Bani Israil Terdampar di Padang Tiih (1)

Kisah ini terjadi setelah Bani Israil menyeberang lautan dan dihancurkannya patung anak sapi dari emas yang disembah oleh sebagian besar mereka. Kemudian, Bani Israil dibawa oleh Nabi Musa ‘alaihissalam menuju Tanah Air mereka yang telah dijanjikan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk mereka, yaitu Palestina.

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”

Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orangorang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.”

Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya, “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”

Mereka berkata, “Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini.”

Berkatalah Musa, “Wahai Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dan orang-orang yang fasik itu.”

Allah berfirman, “(Jika demikian), sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. (Selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka dari itu, janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (al-Maidah: 20—26)

Allah ‘azza wa jalla mengingatkan Bani Israil akan nikmat-Nya yang sangat besar, Dia menyelamatkan mereka dari musuh mereka, yaitu Fir’aun, bahkan menyenangkan hati mereka dengan melihat sendiri kebinasaan Fir’aun dan bala tentaranya dalam satu hari. Tidak ada satupun musuh mereka itu yang selamat.

Tidak hanya itu, jenazah Fir’aun yang sudah mati diperlihatkan pula oleh Allah ‘azza wa jalla, hingga saat ini, sebagai hiburan bagi Bani Israil, sekaligus peringatan bagi para penguasa di seluruh dunia sesudahnya. Kemudian, Nabi Musa ‘alaihissalam membawa mereka menuju tanah air mereka, Baitul Maqdis. Tanah suci yang ditinggalkan oleh bapak moyang mereka, Ya’qub (Israil) ‘alaihissalam. Belum berapa lama, setelah melewati sebuah negeri, Bani Israil melihat penduduknya sedang tirakat di sekitar berhala. Menyaksikan hal itu, terbit keinginan mereka, dan segera mereka utarakan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.

Nabi Musa ‘alaihissalam menegur mereka dengan keras. Bani Israil tidak lagi meminta hal itu kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Akan tetapi, dalam empat puluh hari, ketika mereka ditinggal oleh Nabi Musa ‘alaihissalam yang memenuhi panggilan dari Allah ‘azza wa jalla untuk bertemu dengan-Nya di bukit Thursina, tujuh puluh ribu orang ikut teperdaya oleh Samiri dan terjerumus dalam perbuatan syirik akbar tersebut.

Allah ‘azza wa jalla yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang mengilhamkan tobat kepada mereka dan menerima tobat tersebut. Dikisahkan, tujuh puluh ribu orang yang dihukum mati oleh saudara mereka sendiri dihidupkan kembali oleh Allah ‘azza wa jalla.

Wallahu a’lam.

Sesudah itu, patung anak sapi yang disembah oleh sebagian besar Bani Israil itu dibakar musnah dan abunya dibuang ke laut. Bani Israil sekali lagi dihadapkan kepada kenyataan bahwa memang tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Patung anak sapi yang selama ini mereka puja-puja tidak lebih dari sebuah benda mati, tidak bisa menjawab perkataan mereka, tidak pula mampu bersuara sedikit pun.

Kemarahan Nabi Musa ‘alaihissalam sudah pupus, beliau mengambil Taurat yang sempat dilemparkannya. Beberapa lembaran yang berukuran besar. Ada yang menyebutkan asalnya adalah permata surga. Di dalam tulisannya terdapat hidayah yang menerangkan mana yang hak mana yang batil, mana amalan yang baik, mana pula yang buruk, serta petunjuk kepada semua kebaikan. Lembaran itu juga sarat dengan akhlak dan adab yang luhur dan berisi pula rahmat serta kebahagiaan bagi yang mengamalkannya, memahami hukum dan makna-maknanya.

Akan tetapi, tidak semuanya siap dan mau menerima hidayah dan rahmat Allah tersebut. Sebab, yang hanya mau menerimanya ialah orang-orang yang takut dan tunduk merendahkan dirinya kepada Rabb (Yang Mencipta, Menguasai, Memberi rezeki, Mengatur, dan Memelihara)nya.

Nabi Musa ‘alaihissalam mulai menerangkan kepada mereka kandungan Taurat yang beliau terima. Mulanya mereka menolak dan merasa perintah atau larangan tersebut sangat berat. Dengan sabar Nabi Musa ‘alaihissalam mengingatkan mereka bahwa itu semua ketetapan Allah ‘azza wa jalla, tetapi mereka tidak peduli dan masih menyanggah Nabi Musa ‘alaihissalam. Tiba-tiba, gunung yang ada di dekat mereka melayang tinggi di atas mereka seperti payung.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakanakan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka), “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.” (al-A’raf: 171)

Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa dalam ayat ini seakan-akan dikatakan kepada mereka,”Kalau kamu tidak menerima Taurat dan kandungannya, gunung ini akan dihempaskan kepada kamu.”

Melihat bayangan hitam bukit Thursina di atas kepala mereka, Bani Israil ketakutan dan segera menjatuhkan diri bersujud sambil mengintip ke arah gunung itu. Mereka sangat khawatir gunung itu menimpa mereka. Akhirnya, mereka menerima ketetapan Taurat yang disampaikan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam.

Cara sujud sambil mengintip ke langit, menjadi kebiasaan mereka turuntemurun. Kata mereka, “Tidak ada sujud yang lebih agung daripada sujud yang karenanya azab itu terangkat dari kami.”

Demikianlah keadaan mereka. Akan tetapi, hal itu tidak bertahan lama, karena dalam ayat lain, Allah ‘azza wa jalla berfirman menerangkan,

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman), “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.”

Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.” (al-Baqarah: 63—64)

Ingatlah; (ketika Kami mengambil janji dari kamu), yaitu janji yang berat dan diperkuat dengan ancaman yang menakut-nakuti mereka, yaitu terangkatnya bukit Thursina di atas kepala mereka, lalu diperintahkan kepada mereka: (Peganglah apa yang Kami berikan kepadamu), yaitu Taurat, (teguh-teguh), yakni dengan bersungguh-sungguh dan bersabar melaksanakan perintah Allah, (dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya), yaitu apa yang ada di dalam Kitabmu, dengan membaca dan mempelajarinya, (agar kamu bertakwa); menjaga diri dari azab dan murka Allah, atau menjadi orang yang bertakwa.

Akan tetapi, sesudah penekanan yang luar biasa ini, (Kemudian kamu berpaling), sehingga kamu pantas merasakan hukuman yang sangat berat. Akan tetapi, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.”

Sampailah mereka di sebuah desa yang dekat dengan Baitul Maqdis. Nabi Musa ‘alaihissalam memberikan wejangan kepada mereka dan mengingatkan agar mereka maju untuk berjihad. Kata beliau, “Ingatlah nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada kalian.” Sebab, mengingat-ingat nikmat itu menjadi pendorong untuk mencintai Allah ‘azza wa jalla Yang telah melimpahkan kenikmatan itu, sekaligus menumbuhkan semangat beribadah kepada-Nya.

Beliau melanjutkan, “Ingatlah pula ketika Allah mengangkat nabi-nabi di antaramu, yang mengajak kamu kepada hidayah (petunjuk), memperingatkan kamu agar menjauhi hal-hal yang rendah, mendorong kamu kepada kebahagiaanmu yang abadi dan mengajari kalian hal-hal yang belum kalian ketahui.”

“Dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, yang mampu mengatur diri sendiri, lepas dari penindasan musuh kamu, sehingga kamu dapat menjalankan agama kamu dengan leluasa.”

“Dia memberikan kepadamu berbagai kenikmatan agama dan dunia yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain.”

Mereka dilebihkan dari bangsa lain yang ada pada zaman itu, karena pada masa itu, Bani Israil adalah orang-orang yang beriman. Sebab itu pula ditetapkan bagi mereka kemenangan atas musuh-musuh mereka dari bangsa ‘Amaliqah.

Kemudian, beliau mengatakan kepada mereka, “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu.”

Nabi Musa ‘alaihissalam menerangkan kepada mereka berita yang menenteramkan hati mereka, kalau mereka betul-betul beriman dan meyakini kebenaran berita dari Allah, bahwa Allah telah menentukan mereka memasukinya dan pasti menang melawan musuh-musuh mereka.

Nabi Musa mengingatkan mereka agar tidak berbalik, mundur sehingga menjadi orang-orang yang merugi. Rugi dunia karena kehilangan kesempatan meraih kemenangan yang sudah pasti dan rugi akhirat, karena tidak memperoleh pahala, bahkan justru menerima azab dan hukuman karena mendurhakai perintah.

Apa yang terjadi? Apa jawaban mereka?

Mereka memberikan jawaban yang menampakkan betapa lemahnya hati mereka, rapuhnya jiwa mereka, dan tidak adanya perhatian serta antusias mereka memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya ‘alaihissalam.

Allah ‘azza wa jalla berfirman menerangkan jawaban mereka,

Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa.” (al-Maidah: 22)

Ternyata mereka menolak dan memberikan alasan. Seakan-akan mereka hendak mengatakan, “Negeri yang engkau perintahkan kami memasukinya ini, di dalamnya ada orang-orang yang berperawakan mengerikan dan memiliki kekuatan yang dahsyat. Kami tidak sanggup menghadapi mereka. Tidak mungkin pula kami memasukinya selama mereka ada di sana. Kalau mereka sudah keluar, barulah kami memasukinya.”

Perkataan mereka sebagaimana dalam ayat ini, semakin menegaskan sifat dasar mereka, yaitu pengecut dan kurangnya keyakinan mereka terhadap Allah. Sebab, kalau mereka memiliki akal, tentu mereka mengerti bahwa mereka dan musuh mereka sama-sama manusia, anak-anak Adam ‘alaihissalam. Yang kuat adalah orang yang diberi kekuatan dari sisi Allah, karena memang tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Andaikata mereka memiliki keyakinan seperti ini, pasti mereka ditolong dan menang melawan musuh mereka, sebab Allah k sudah menjanjikan hal itu secara khusus kepada mereka.

Melihat keengganan Bani Israil untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, bangkitlah dua orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, termasuk orang-orang yang takut kepada ketetapan dan siksa Allah. Ada yang menyebutkan bahwa keduanya adalah Yusya’ bin Nun ‘alaihissalam dan Kalib bin Yufana.

Mereka berkata mengingatkan kaum mereka, “Serbulah mereka melalui gerbang kota itu, dengan tiba-tiba. Desaklah mereka dan jangan beri mereka kesempatan. Sebab, apabila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang, tanpa harus bersusah payah bertempur dengan mereka. Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, setelah menjalankan sebab-sebabnya. Akan tetapi, jangan kalian bertumpu kepada sebab-sebab itu, karena semua itu tidak ada artinya jika tidak diizinkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Itupun kalau kamu benarbenar orang yang beriman, karena kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah, mengakui kebenaran janji-Nya, hal itu pasti menumbuhkan tawakal kepada-Nya.”

Akan tetapi, rasa takut agaknya sudah menguasai hati sebagian mereka, kecuali yang dirahmati oleh Allah ‘azza wa jalla. Mereka tetap tidak peduli dengan nasihat kedua orang yang mulia itu. Kata mereka, sebagaimana dalam ayat,

Mereka berkata, “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini.”

Di saat-saat genting seperti ini, dalam situasi yang seharusnya mereka membela dan menolong Nabi mereka, mereka justru menghina dan mengolok-olok Allah k dan Rasul-Nya ‘alaihissalam.

Dari sini jelaslah perbedaan antara umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat-umat yang lain. Maha Benarlah Allah ‘azza wa jalla dengan firman-Nya,

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)

Mereka adalah sebaik-baik manusia yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia dan paling bermanfaat bagi sesama manusia. Alangkah indahnya ucapan mereka, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat mereka dalam peristiwa Badr Kubra. Kafilah dagang Quraisy yang mereka kejar telah lolos, sekarang harus menghadapi pasukan Quraisy yang datang lengkap bersama para pemuka mereka. Silih berganti para sahabat mengemukakan pendapatnya, tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menawarkan kepada mereka. Seakan-akan ingin menyelami kesiapan sahabat-sahabat Anshar, apakah baiat mereka di ‘Aqabah (I dan II) hanya terbukti bila beliau berada di perkampungan mereka, sedangkan jika di luar Madinah, mereka tidak menjalankannya?

Sahabat-sahabat Anshar tanggap terhadap apa yang diinginkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Agaknya kami yang Anda maksud, wahai Rasulullah?”

“Betul.”

“Kami telah beriman dan membenarkan Anda, dan telah kami saksikan bahwa apa yang Anda bawa adalah hak. Karena itu, kami telah menyerahkan janji dan sumpah setia kami kepada Anda agar tetap mendengar dan menaati Anda. Sebab itu, berangkatlah, wahai Rasulullah, menuju apa yang Anda mau, niscaya kami tetap bersama Anda. Demi Dzat Yang mengutus Anda membawa al-haq, andaikata Anda membawa kami menyelami lautan, niscaya kami akan menyelam bersama Anda dan tidak akan ada seorang pun tertinggal di antara kami. Kami tidak benci andaikata bertemu musuh esok hari. Kami adalah orang-orang yang jujur dan tabah dalam peperangan. Semoga Allah memperlihatkan kepada Anda apa yang menyenangkan hati Anda dari kami. Berangkatlah dengan berkah Allah, wahai Rasulullah.”

“Kami tidak akan berkata seperti ucapan Bani Israil kepada Nabi mereka, Musa ‘alaihissalam, ‘Pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini.’ Akan tetapi, berperanglah Anda, dan kami akan berperang pula bersama Anda, di kanan dan kiri Anda, juga di depan dan di belakang Anda.”

Wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseri-seri, sangat senang mendengar ucapan tersebut dan memberikan kabar gembira kepada mereka akan janji kemenangan dari Allah ‘azza wa jalla.

Berbeda jauh dengan ucapan Bani Israil ini. Mendengar ucapan buruk mereka, Nabi Musa ‘alaihissalam marah. Beliau bersujud bersama Nabi Harun memohon ampunan kepada Allah. Yusya’ dan Kalib juga sedih dan marah melihat perilaku buruk saudara-saudara mereka. Akhirnya, Nabi Musa ‘alaihissalam mendoakan mereka, sebagaimana ayat,

“Wahai Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”

Seakan-akan beliau berkata,”Wahai Rabbku, tidak ada yang menaatiku dalam melaksanakan perintah Allah dan menyambut seruanku di antara mereka selain aku dan saudaraku Harun. Aku bukan penindas atau pemaksa mereka, maka putuskanlah persoalan antara kami dan mereka, dengan menurunkan hukuman yang sesuai dengan hikmah-Mu terhadap orang-orang fasik itu.”

Dari sini, jelaslah bahwa ucapan mereka adalah dosa besar yang menyebabkan mereka dihukumi sebagai orang-orang yang fasik.

Allah ‘azza wa jalla mengabulkan doa Rasul-Nya ‘alaihissalam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“(Jika demikian), sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu.”

Itulah hukuman yang mereka rasakan di dunia. Allah mengharamkan mereka memasuki Tanah Suci yang telah ditetapkan-Nya bagi mereka, selama empat puluh tahun. Akhirnya, selama empat puluh tahun itu, mereka hanya berputar-putar di padang Tiih, tidak menemukan jalan dan tidak pernah merasa tenang. Mudah-mudahan itu menjadi kaffarah (penghapus) dosa-dosa mereka, sekaligus menjauhkan mereka dari hukuman yang lebih berat.

Bisa jadi, salah satu hikmahnya adalah agar mayoritas mereka yang mengolok-olok Allah dan Rasul-Nya serta menolak jihad itu lenyap dan digantikan oleh orang-orang yang masih baik dan lurus hatinya. Sebab, munculnya ucapan bernada ejekan itu hanya muncul dari hati yang lemah dan tidak ada kesabaran serta keteguhan di dalamnya. Tidak ada kemauan dan cita-cita yang tinggi serta tekad yang kuat untuk meraih kemenangan.

Bisa jadi pula, dalam rentang waktu sekian lama, akan lahir dan muncul generasi baru yang akal dan jiwa mereka terbina serta terasah untuk mengalahkan musuh-musuh mereka.  Wallahu a’lam.

(insya Allah bersambung)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits