Apa yang Bisa Menjadi Perantara dalam Doa

Seseorang yang berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla tentu mengharapkan doanya akan dikabulkan. Demikian besar harapan agar doanya itu terkabul, sampai ada orang yang menjadikan orang yang telah mati sebagai perantara untuk menyampaikan doanya itu kepada Allah ‘azza wa jalla. Dia berkeyakinan, dengan adanya perantara itu, doanya akan lebih besar kemungkinannya terkabul karena orang yang menjadi perantara (menurutnya) dahulu adalah orang yang saleh.

Inilah alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang suka berziarah ke makam tokoh-tokoh tertentu. Bagaimana syariat melihat praktik semacam ini?

 

Sumber-sumber kejahatan di tengah kaum muslimin kian hari kianbertambah. Ia mengalir semakin deras dan berbahaya. Satu demi satu manusia tumbang terbawa arus yangberakhir di lautan jahiliah masa dahulu. Sungai penyambung masa sekarang dengan masa jahiliah dahulu itu adalah kejahilan. Dialah akar musibah dan dasar kerusakan.

Menebarnya kejahilan tentang agama menggambarkan beberapa hal, di antaranya:

  1. Merajalelanya kezaliman, danyang terbesar adalah kezaliman terhadapAllah ‘azza wa jalla, yaitu syirik.
  2. Pemerkosaan terhadap agamayang tidak bisa dibendung, berakhir padasegala bentuk kebid’ahan dalam agama.
  3. Peremehan terhadap tugas dankewajiban yang telah ditentukan olehAllah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, yang berakhirpada penghinaan dan pelecehan syariat.
  4. Perusakan hak dan kemerdekaanhidup yang telah diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla, yang berakhir pada runtuhnyamartabat kemanusiaan dalam bentukpembunuhan, perjudian, pencurian,perkosaan, dsb.
  5. Huru-hara hidup yangberkepanjangan, sehingga menghilangkankepercayaan. Sang anak tidak percayalagi kepada bapak, begitu pula sebaliknya.Sang guru tidak percaya lagi kepadamuridnya, begitu pula sebaliknya. Rakyattidak percaya lagi kepada pemimpinnya dan sebaliknya.

Masih banyak lagi bentuk bala yangdiakibatkan karena kejahilan. Akibatyang paling aneh adalah:

  1. Tunduknya manusia yangdimuliakan oleh Allah ‘azza wa jalla dengan akalkepada benda-benda yang tidak berakal,seperti batu nisan, pohon-pohon, dantempat-tempat angker.
  2. Digantungkannya aneka ragambenda di tempat-tempat tertentu dengan keyakinan bisa menjaga dari segala bentuk bala dan malapetaka.
  3. Menggantungkan segala bentuk kehidupan kepada orang yang tidak bisa berbuat apa-apa, seperti orang yang telah meninggal dunia. Suara teriakan dan panggilan menggema pada detik-detik malapetaka menimpa. Nama al-Badawi, Abdul Qadir Jailani,sayyid, dan Walisongo disebut dalamteriakan tersebut.
  4. Mereka meyakini bahwahubungan antara hamba dan Allah ‘azza wa jalla bagaikan aliran listrik yang butuh kabel penghubung. Kabel penghubungitu adalah amalan tawassul.

Seseorang tidak bisa langsung berhubungan dengan Allah ‘azza wa jalla sebagaimana ia tidak bisa berhubungan langsung dengan sang raja di dunia. Jadi, dia butuh penghubung, di antaranya melalui para wali, makam-makammereka, atau selainnya.

Tawassul telah menjadi ciri sebuah aliran dan ajaran tertentu dari kalangan muslimin. Ujungnya ialah ajang bisnis bagi yang berkepentingan di dalamnya. Contohnya, apa yang didengungkan oleh sebuah aliran sufi Qadirun Yahya, yang menyebar di seluruh tanah air.

Oleh karena itu, hakikat tawassul perlu dijelaskan kepada segenap kaum muslimin agar mereka mengetahui kebatilan ajaran tersebut.

 

Makna Tawassul

Tawassul menurut etimologi bahasa Arab artinya, “Sesuatu yang bisa mendekatkan kepada yang lain.” (Mukhtar ash-Shihah, hlm. 721)

Ibnu Atsir dalam an-Nihayah (5/184) mengatakan, “(Tawassul adalah) sesuatu yang akan menyampaikan kepada yang lain dan mendekatkan diri dengannya.”

Adapun menurut terminologi syariat, tawassul adalah, “Mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan segala bentuk ketaatan dan peribadatan, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan segala bentuk amalan yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan diridhai-Nya.” (at-Tawassul Ila Haqiqati Tawassul hlm. 20)

 

Beberapa Dalil tentang Tawassul

Allah ‘azza wa jalla telah menjelaskan di dalam al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam Sunnahnya tentang hal ini.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣٥

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya supaya kalian mendapatkan keberuntungan.” (al-Maidah: 35)

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمۡلِكُونَ كَشۡفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمۡ وَلَا تَحۡوِيلًا ٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا ٥٧

“Katakanlah: Panggillah mereka yang kalian anggap (tuhan) selain Allah maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Rabbmu pantas untuk ditakuti.” (al-Isra: 5657)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقَدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung dengan kemuliaan Allah ‘azza wa jalla dan kekuasaan-Nya dari kejelekan yang aku dapati dan aku takuti.”

 

Ucapan Ulama tentang Tawassul

Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir beliau berkata, “(وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ)

Carilah jalan pendekatan diri kalian kepada Allah,” Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata dari Thalhah dari ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas, al-wasilah artinya al-qurbah (pendekatan diri).

Demikan juga yang dikatakan oleh Mujahid, Abu Wa’il, Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid dan selain mereka.

Bahkan, ‘Atha’ rahimahullah mengatakan, ‘Dekatkanlah diri kalian kepada Allah ‘azza wa jalla dengan menaati-Nya dan melakukan segala amalan yang diridhai-Nya’.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Al-Wasilah artinya sesuatu yang bisa menyampaikan kepada tujuan. Al-wasilah juga memiliki makna sebuah tempat yang tinggi di dalam jannah (surga). Ini adalah tempat dan negeri Rasulullah di dalam jannah, sekaligus tempat yang paling dekat dengan ‘Arsy Allah ‘azza wa jalla.

(Al-Wasilah yang bermakna tempat di dalam jannah) telah tsabit (pasti) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih al-Bukhari dari jalan Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa berdoa ketika selesai mendengar adzan,

اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ

‘Ya Allah, Rabb (pemilik) panggilan yang sempurna ini dan (pemilik) shalat yang (hendak) didirikan. Berilah al-wasilah dan al-fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan.’

Dia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.”

Dalam Shahih Muslim dari hadits Ka’b bin ‘Alqamah, dari Abdurrahman bin Jubair, dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila kalian mendengar azan, ucapkanlah seperti apa yang dikumandangkan muazin. Kemudian bershalawatlah atasku, karena barang siapa bershalawat atasku satu kali, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan bershalawat atasnya sepuluh kali. Kemudian mintalah untukku al-Wasilah. Sesungguhnya al-wasilah adalah sebuah tempat di dalam jannah dan tidak pantas ditempati kecuali oleh salah seorang hamba Allah ‘azza wa jalla. Aku berharap bahwa akulah orangnya. Barang siapa meminta untukku al-Wasilah, dia akan mendapatkan syafaatku kelak pada hari kiamat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/67)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wasilah adalah qurbah (mencari kedekatan kepada Allah ) dan sebab yang akan menyampaikan kepada tujuan.” (Majmu’ Fatawa, 27/229)

Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wasilah adalah mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikhlaskan diri untuk Allah ‘azza wa jalla.

Inilah jalan yang akan menyampaikan seseorang kepada ridha Allah ‘azza wa jalla. Inilah jalan untuk mendapatkan segala kebaikan dunia dan akhirat.

Asal kata wasilah adalah jalan yang akan menyampaikan kepada sesuatu dan menghubungkan dengannya. Menurut ijma’ (kesepakatan) ulama, wasilah adalah amal saleh. Sebab, tidak ada yang bisa menyampaikan kepada Allah ‘azza wa jalla selain dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Adhwa’ul Bayan, 2/97)

 

Macam-Macam Tawassul

Para ulama telah menjelaskan dan mengupas masalah ini hingga tidak ada syubhat dan kerancuan lagi padanya. Tidak ada peluang bagi para penyesat umat untuk mengelabui dalam permasalahan wasilah.

Secara global, para ulama membagi tawassul menjadi dua macam:

 

Pertama, tawassul yang disyariatkan yaitu tawassul dengan segala apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tawassul ini banyak bentuknya, di antaranya:

  1. Tawassul dengan nama-nama Allah ‘azza wa jalla

Ini ada dua bentuk:

a. Tawassul dengan nama-nama Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk umum, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَسْأَلُكَ بِاسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ

“Aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama yang Engkau telah menamakan diri-Mu dengannya.” (HR. Ahmad no. 3712 dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)[1]

Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

فَوَقَعَ ٱلۡحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١١٨

“Dan bagi Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kalian dengannya.” (al-A’raf: 118)

b. Tawassul dengan nama-nama Allah ‘azza wa jalla yang khusus. Misalnya, engkau ingin mendapatkan pengampunan maka engkau menyebut nama Allah ‘azza wa jalla yang khusus terkait dengannya, seperti,

يَا غَفُورُ اغْفِرْ لِي، يَا رَحِيمُ ارْحَمْن

 

  1. Tawassul kepada Allah ‘azza wa jalla dengan sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla

Ini juga memiliki dua bentuk:

a. Tawassul kepada Allah ‘azza wa jalla dengan sifat-sifat-Nya dalam bentuk umum. Contohnya,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَسْمَائِكَ الْحُسْنَى وَصِفَاتِكَ الْعُلَى

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang baik dan sifat-sifat-Mu yang mulia.”

 b. Tawassul kepada Allah ‘azza wa jalla dengan sifat-sifat-Nya dalam bentuk khusus, seperti,

أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung dengan kemuliaan Allah ‘azza wa jalla dan kekuasaan-Nya dari kejelekan yang aku dapati dan aku takuti.” (HR. Muslim no. 222 dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash)

 

  1. Tawassul dengan perbuatan-perbuatan Allah ‘azza wa jalla.

Misalnya, engkau berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla, setelah itu engkau bertawassul dengannya untuk mewujudkan hal itu seperti bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ

“Ya Allah, berilah shalawat atas Muhammad sebagaimana Engkau berikan shalawat atas Ibrahim.”

Engkau meminta shalawat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana Allah ‘azza wa jalla telah bershalawat atas Nabi Ibrahim ‘azza wa jalla.

 

  1. Tawassul kepada Allah ‘azza wa jalla dengan keimanan kepada-Nya dan keimanan kepada Rasul-Nya.

Contohnya, “Ya Allah, dengan keimananku kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu, aku meminta kepada-Mu demikian-demikian.”

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

رَّبَّنَآ إِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِيٗا يُنَادِي لِلۡإِيمَٰنِ أَنۡ ءَامِنُواْ بِرَبِّكُمۡ فَ‍َٔامَنَّاۚ رَبَّنَا فَٱغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرۡ عَنَّا سَيِّ‍َٔاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ ٱلۡأَبۡرَارِ ١٩٣

“Wahai Rabb kami, sungguh kami telah mendengar seruan penyeru kepada keimanan agar kalian beriman kepada Rabb kalian, lalu kami beriman. Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tutuplah segala kesalahan kami dan matikanlah kami bersama orang-orang yang berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)

رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلۡتَ وَٱتَّبَعۡنَا ٱلرَّسُولَ فَٱكۡتُبۡنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٥٣

“Wahai Rabb kami, kami beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan kami mengikuti Rasulullah, maka masukkanlah kami dalam catatan orang-orang yang mati syahid.” (Ali ‘Imran: 53)

          إِنَّهُۥ كَانَ فَرِيقٞ مِّنۡ عِبَادِي يَقُولُونَ رَبَّنَآ ءَامَنَّا فَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَا

Sesungguhnya ada segolongan dari para hamba-Ku berdoa di dunia, mereka berkata, “Ya Rabb kami, kami telah beriman maka ampunilah kami dan rahmatilah kami.” (al-Mu’minun: 109)

 

  1. Tawassul kepada Allah ‘azza wa jalla dengan keadaan orang yang berdoa.

Misalnya, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang membutuhkan-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku adalah tawanan di hadapan-Mu.”

Nabi Zakariya ‘alaihissalam berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla dengan bertawassul dengan keadaan beliau. Allah ‘azza wa jalla menyebutkannya dalam firman-Nya,

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ ٱلۡعَظۡمُ مِنِّي وَٱشۡتَعَلَ ٱلرَّأۡسُ شَيۡبٗا وَلَمۡ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيّٗا ٤

“Ya Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Rabbku.” (Maryam: 4)

 

  1. Tawassul dengan doa orang saleh (yang masih hidup -red.), dengan harapan bisa dikabulkan doanya.

 Hal ini telah dilakukan oleh para sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka meminta beliau berdoa untuk mereka baik dalam bentuk doa yang bersifat umum atau khusus. Hal ini juga dilakukan pula oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu kepada paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abbas radhiallahu ‘anhu.

 

  1. Tawassul dengan amal saleh.

Contohnya seperti yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penghuni gua yang tertutup ketika mereka berlindung padanya. (HR. al-Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743 dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)

 

(bersambung, insya Allah)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah an-Nawawi


[1]  Ahmad Syakir mengatakan sanadnya sahih. Asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 199.