Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)

 

Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:

1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank

2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam

 

Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut:

1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.

Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:

a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya.

Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya.

Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana.

Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.

b. Deposito biasa

Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.

Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo.

Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.

c. Deposito khusus (special investment)

Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.

 

Tinjauan hukum syar’i

Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah.

Adapun perbedaan sistem deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah:

a) Pada akad

Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.

b) Pada imbalan yang diberikan:

Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung pada:

• Pendapatan bank (hasil/laba usaha)

• Nominal deposito nasabah

• Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank

• Jangka waktu deposito

Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional.

c) Pada sasaran pembiayaan

Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram.

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah:

a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut

Di sini muncul pertanyaan besar: Siapa yang menanggung kerugian dana simpanan para nasabah?

Jawabannya adalah sebagai berikut:

Semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.).

 

Hakikat akad dengan kondisi di atas

Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi.

Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan alasan:

1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai.

Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba jahiliah yang dikecam dalam Islam. Lihat makalah penulis di Kajian Utama Macam-macam Riba pada majalah Asy Syariah No. 28/III1428 H/2007 hal. 18.

2) Kerugian ditanggung mudharib (bank)

Ini menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib.

3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam. Lihat makalah penulis tentang asuransi di Kajian Utama majalah Asy Syariah Vol. III/29/1428 H/2007 yang berjudul Asuransi hal. 20-24.

b. Pembiayaan yang dilakukan pihak bank kepada nasabah peminjam

Di sini muncul pertanyaan:

– Apakah pembiayaan tersebut pada akad-akad yang syar’i?

– Fungsi bank dengan pihak peminjam sebagai apa? Shahibul maal ataukah wakil nasabah penabung?

Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas diulas pada poin kedua, yaitu:

 

2. Akad mudharabah antara bank dan nasabah peminjam

Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk mudharabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di antaranya:

a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti yang disebut dalam akad

b. Lalai dan kesalahan nasabah yang disengaja

c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila dia tidak jujur.

Bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan2 ke produk murabahah.

Pihak bank akan mengadakan akad dengan skema mudharabah dengan masalah melalui proses yang cukup ketat, di antaranya:

a. Melihat reputasi nasabah dalam dunia usaha

b. Melakukan pembiayaan pada usaha-usaha yang dapat diprediksi pendapatannya seperti:

– mudharabah dengan koperasi yang melakukan akad murabahah untuk memenuhi kebutuhan karyawannya.

– mudharabah dengan pihak yang bergerak di bidang rental officer.

c. Untuk usaha-usaha yang kurang bisa diprediksi pendapatannya, seringkalinya dialihkan ke akad murabahah. Pada akad mudharabah ini pihak bank bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan nasabah sebagai mudharib (amil)

Saat akad, nasabah dan bank melakukan kesepakatan tentang :

• Biaya yang dikeluarkan

• Nisbah (persentase) bagi hasil

Nisbah ini bisa berubah-ubah, misal: 3 bulan pertama 60:40, tiga bulan kedua 50:50.

• Tenggang waktu mudharabah

– pihak nasabah memberikan dokumen tentang reputasi dia, pendapatan usahanya, dan lain-lain yang dibutuhkan pihak bank

– setiap tiga bulan, pihak nasabah membayar kepada bank keuntungan usaha dengan membuat laporan realisasi pendapatan (LRD)

– Pada umumnya pihak bank tidak terlibat dalam usaha nasabah, pihak bank hanya terlibat dalam pembiayaan

– Akad mudharabah ini disertai adanya jaminan dari pihak nasabah.

 

Tinjauan hukum syar’i

Secara umum akad mudharabah yang terpapar di atas tidak ada masalah sebab akadnya adalah mudharabah dan keuntungan diambil dari laba usaha menggunakan nisbah (persentase). Sedangkan pada bank konvensional menggunakan akad qiradh (pinjaman) dengan syarat bunga yang ditetapkan. Ini jelas riba jahiliah yang dikecam dalam Islam.

Namun, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab:

a. Dari mana bank memperoleh modal pembiayaan sehingga disebut sebagai shahibul maal.

Jawabnya adalah sumber dana bank berasal dari:

– modal pemegang saham

– titipan (tabungan) dengan sistem wadi’ah yad dhamanah3

– investasi (tabungan) dari nasabah dengan sistem mudharabah.

Intinya, bank menghimpun dana dari nasabah-nasabah penabung selaku shahibul maal yang sesungguhnya. Jadi pada hakikatnya, pihak bank tidak memiliki modal hingga layak disebut pemilik modal (shahibul maal).

Kesimpulannya, bank hanyalah sebagai perantara/wakil para nasabah penabung untuk melakukan akad mudharabah dan yang lainnya dengan nasabah peminjam. Inilah yang disebut dengan istilah mudharabatul mudharib (مُضَارَبَةُ الْـمُضَارِبِ).

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, sistem ini diperbolehkan jika ada izin khusus dari nasabah penabung (shahibul maal) dan mudharib (bank) tidak mendapatkan laba mudharabah tapi hanya dapat ujratul wakalah (upah sebagai wakil) baik terlibat langsung dalam usaha atau tidak.

Alhasil, akad mudharabah ini terlarang dengan alasan berikut:

1. Tidak ada izin khusus dari para nasabah penabung pada umumnya.

2. Kenyataan yang terjadi, pihak bank mengambil keuntungan bukan upah wakalah. Walau pada praktiknya bank menggabungkan dana modal dalam satu pool dan hasil usaha digabung dari beragam akad dengan nasabah, baik itu murabahah, mudharabah, musyarakah, maupun ijarah.

b. Bila terjadi kerugian pada usaha nasabah di luar prediksi semua pihak, apakah modal/pembiayaan dari pihak bank harus dikembalikan?

Jawabannya adalah:

Secara prinsip mudharabah yang syar’i, kerugian yang terjadi selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan amil murni ditanggung modal, dalam hal ini adalah bank. Amil tidak dibebani apapun kecuali dia rugi tidak dapat laba dari usaha tersebut.

Praktik yang terjadi di dunia bank syariah cukup beragam. Perlu diketahui, bahwa semua bank mempersyaratkan pada akad mudharabah, semua aset nasabah yang digunakan untuk usaha harus diasuransikan terlebih dahulu. Ini sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi sesuatu di luar prediksi semua pihak.

1. Sebagian bank syariah langsung melakukan penyitaan aset nasabah yang mengalami kebangkrutan atau menuntut pengembalian modal mudharabah.

Tindakan ini sangat jelas menunjukkan bahwa kerugian ditanggung amil. Ini jelas menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hakikat akad sesungguhnya bukan qiradh (mudharabah) tapi qardh (pinjaman) yang harus ada pengembalian pinjaman apapun yang terjadi pada pihak peminjam.

Kesimpulannya, akad mudharabah di atas termasuk dalam kaidah: “Setiap pinjaman yang ada unsur kemanfaatan adalah riba.”

Riba jahiliah yang sangat dikecam dalam Islam, kemanfaatan yang diperoleh pihak bank adalah laba usaha nasabah dengan nisbah bagi hasil. Wallahul musta’an.

2. Sebagian bank syariah tidak berani melakukan penyitaan secara langsung karena paham tentang konsekuensi akad mudharabah yaitu kerugian ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain yaitu kompromi (islah) dengan pihak nasabah. Misal: Meminta nasabah menjual aset yang ada.

Ujung-ujungnya sama dan itulah letak permasalahannya yaitu modal mudharabah kembali, kerugian ditanggung amil (nasabah).

Hukumnya pun sama dengan yang sebelumnya hanya beda teknis saja, yang satu main kasar, yang lain main halus. Kaidah para ulama:

الْعِبْرَةُ بِالْحَقَائِقِ لَا بِالْأَلْفَاظِ

“Yang dianggap adalah hakikatnya bukan bahasa (istilah)nya.”

 

Faedah

Bila usaha nasabah berikut asetnya terkena musibah (peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan/extraordinary, red.), seperti kebakaran yang menghanguskan, maka yang dilakukan oleh pihak bank adalah mengurus klaim dari perusahaan asuransi. Apabila klaim cair maka langsung masuk ke pihak bank untuk mengembalikan modal mudharabah, bila ada lebihnya baru masuk ke nasabah.

Upaya ini pun juga menunjukkan hasil yang sama yaitu modal harus kembali, kerugian ditanggung nasabah. Hukumnya juga sama dengan yang sebelumnya.

 

Catatan

Pihak bank biasanya memiliki alasan kenapa harus melakukan upaya-upaya di atas. Alasan mereka adalah: Pada saat pihak bank mengeluarkan pembiayaan untuk modal mudharabah dengan nasabah, pihak bank diharuskan untuk mempersiapkan “dana talangan”. Besar kecilnya dana tersebut tergantung kelancaran usaha nasabah.

– bila lancar maka dana talangannya 1 % dari pembiayaan

– bila tidak lancar maka dana talangan semakin diperbesar menjadi 5 %, 15 %, dan seterusnya.

– bila sampai sembilan bulan nasabah tidak membayarkan bagi hasil usaha maka dana talangannya menjadi 100 %.

Ini adalah ketentuan resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk semua bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak lancar tersebut bisa dihapuskan dan untuk kelancaran bank itu sendiri.

Jawabannya adalah:

1. Ketentuan di atas murni antara pihak bank dengan bank sentral (BI), tidak ada sangkut pautnya dengan nasabah.

2. Ketentuan akad mudharabah murni antara pihak nasabah dengan bank, tidak ada sangkut pautnya dengan BI.

3. Tindakan pihak bank membebankan dana talangan pada nasabah pada skema akad mudharabah, di luar dan menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i.

4.  Penjualan aset nasabah atau pengambilan klaim dari perusahaan asuransi sebagai ganti dana talangan yang disediakan termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil. Allah l berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 29)

 

 

Kesimpulan

Setelah uraian panjang di atas dapat disimpulkan bahwa AKAD MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH ADALAH RIBA DAN BERTENTANGAN DENGAN MUDHARABAH YANG SYAR’I.

Tidak ada bedanya bank syariah dengan bank konvensional, bahkan bank syariah bisa dikatakan lebih kejam dengan alasan:

1. Mengatasnamakan dirinya dengan syariah

2. Bunga yang didapatkan dari nasabah jauh lebih besar daripada yang didapat bank konvensional.

3. Bunga yang dia berikan kepada nasabah juga lebih besar daripada yang diberikan bank konvensional.

Untuk itu, diimbau kepada semua pihak terkait baik pemerintah (Depag/MUI), para bankir, dan lain-lain supaya lebih dalam mempelajari kembali semua sistem yang ada di perbankan syariah dengan bimbingan Islam yang benar: Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para ulama, agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada akad-akad bank syariah dapat ditiadakan dan dicarikan solusi syar’i terbaik sebagai gantinya.

Wallahul muwaffiq lish-shawab.

 

 

Maraji’

1. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Cet. I Darul Hadits Kairo-Mesir tahun 1416 H/1996 M.

2. Takmilah Al-Majmu’ Al-Muthi’I, cet. I Daar Ihyaut Turats Al-’Arabi, Beirut-Lebanon tahun 1422 H/2001 M.

3. Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, cet. Daarul Atsar Kairo-Mesir, tanpa tahun.

4. Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, Dr. Abdullah bin Muhammad As-Sa’idi, Cet. I Daar Thayyibah KSA tahun 1420 H/1999 M.

5. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik, Muhammad Syafi’i Antonio Cet. 9, Gema Insani bekerjasama dengan Tazkia Cendekia, Rabi’ul Awwal 1426 H/April 2005 M.

6. Diskusi langsung dengan sejumlah karyawan aktif dari sejumlah bank syariah.

7. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, cet. IV, Ulin Nuha lil Intaj Al-I’lami, 1424 H/ 2003 M

8. Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz cet. II Dar Ishda’ Al-Mujtama’, tahun 1428 H

Comments are closed.