Ar-Radha’ (Hukum Persusuan)

Hubungan mahram bisa terjalin dengan tiga sebab: hubungan nasab, penyusuan, dan karena pernikahan. Kajian mahram karena hubungan nasab dan pernikahan telah dibahas dalam edisi sebelumnya. Edisi kali ini akan mengulas hubungan mahram karena sebab kedua, yaitu karena penyusuan. Namun sebelumnya kami bawakan hukum penyusuan ini secara umum untuk tambahan faedah ilmu bagi kita semua, wabillahi taufik.

Saat bayi mungil yang didamba sepasang suami istri telah lahir menghiasi hari-hari indah keduanya, seluruh anggota keluarga menyambut dengan penuh sukacita. Sang ibu mendekatkan sosok mungil itu ke dadanya maka dengan segera mulut kecilnya menempel untuk mulai menyusu.

Demikian fitrah yang Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan. Dengan hikmah-Nya Allah subhanahu wa ta’ala bebankan tugas menyusui itu kepada seorang ibu, setelah sebelumnya Dia Yang Mahakuasa melengkapi tubuh sang ibu dengan organ menyusui.

Masalah penyusuan ini telah diatur hukum-hukumnya dalam syariat yang mulia ini[1] dan pembahasannya turut mewarnai kitab-kitab para ulama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Tanzil-Nya yang agung,

وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ وَعَلَى ٱلۡوَارِثِ مِثۡلُ ذَٰلِكَۗ فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٢٣٣

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf[2]. Tidaklah satu jiwa dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan karena anaknya[3], demikian pula seorang ayah[4]. Dan pewaris anak itu pun memiliki kewajiban yang sama[5]. Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (al-Baqarah: 233)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini merupakan bimbingan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, karena itulah Allah menyatakan, ‘Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan’.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290)

Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Apabila seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah kemahraman.”[6] (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 104)

Menyusui anak selama dua tahun penuh ini bukanlah satu kemestian, sehingga boleh menyapihnya kurang dari dua tahun sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, “Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, tidak ada dosa atas keduanya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/107)

Namun, keputusan menyapih ini harus datang dari kedua orang tua dan berdasarkan musyawarah keduanya dengan melihat maslahat (kebaikan) bagi si anak. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf.”

Dari sini kita tahu bolehnya menyusukan anak pada wanita lain. Kebiasaan menyusukan anak pada orang lain ini telah dikenal di kalangan bangsa Arab dan merupakan sesuatu yang lumrah bagi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memiliki beberapa ibu susu, di antaranya Halimah as-Sa’diyyah.

Putra beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disusukan pada wanita lain sebagaimana diriwayatkan al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي, إِبْرَاهِيْمَ. ثُمَّ دَفَعَهُ إِلىَ أُمِّ سَيْفٍ اِمْرَأَةِ قَيْنٍ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ سَيْفٍ

“Tadi malam lahir putraku, maka aku namakan dengan nama ayahku, Ibrahim.” Kemudian beliau menyerahkan Ibrahim, putranya, kepada Ummu Saif, istri Abu Saif seorang pandai besi. (HR. al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga berkata,

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كاَنَ أَرْحَمُ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ: كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالىِ الْمَدِيْنَةِ فَكاَنَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ، فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ وَكاَنَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ.

“Tidak pernah aku melihat seorang pun yang paling penyayang kepada anak-anak daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah Ibrahim putra beliau disusui di sebuah perkampungan yang ada di Madinah. Suatu ketika beliau pergi menjenguk putranya dan kami ikut menyertai. Lalu beliau masuk ke rumah orang tua susu Ibrahim yang penuh dengan asap. Karena memang suami dari ibu susu Ibrahim seorang pandai besi. Beliau pun mengambil putranya dan menciumnya. Setelah itu beliau kembali.” (HR. Muslim no. 2316)

Ketika Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ ابْنِي وَإِنَّهُ مَاتَ فِي الثَّدْيِ وَإِنَّ لَهُ لَظِئْرَيْنِ تُكَمِّلاَنِ رَضَاعَهُ فِي الْجَنَّةِ

“Anakku Ibrahim meninggal dalam usia menyusui (sumber makanannya adalah air susu) dan di surga ia memiliki dua ibu susu yang akan menyempurnakan penyusuannya.” (HR. Muslim no. 2316)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyusukan anak kepada orang lain.” (Syarah Shahih Muslim, 15/76)

Ulama menyenangi agar wanita yang menyusui si anak adalah wanita yang baik akhlaknya karena penyusuan itu dapat mengubah tabiat. (al-Mughni, 8/155)

Oleh karena itu mereka membenci bila seorang anak disusui oleh wanita kafir, fasik, jelek akhlaknya, atau menderita penyakit berbahaya/menular. (Taisirul ‘Allam, 2/379)

 

Mahram Karena Penyusuan

Dengan disusukannya seorang anak (laki-laki) kepada wanita lain terjalinlah hubungan mahram antara wanita tersebut selaku ibu susu dan anak yang disusuinya (anak susu) beserta segenap keturunan dan kerabat ibu susu, sehingga haram bagi anak susu menikahi mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ

“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….” (an-Nisa: 23)

Dalam ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan, ibu susu dan saudara wanita sepersusuan. Adapun golongan wanita yang lain seperti anak perempuan karena susuan, bibi susu (saudara perempuannya ibu susu/khalah dan saudara perempuannya ayah susu/amah), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) juga haram dinikahi dengan bersandar pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ []7

“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).”[8] (HR. al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444)

Dengan demikian, ibu susu,[9] saudara perempuan sepersusuan, anak perempuan susu,[10] saudara perempuannya ibu susu (bibi/khalah susu), saudara perempuannya ayah susu (bibi/amah susu), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (keponakan susu)[11] dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) merupakan mahram bagi seorang laki-laki.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Setiap wanita yang haram (dinikahi) karena hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya karena hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan perempuan dari saudara laki-laki, dan dari saudara perempuan dengan bentuk yang telah kami jelaskan dalam masalah nasab, berdalilkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

        يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam riwayat lain:

الرَّضَاعُ يُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ

“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (al-Mughni, 7/87)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki (yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah dewasa, –pen.) karena wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu ini menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya, haram baginya menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah khalahnya, haram baginya ibunya ibu susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putrinya ayah susu (suami ibu susu yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut) karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara perempuan ayah susu karena dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun anak perempuan ibu susu (cucunya ibu susu) karena mereka adalah putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya sepersusuan.” (al-Jami’ li Ahkamil Quran, 5/72)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawari oleh Ali bin Abi Thalib untuk menikahi putri pamannya, Hamzah bin Abdil Muththalib, beliau menolak dengan menyatakan,

        إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِي إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ

“Putri Hamzah tidak halal bagiku, karena dia itu putri saudara sepersusuanku.”12 (HR. al-Bukhari no. 2645 dan Muslim no. 1446)

Demikian pula ketika terdengar kabar bahwa beliau akan melamar Durrah bintu Abi Salamah. Beliau menyangkal dengan menyatakan bahwa Durrah tidaklah halal bagi beliau, di samping karena Durrah adalah anak tiri beliau, putri dari istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, juga di karenakan Durrah ini adalah putri dari saudara laki-laki beliau sepersusuan, karena beliau dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah.13 (HR. Muslim no. 1449)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits (dalam masalah) ini sepakat menyatakan adanya hubungan mahram karena penyusuan. Umatpun sepakat akan pastinya hal ini antara anak susu dan ibu susu, maka jadilah anak yang disusui itu seperti anaknya sendiri hingga haram selama-lamanya bagi si anak untuk menikahi ibu susunya. Halal bagi si anak untuk melihat ibu susunya, berduaan dengannya, dan safar bersamanya.” (Syarah Shahih Muslim, 10/19)

Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Umat sepakat pula tentang tersebarnya hubungan hurmah (kemahraman sehingga haram untuk dinikahi) antara ibu susu dengan putra-putranya (keturunan) anak susu, antara anak susu dengan anak-anaknya (keturunan) ibu susu, dengan demikian anak susu itu keberadaannya seperti anak ibu susu secara nasab.” (Syarah Shahih Muslim, 10/19)

Kerabat-kerabat ibu susu merupakan kerabat bagi anak susu. Adapun kerabat anak susu selain anak turunannya, tak ada hubungan antara mereka dengan ibu susu. (Nailul Authar, 6/370, Subulus Salam, 3/337)

Adapun dengan ayah susu, ulama berbeda pendapat. Ibnu ‘Umar, Ibnu Az- Zubair, Rafi‘ ibnu Khudaij, Zainab bintu Ummi Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha bin Yasar, Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf dan selainnya berpendapat tidak tersebar kemahraman ini ke ayah susu namun hanya terbatas di ibu susu.

Adapun jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi‘in dan fuqaha dari berbagai negeri seperti al-Auza‘i dari penduduk Syam, ats-Tsauri dan Abu Hanifah serta murid-murid keduanya dari penduduk Kufah, Ibnu Juraij dari penduduk Makkah, Malik dari penduduk Madinah, demikian pula asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan para pengikut mereka berpendapat tersebar kemahraman kepada ayah susu dan kerabatnya. (Fathul Bari, 9/183, al-Muhalla, 10/4, Aunul Ma‘bud, 6/41, al-Mughni, 7/87)

Pendapat jumhur inilah yang kuat, insya Allah, dengan didukung oleh hadits-hadits yang sahih, seperti hadits-hadits berikut ini.

Ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mendengar suara seorang lelaki minta izin masuk ke rumah Hafshah. Aisyah pun berkata, “Wahai Rasulullah, laki-laki itu minta izin untuk masuk ke rumahmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku lihat dia adalah si Fulan (ami/paman susunya Hafshah).”

Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, bila Fulan masih hidup (ia menyebut nama ami/paman susunya) apakah ia boleh masuk menemuiku?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةِ

“Ya. Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (HR. al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444)

Aflah, saudara laki-laki Abul Qu’ais, ayah susu Aisyah, pernah datang meminta izin untuk bertemu dengan Aisyah, ketika itu telah turun perintah berhijab dengan nonmahram. Aisyah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan Aflah, hingga aku minta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena bukanlah Abul Qu’ais yang menyusuiku, melainkan istrinya.”

Ketika datang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah pun berkata, “Aflah saudara Abul Qu’ais, tadi datang minta izin untuk menemuiku, namun aku tidak suka mengizinkannya sampai aku minta izin kepadamu.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Izinkan dia masuk menemuimu.” (HR. Bukhari no. 5239 dan Muslim no. 1445)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Aisyah bahwa Aflah adalah pamannya sehingga ia tidak perlu berhijab darinya. Hadits di atas menunjukkan bahwa suami ibu susu kedudukannya seperti ayah bagi anak susu dan saudara laki-laki ayah susu kedudukannya seperti paman. Ini merupakan mazhab para imam yang empat sebagaimana pendapat jumhur sahabat, tabi‘in dan fuqaha. (Syarhu az-Zurqani ‘ala Muwaththa’ Imam Malik, 3/309)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “(Dalam hadits Aisyah di atas menunjukkan) disyariatkannya mahram untuk minta izin bila ingin masuk menemui mahramnya.” (Fathul Bari, 9/184). Beliau rahimahullah menyebutkan bahwa saudara laki-laki dari ayah susu adalah mahram bagi anak susu.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menegaskan hal ini dengan menyatakan terjalinnya hubungan mahram antara anak susu dengan ayah susunya, menurut pendapat jumhur ulama, sehingga anak susu seperti anaknya sendiri dan putra-putrinya ayah susu menjadi saudara si anak susu, saudara-saudaranya ayah susu baik laki-laki maupun perempuan menjadi paman dan bibinya anak susu, dan putra-putranya (keturunan) anak susu menjadi cucunya ayah susu. (Syarah Shahih Muslim, 10/19).

Dengan demikian bila seorang laki-laki/suami memiliki dua istri atau dua budak wanita, lalu keduanya hamil, melahirkan dan menghasilkan air susu, kemudian masing-masingnya menyusui anak orang lain, misalnya yang satu anak laki-laki sedangkan yang satu anak perempuan (kedua anak ini asalnya ajnabi/bukan mahram) maka dengan penyusuan tersebut kedua anak tadi menjadi mahram, haram bagi keduanya untuk menjalin hubungan pernikahan karena keduanya telah menjadi saudara sepersusuan dari ayah susu yang sama, walaupun ibu susu mereka berbeda. (al-Muhalla, 10/2)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘di rahimahullah berkata, “Tersebar pengharaman untuk menikah (karena hubungan mahram persusuan) dari sisi anak susu dan ayah susu (karena ayah susu inilah yang merupakan sebab keluarnya air susu si ibu susu dengan si ibu susu mengandung dan melahirkan anaknya) sebagaimana hal ini tersebar dalam hubungan kerabat/nasab. Adapun pada si anak susu hanya terbatas pada anak keturunannya saja.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 173)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Bila seorang bayi menyusu pada seorang wanita dengan lima susuan dalam usia (belum lewat) dua tahun, sebelum disapih, maka bayi itu menjadi anaknya dengan kesepakatan para imam. Suami dari wanita itu (yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut dengan melahirkan anak si suami) menjadi ayah bagi anak susu tersebut, demikian menurut kesepakatan para imam yang masyhur.

Jadilah semua anak dari ayah dan ibu susu tersebut sebagai saudara anak susu, sama saja baik anak-anak tersebut dari pihak ayah susu saja (dari istrinya yang lain), atau dari pihak ibu susu (anak ibu susu dengan suaminya yang lain) atau anak-anak yang terlahir dari pernikahan keduanya (ayah dan ibu susu).

Tidak ada perbedaan, dengan kesepakatan para imam, antara anak-anak yang menyusu bersama-sama anak susu tersebut, dengan anak-anak ibu susu yang dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut atau sesudahnya.

Jadilah kerabat ibu susu sebagai kerabat anak susu. Anak-anak dari ibu susu adalah saudara-saudaranya, cucu dari ibu susu adalah keponakannya (anak-anak dari saudara sepersusuannya adalah keponakannya), orang tua ibu susu (dan seterusnya ke atas) adalah kakek dan neneknya, semua saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu susu adalah paman (khal) dan bibinya (khalah). Demikian pula kerabat bapak susu merupakan kerabat anak susu sebagaimana terjalin kekerabatannya dengan ibu susu.

Adapun kerabat anak susu dari nasab atau penyusuan, mereka adalah ajnabi (nonmahram) bagi ibu susu dan kerabat ibu susu, karena itu dibolehkan saudara laki-lakinya sepersusuan untuk menikah dengan saudara-saudara perempuannya dari hubungan nasab dan sebaliknya. Adapun anak-anak perempuan dari paman dan bibi susunya (misan karena susuan), halal untuk dinikahi oleh anak susu sebagaimana yang demikian itu halal dengan sebab nasab. Semua hal ini disepakati oleh ulama.” (Taudhihul Ahkam, Abdullah Alu Bassam, hlm. 120, al-Fatawa al-Kubra, 3/159—160)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Setiap wanita yang menyusui seorang laki-laki maka wanita itu haram dinikahi lelaki tersebut karena wanita itu adalah ibunya dengan sebab penyusuan.

Diharamkan bagi lelaki tersebut untuk menikahi anak-anak perempuan ibu susunya karena mereka adalah saudara-saudaranya sepersusuan, sama saja apakah mereka dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut ataupun sesudahnya. Sebagaimana haram baginya menikahi saudara-saudara perempuan ibu susunya karena mereka itu adalah bibi-bibi susunya (khalah).

Haram pula baginya menikahi ibu-ibu dari ibu susunya karena mereka adalah nenek-neneknya. Demikian pula saudara-saudara perempuan dari ayah susunya (suami ibu susu) karena mereka adalah bibi-bibinya (amah).

Diharamkan baginya menikahi ibu-ibu dari ayah susu karena mereka adalah nenek-neneknya dari penyusuan. Diharamkan baginya menikahi setiap anak perempuan yang menyusu dari air susu istrinya karena mereka adalah putri-putrinya. Demikian pula diharamkan baginya menikahi wanita yang menyusui istrinya.” (al-Muhalla, 10/2)

Hubungan penyusuan ini berkaitan dengan pengharaman nikah dan semua perkara yang berkaitan dengan nikah, tersebarnya hubungan mahram dan keharaman untuk menikah antara anak susu dengan putra-putrinya ibu susu, dan kedudukan mereka seperti kedudukan karib kerabat dalam kebolehan memandang, khalwat (berdua-duaan), dan bolehnya bepergian jauh (safar) bersama saudara susu. (Fathul Bari, 9/170)

Namun tidak semua hukum pertalian nasab berlaku dalam hubungan mahram karena penyusuan, seperti anak susu dan ibu susu tidaklah saling mewarisi, tidak wajib bagi salah satu dari dua pihak untuk menafkahi pihak yang lain, tidak gugur dari ibu susu hukuman qishash bila ia membunuh anak susunya, tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan dan sebagainya. Sehingga dalam hukum ini keduanya seperti ajnabi (bukan mahram). (Fathul Bari, 9/170, Syarah Shahih Muslim, 10/19, Subulus Salam, 3/337)

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

 

(bersambung)

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1] Diistilahkan dengan Ahkam ar-Radha’ (hukum-hukum penyusuan).

[2] Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni wajib bagi ayah si anak untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf yaitu menurut kebiasaan wanita-wanita semisal mereka di negeri mereka tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi sesuai dengan kemampuan ayah dalam kelapangannya, pertengahan hidupnya dan kesempitannya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ

“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan memberikan infak dari kelapangannya, dan siapa yang disempitkan rezekinya maka hendaklah ia menginfakkan dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya.” (ath-Thalaq: 7) (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/291)

[3] Kemudaratan yang diderita sang ibu bisa dengan mencegahnya untuk menyusui anaknya atau si ibu tidak diberikan haknya berupa nafkah dan pakaian atau upah menyusui. (al-Jami’ li Ahkamil Quran, 3/110, Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 104)

[4] Dengan si ibu menolak untuk menyusui anaknya karena ingin memudaratkan sang ayah atau ia menuntut tambahan dari apa yang wajib diberikan kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/110)

[5] Bila ayah si anak telah meninggal sementara anak itu tidak memiliki harta, maka ahli waris anaklah yang menanggung kewajiban seperti kewajiban sang ayah dengan memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm.104)

[6] Bila si anak disusui oleh wanita selain ibunya.

[7] Dan penyusuan itu membolehkan (menghalalkan) apa yang halal karena hubungan nasab (Fathul Bari, 9/170)

[8] Yakni bila dari sisi nasab wanita itu haram dinikahi maka demikian pula dari hubungan penyusuan, misalnya saudara perempuan ibu (khalah) haram dinikahi oleh keponakannya, maka demikian pula saudara perempuan ibu susu, haram dinikahi oleh keponakannya karena susuan.

[9] Termasuk pula ibunya ibu susu (nenek susu), neneknya ibu susu, dan seterusnya ke atas.

[10] Termasuk pula putrinya anak perempuan susu (cucu perempuan karena susuan) dan seterusnya ke bawah.

[11] Termasuk pula cucu keponakan susu dan seterusnya ke bawah, sebagaimana ketentuan ini berlaku pada mahram karena hubungan nasab.

ibu susumahrampenyusuan anaksaudara susu