya?!

Hanya sifat belas kasihan yang ada pada ibu dan dokter tersebut yang mendorong mereka melarang anak atau pasiennya melakukan hal yang membahayakan.

Apabila ini adalah kasih sayang makhluk terhadap makhluk, lantas seperti apa kiranya kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya? Kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala lebih besar daripada kasih sayang hamba terhadap dirinya sendiri; termasuk dalam masalah mentahdzir dan mengingatkan umat dari orang yang menyimpang dari kebenaran.

Bagi mereka, sebenarnya tahdzir adalah bentuk nasihat agar mereka kembali kepada jalan yang benar. Tahdzir juga bentuk berbuat baik kepada mereka agar kejelekannya tidak diikuti. Sebab, orang yang mengajak kepada kejelekan atau mencontohkan kejelekan akan menanggung dosa perbuatannya dan dosa orang yang mengikutinya.

Pada dasarnya, seorang yang menyimpang diberi nasihat dengan kelembutan. Akan tetapi, apabila cara lembut tidak berguna bagi mereka, cara yang bijak adalah dengan teguran keras dan umat diperingatkan darinya, bahkan sampai diboikot.

Bahkan, apabila ada seseorang yang menyimpang dari kebenaran dan telah bertobat darinya, sedangkan buku-bukunya yang berisi kesesatan dan pemikiran batil telah menebar, umat tetap harus diperingatkan dari buku dan pemikirannya. Sekali lagi, ini adalah bentuk kasih sayang Islam kepada pemeluknya yang menyimpang agar tidak membawa beban dosa di akhirat kelak.

Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboikot tiga sahabat yang absen dari Perang Tabuk. Di antara mereka adalah Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot mereka karena kemaksiatan mereka. Padahal, sebelum kepulangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum dari Tabuk, mereka radhiallahu ‘anhum telah menyesali perbuatannya. (Shahih al-Bukhari, no. 4481).

Al-Imam al-Baghawi rahimahullah dalam kitabnya, Syarhus Sunnah, di sela-sela penjelasan terhadap hadits Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu tentang absennya tiga sahabat radhiallahu ‘anhum dari Perang Tabuk, menyatakan bahwa dalam kisah tersebut terdapat dalil pemboikotan ahli bid’ah bersifat terus-menerus.

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan Ka’b radhiallahu ‘anhu dan teman-temannya terjatuh dalam sifat kemunafikan saat mereka absen untuk keluar (berperang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mereka diboikot sampai Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan (ayat yang menjelaskan diterimanya) tobat mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tahu selamatnya mereka (dari kemunafikan). Telah berlalu (sunnah) dari para sahabat, tabi’in, pengikut mereka, dan ulama sunnah dalam hal ini; yaitu mereka sepakat untuk memusuhi ahlul bid’ah dan memboikot mereka. (Bayan Ma fi Nashihati Ibrahim ar-Ruhaili minal Khalal wal Ikhlal, hlm. 43—44)

Coba Anda perhatikan, sahabat Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu sudah menyesal sebelum kepulangan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Tabuk. Meski demikian, Ka’b dan kawan-kawan tetap diboikot, sampai turun ayat yang menerima tobat mereka. Lantas bagaimana kiranya ucapan sebagian orang, “Wis tobat koh deneng asih ditahdzir?” (Sudah bertobat kok masih ditahdzir?)

Kalau tobatnya serius, pertanyaan yang bersifat pengingkaran di atas mungkin tepat. Akan tetapi, sebagian orang yang katanya bertobat dari penyimpangan belum menampakkan perbaikan, bahkan terkadang ada makar yang sedang diagendakan.

Intinya, mentahdzir orang yang menyimpang adalah prinsip agama demi kebaikan yang ditahdzir, demi kebaikan umat; bahkan merupakan bentuk membersihkan agama dari hal yang mencoreng keindahannya.

Apabila sudah ditahdzir ternyata tidak tobat juga, urusannya kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Yang jelas, kemaslahatan umat lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.