Apa Itu Nikah Mut’ah?

Apa nikah mut’ah itu? Adakah ayat al-Qur’an atau hadits tentang nikah mut’ah? Apakah ada hadits yang mengharamkan nikah mut’ah ataukah sekadar makruh?

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah menjawab:

“Mut’ah adalah seorang lelaki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertentu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memang pernah mengizinkan para sahabat pada sebagian peperangan untuk melakukan nikah mut’ah (dengan perempuan setempat). Beliau juga mengizinkannya pada tahun Fathu Makkah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan nikah mut’ah ini pada sebagian peperangan[1] lalu melarangnya pada tahun Perang Khaibar[2]. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan lagi saat tahun Fathu Makkah sebagaimana disebutkan dalam hadits ar-Rabi’ ibnu Sabrah dari bapaknya[3], lalu melarangnya. Diizinkan juga dalam perang Hunain[4], kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Maka dari itu, kaum muslimin semuanya mengharamkan nikah mut’ah. Sebagian sahabat, seperti Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, membolehkan nikah mut’ah dan menyangka bahwa nikah mut’ah ini dibolehkan karena darurat. Namun, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengingkari pendapat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tersebut. Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sungguh, kamu adalah orang yang bingung yang keluar dari jalan yang lurus (dalam urusan ini).”[5] Adalah pantas Ali radhiallahu ‘anhu mengingkari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma.

Nikah mut’ah haram sampai hari kiamat. Mereka yang membolehkan nikah mut’ah (orang-orang Syi’ah –pent.) menampakkan bukti terbesar bahwa mereka tidak mengikuti Ali bin Abi Thalib. Sebab, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mut’ah itu haram sampai hari kiamat. Ali radhiallahu ‘anhu juga mengingkari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang membolehkan mut’ah.

Orang-orang Syi’ah menganggap secara batil bahwa firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ

“Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mahar-mahar mereka dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (an-Nisa: 24)

turun tentang nikah mut’ah, padahal tidaklah demikian.

(Ijabah as-Sail ‘ala Ahammil Masail, hlm. 534—535)


Hukum Nikah Mut’ah dalam Islam

Apa hukum nikah mut’ah dalam Islam yang marak dilakukan oleh penganut agama Syi’ah?

 

Al-Lajnah ad-Daimah’[6] menjawab:

“Nikah mut’ah diharamkan dan batil (tidak sah) seandainya terjadi, berdasar riwayat al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim rahimahullah dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa pada waktu Perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah mut’ah dan melarang memakan daging keledai ahliyah (keledai negeri/peliharaan). Dalam satu riwayat disebutkan, pada hari Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memut’ah perempuan.

Al-Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Nikah mut’ah itu haram menurut ijma/kesepakatan ulama kaum muslimin, kecuali sebagian pengikut Syi’ah. Tidak sah kaidah mereka (orang-orang Syi’ah) untuk rujuk kepada Ali radhiallahu ‘anhu dalam urusan yang diperselisihkan. (Riwayat) yang sahih dari Ali radhiallahu ‘anhu justru menyebutkan bahwa nikah mut’ah telah dihapus (mansukh) pembolehannya.

Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah menukilkan dari Jafar bin Muhammad, yang pernah ditanya tentang nikah mut’ah. Beliau menjawab, “Nikah mut’ah adalah zina itu sendiri (tidak beda dengan perzinaan).”

Pengharaman nikah mut’ah juga didasarkan hadits yang diriwayatkan al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahih-nya dari Sabrah ibnu Ma’bad al-Juhani radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda,

        إِنِّي كُنْتُ قَدْ أَذَنْتُ لَكُمْ فِي الْاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيخل سَبِيْلَهُ وَلَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا

“Sungguh, aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para perempuan. Sungguh, (kemudian) Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkannya sampai hari kiamat. Siapa di antara kalian memiliki istri yang dinikahi dengan cara mut’ah, hendaknya dia lepaskan dan jangan kalian ambil sedikit pun harta/pemberian yang telah kalian berikan kepada mereka.”

(Fatwa no. 3810, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 18/441)


Menikah untuk Jangka Waktu Tertentu

Apa hukumnya dalam Islam, menikah hanya untuk jangka waktu tertentu?

Al-Lajnah ad-Daimah[7] menjawab:

“Menikah hanya untuk masa tertentu (setelah itu berpisah begitu saja) adalah nikah mut’ah yang batil, menurut kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebab, nikah seperti ini hukumnya mansukh[8] oleh riwayat yang pasti dari hadits-hadits sahih yang melarang mut’ah. Apa yang dinyatakan terlarang berarti pernikahan yang batil/tidak sah.

‘Hubungan intim’ yang terjadi dengan pernikahan mut’ah itu teranggap zina sehingga berlaku hukuman berzina bagi diri pelakunya[9] dalam keadaan dia tahu batilnya mut’ah tersebut.”

(Fatwa no. 15952, Fatawa al-Lajnah, 18/445)


Menikah dengan Syiah Rafidhah

Apakah sah pernikahan dengan seorang Rafidhah atau dengan orang yang berkata bahwa shalat lima waktu tidak wajib baginya?

Jika dia bertobat dari pemahaman Rafidhah atau dia melakukan shalat dalam beberapa masa, kemudian dia kembali lagi menjadi Rafidhah atau kembali meninggalkan shalat, apakah dianggap sah pernikahan yang telah dilakukan dengannya?

Syaikhul Islam rahimahullah menjawab,

“Tidak boleh seorang pun menikahkan perempuan yang di bawah perwaliannya dengan lelaki Rafidhah, sebagaimana tidak boleh menikahkannya dengan lelaki yang meninggalkan shalat.

Namun, apabila wali perempuan menikahkan perempuan mereka dengan lelaki yang dikira sunni dan mengerjakan shalat, kemudian di belakang hari diketahui bahwa si lelaki adalah Rafidhah yang tidak mengerjakan shalat, atau dia kembali menjadi Rafidhah (setelah rujuk menjadi sunni) lantas meninggalkan shalat, para wali tersebut dapat mem-fasakh pernikahannya.”

(Majmu’ Fatawa, 16/261)


Apakah Syiah Rafidhah Itu Muslim?

Apakah boleh menamakan Rafidhah dan orang-orang Iran sebagai kaum muslimin?

Asy-Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah menjawab,

“Rafidhah itu berbeda-beda. Di antara mereka ada orang-orang awam yang tidak tahu apa-apa. Mereka ini tidak boleh kita kafirkan dan hukum asal mereka adalah Islam. Di antara mereka ada yang mengetahui akidah Rafidhah dan meyakininya, ini yang teranggap kafir. Yang saya maksudkan adalah akidah Khomeini.

Siapa di antara mereka yang meyakini akidah Khomeini atau akidah al-Kulaini penulis al-Kafi, dia kafir. Di antara mereka ada ulama yang tidak meyakini akidah tersebut, tetapi mereka terus-menerus di atas Rafidhahnya, maka mereka adalah mubtadi’.

Jadi, kita harus adil dalam hal ini. Siapa di antara mereka yang akidahnya seperti akidah Khomeini atau al-Kulaini, barulah dia dianggap kafir.

Mengapa kita mengatakan Khomeini kafir? Karena dia mengatakan sebagaimana dalam al-Hukumah al-Islamiyah, “Sungguh, para imam kita memiliki kedudukan yang tidak dapat dicapai oleh seorang nabi yang diutus, tidak pula bisa dicapai oleh malaikat yang dekat.” Ini baru satu kesesatan.

Yang kedua, “Nash-nash yang disampaikan oleh para imam kita sama dengan nash-nash al-Qur’an.”

Yang ketiga, “Sungguh, para nabi dan para imam ahlil bait tidak sukses melaksanakan tugas mereka sebagaimana kesuksesan yang akan diraih oleh al-Mahdi dalam tugasnya.”

Yang dimaksud al-Mahdi adalah khurafat mereka, yaitu penghuni Sirdab. Siapa yang meyakini akidah semacam ini, dia kafir. Wallahul musta’an.

Orang-orang awamnya tidak boleh kita hukumi kafir. Demikian pula ulama mereka yang tidak meyakini akidah tersebut dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan kufur.”

(Ijabah as-Sail ‘ala Ahammil Masail, hlm. 526—527)

[1] Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membawa serta istri kami.

Kami berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kita mengebiri diri kita?’ Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukannya.

Beliau memberi rukhshah untuk kami menikahi perempuan setempat dengan mahar berupa pakaian sampai tempo waktu tertentu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, –pent.)

[2] HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. (–pent.)

[3] Kata Sabrah radhiallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kami melakukan mut’ah pada tahun Fathu Makkah ketika kami masuk kota Makkah. Tidaklah kami keluar dari Makkah hingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukan mut’ah.” (HR Muslim, –pent.)

[4] Perang Hunain terjadi setelah Fathu Makkah. (–pent.)

[5] HR. al-Bukhari dan Muslim. (–pent.)

[6] Ketua: asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;

Wakil Ketua: asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi;

Anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.

[7] Ketua: asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;

Anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, asy-Syaikh

Shalih al-Fauzan, asy-Syaikh Abdul Aziz Alusy Syaikh, dan asy-Syaikh Bakr Abu Zaid.

[8] Dahulu pernah diperbolehkan namun pada akhirnya dilarang. (–pent.)

[9] Kalau masih lajang dicambuk 100 kali dan diasingkan. Yang sudah menikah dirajam sampai mati. Penegakan hukum had ini dilakukan oleh pihak penguasa, bukan individu atau kelompok. (–pent.)