Barakah & Tabarruk Dalam Tinjauan Syariat

Lafadz “barakah” atau “berkah” dengan berbagai pecahan katanya banyak kita jumpai dalam al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah. Sebuah ayat Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa iman dan takwa adalah sebab keberkahan sebuah negeri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٩٦

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf: 96)

Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَنَزَّلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ مُّبَٰرَكٗا فَأَنۢبَتۡنَا بِهِۦ جَنَّٰتٖ وَحَبَّ ٱلۡحَصِيدِ ٩

“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya (mubarak)  lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (Qaf: 9)

Demikian pula dalam hadits-hadits sahih, lafadz barakah tersebut berulang. Hadits-hadits berikut sebagai contohnya.

Seorang sahabat datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan dirinya yang tidak pernah merasa kenyang ketika makan. Dengan penuh kasih sayang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi sebuah bimbingan,

فَلَعَلَّكُمْ تَأْكُلُونَ مُتَفَرِّقِينَ؟ اجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ تَعَالَى عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ

“Sepertinya kalian berpencar, makan sendiri-sendiri? Berkumpullah kalian dalam makanan, dan sebutlah nama Allah subhanahu wa ta’ala niscaya Allah subhanahu wa ta’ala berkahi makanan itu untuk kalian.[1]

Masih tentang adab-adab makan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan agar kita mendapat berkah Allah subhanahu wa ta’ala,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمُ الطَّعَامَ فَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا وَلاَ يَرْفَعْ صَحْفَةً حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا فَإِنَّ آخِرَ الطَّعَامِ فِيهِ بَرَكَةٌ لَهُ

“Jika salah seorang di antara kalian makan, janganlah mengusap tangannya sehingga ia jilat atau menjilatkannya, dan janganlah nampan diangkat sehingga ia jilat (nampannya) atau menjilatkannya, karena akhir dari makanan ada barakah baginya.[2]

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa makanan sahur adalah makanan yang Allah subhanahu wa ta’ala berkahi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فِإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Bersahurlah, karena dalam hidangan sahur ada barakah.[3]

Kata barakah juga selalu kita baca dalam shalawat Ibrahimiyah, shalawat yang paling afdal yang dibaca dalam shalat.

Dalam shalawat tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita untuk memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia memberkahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga beliau, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah memberkahi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam beserta keluarganya,

اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah subhanahu wa ta’ala, berkahilah Nabi Muhammad beserta keluarga beliau sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim beserta keluarga beliau. Sungguh, Engkau adalah Dzat Yang Maha Terpuji lagi Mahamulia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kata berkah, pernah pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan ketika bersabda tentang keutamaan unta, kambing, dan kuda dalam hadits Urwah bin Ja’d al-Bariqi radhiallahu ‘anhu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْإِبِلُ عِزٌّ لِأَهْلِهَا وَالْغَنَمُ بَرَكَةٌ وَالْخَيْرُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِي الْخَيْلِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Unta adalah kemuliaan bagi pemiliknya, kambing (di dalamnya) ada barakah, dan kebaikan itu terikat pada jambul kuda hingga hari kiamat.”[4]

Intinya, siapa pun yang mentadabburi nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah akan mendapati lafadz barakah sangat banyak disebutkan.

 

Makna Barakah dan Tabarruk

Al-Barakah ( اَلْبَرَكَة )—dengan huruf ba’ yang difathah—secara bahasa mengandung makna النَّمَاءُ (tumbuh), الزِّيَادَةُ (bertambah), dan السَّعَادَةُ (kebahagiaan).[5]

Barakah juga mengandung makna “tetap” atau “langgeng”. Hal ini diterangkan oleh Ibnu Atsir rahimahullah ketika menjelaskan makna barakah dalam shalawat Ibrahimiyah, “Berkahilah atas Nabi Muhammad.”

Ibnu Atsir rahimahullah berkata, “Maknanya, ‘Ya Allah subhanahu wa ta’ala, tetapkan dan kekalkanlah kemuliaan dan ketinggian yang telah Engkau anugerahkan kepada beliau’.”

Makna ini terambil dari perkataan orang Arab,

بَرَكَ الْبَعِيرُ

“Unta itu mendekam.”

Maksudnya, menetapi tempat tersebut….[6]

Al-Barakah diambil pula dari kata al-birkah ( اَلْبِرْكَة )—dengan huruf ba’ yang dikasrah. Artinya ialah ( مَجْمَعُ الْمَاء ) tempat tergenangnya air (kolam). Tempat seperti ini memiliki keistimewaan: airnya banyak dan terkumpul (tetap).

Dari beberapa penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa barakah adalah kebaikan yang banyak, yang senantiasa tumbuh, bertambah, dan diiringi dengan tetap atau langgengnya kebaikan tersebut, baik pada harta, anak, ilmu, waktu, maupun yang lain. Allahu a’lam.

Jika seseorang berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi umur fulan,” artinya Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kebaikan kepada umurnya, sehingga hidupnya dipenuhi amalan saleh. Orang yang umurnya diberkahi, tidaklah bertambah usianya melainkan bertambah pula kebaikan-kebaikannya, hingga akhir hayatnya.

Sebaik-baik manusia adalah yang dipanjangkan umurnya oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diberi taufik oleh-Nya untuk mengisi umur tersebut dengan amalan kebaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya, dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan jelek amalannya.”[7]

 Demikian kurang lebih makna “barakah”.

Adapun “tabarruk” ( التَّبَرُّكُ ), secara bahasa bermakna الْبَرَكَةِ طَلَبُ (mencari barakah). Tabarruk adalah upaya yang dilakukan untuk memperoleh barakah dengan melakukan sebab-sebabnya. Allahu a’lam.

 barakah-1024x768

Barakah yang Maknawi dan Indrawi

Bisa jadi, barakah yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada sesuatu terlihat dan bisa diindra (hissi). Bisa jadi, pula barakah tersebut tidak tampak dan tidak disadari (maknawi).

Di antara contoh barakah yang terlihat adalah anugerah Allah subhanahu wa ta’ala kepada seorang buta dari Bani Israil. Allah subhanahu wa ta’ala mengutus malaikat untuk mengusap matanya, hingga sembuhlah si buta. Lantas Allah subhanahu wa ta’ala memberinya seekor kambing bunting. Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi kambing tersebut hingga berkembang biak memenuhi lembah.

Si Buta diuji kembali oleh Allah subhanahu wa ta’ala, apakah ia bersyukur atas nikmat-Nya atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَتَى الْأَعْمَى فِي صُورَتِه فَقَالَ: رَجُلٌ مِسْكِينٌ وَابْنُ سَبِيلٍ قَدِ انْقَطَعَتْ بِي الْحِبَالُ فِي سَفَرِي، فَ بَ غَالَ لِي الْيَوْمَ إِلاَّ باِللهِ ثُمَّ بِكَ، أَسْأَلُكَ بِالَّذِي رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ شَاةً أَتَبَلَّغُ بِهَا فِي سَفَرِي. فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أَعْمَى فَرَدَّ اللهُ إِلَيَّ بَصَرِي، فَخُذْ مَا شِئْتَ، وَدَعْ مَا شِئْتَ، فَوَاللهِ لاَ أُجْهِدُكَ الْيَوْمَ بِشَيْءٍ أَخَذْتَهُ ؟ِلهلِ.فَقَالَ: أَمْسِكْ مَالَكَ، فَإِنَّمَا ابْتُلِيتُمْ، فَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْكَ وَسَخِطَ عَلَى صَاحِبَيْكَ

Malaikat mendatangi orang yang dahulu buta (menjelma) dalam bentuknya. Malaikat berkata, “Aku orang miskin, pengembara yang kehabisan bekal dalam perjalananku. Pada hari ini tidak ada lagi harapan, kecuali kepada Allah subhanahu wa ta’ala kemudian kamu. Demi Rabb yang telah mengembalikan penglihatanmu, aku minta seekor kambing untuk membantuku dalam perjalanan.”

Orang itu berkata, “Dahulu aku buta, lalu Allah subhanahu wa ta’ala pulihkan penglihatanku, maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu inginkan. Demi Allah subhanahu wa ta’ala, aku tidak akan membebani kamu dengan apa yang kamu ambil untuk Allah.”

Malaikat berkata, “Tahanlah semua hartamu itu, karena kamu sekalian hanya sekadar diuji. Kamu telah diridhai Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan kedua sahabatmu telah dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.” (Shahih Muslim no. 5265)

 Secara kasat mata tampak bahwa si buta mendapatkan harta yang diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kambingnya terus bertambah. Allah subhanahu wa ta’ala pun menjaga nikmat-Nya dengan sebab ketaatan dan syukurnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini seperti janji Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Barakah yang bersifat maknawi contohnya seseorang yang diselamatkan dari berbagai kejelekan, fitnah, musibah, penyakit, atau kebinasaan; seandainya Allah subhanahu wa ta’ala tidak memalingkan kejelekan-kejelekan itu darinya, niscaya akan hilang harta, jiwa, keluarga, bahkan agamanya.

Ini adalah barakah yang luar biasa, namun seringkali tidak disadari.

Di antara contoh barakah yang tidak disadari adalah apa yang disebut dalam hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو اللهَ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ بِهَا إِحْدَى ثَ ثَالِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، أَوْ يَدَّخِرُ لَهُ مِنَ الْخَيْرِ مِثْلَهَا، أَوْ يَصْرِفُ عَنْهُ مِنَ الشَّرِّ مِثْلَهَا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ

“Tidaklah seseorang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan doa yang tidak mengandung dosa atau pemutusan silaturahim, melainkan Allah subhanahu wa ta’ala pasti mengabulkan dengan salah satu dari tiga pemberian, (1) bisa jadi Allah subhanahu wa ta’ala menyegerakan di dunia apa yang dia minta (pada waktu ia sedang membutuhkan –pen.), (2) Allah subhanahu wa ta’ala menunda untuknya (di akhirat –pen.) dengan kebaikan yang serupa, atau (3) Allah subhanahu wa ta’ala memalingkannya dari kejelekan yang semisal (baik kejelekan yang menimpa agama, dunia, maupun badannya –pen.).”

Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kalau demikian kami akan memperbanyak doa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah subhanahu wa ta’ala lebih banyak.”[8]

convergence

Hanya Allah subhanahu wa ta’ala Pemberi Barakah

Segala kebaikan dan barakah adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala semata. Ini adalah akidah yang tidak boleh ditawar.

Dialah satu-satunya Dzat yang segala kebaikan dan barakah ada di Tangan-Nya. Bukan yang lain! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٢٦

Katakanlah, “Ya Allah, Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di Tangan-Mulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran: 26)

Ayat di atas menerangkan keumuman kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala, dan bahwa semua kebaikan di Tangan Allah subhanahu wa ta’ala, bukan di tangan makhluk.

Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah subhanahu wa ta’ala yang paling mulia dan kekasih Allah subhanahu wa ta’ala, tidak mampu mendatangkan sedikit pun kebaikan atau menolak mudarat atas diri beliau, lebih-lebih atas orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١٨٨

Katakanlah, “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyakbanyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-A’raf: 188)

Di samping nas yang umum, secara khusus nas-nas al-Qur’an dan al-Hadits menegaskan bahwa barakah itu milik Allah subhanahu wa ta’ala semata dan Dialah satu-satunya Dzat yang memberkahi. Di antara ayat tersebut adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١

“Mahasuci Allah subhanahu wa ta’ala, yang telahmemperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil al-Haram ke al-Masjidil al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Isra: 1)

إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٖ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكٗا وَهُدٗى لِّلۡعَٰلَمِينَ ٩٦

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Ali Imran: 96)

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa  Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang memberkahi tempat yang Dia kehendaki, seperti Makkah, Madinah, Baitul Maqdis, masjid-masjid atau tempat mana pun. Ayat al-Qur’an pun menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satu-Nya Dzat yang memberkahi hamba yang Dia kehendaki, seperti para nabi dan rasul.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ إِنِّي عَبۡدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِيَ ٱلۡكِتَٰبَ وَجَعَلَنِي نَبِيّٗا ٣٠ وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ وَأَوۡصَٰنِي بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمۡتُ حَيّٗا ٣١

Isa berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah subhanahu wa ta’ala, Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 30—31)

Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَبَٰرَكۡنَا عَلَيۡهِ وَعَلَىٰٓ إِسۡحَٰقَۚ وَمِن ذُرِّيَّتِهِمَا مُحۡسِنٞ وَظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ مُبِينٞ ١١٣

“Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishak. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (ash-Shaffat:113)

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa barakah itu milik Allah subhanahu wa ta’ala semata. Beliau senantiasa mengingatkan umatnya bahwa barakah hanya dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan Dia-lah yang memberikan barakah.

Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu mengisahkan,

قَدْ رَأَيْتُنِي مَعَ النَّبِيِّ وَقَدْ حَضَرَتِ الْعَصْرُ وَلَيْسَ مَعَنَا مَاءٌ غَيْرَ فَضْلَةٍ، فَجُعِلَ فِي إِنَاءٍ فَأُتِيَ النَّبِيُّ بِهِ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهِ وَفَرَّجَ أَصَابِعَهُ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى أَهْلِ الْوُضُوءِ، الْبَرَكَةُ مِنْ اللهِ. فَلَقَدْ رَأَيْتُ الْمَاءَ يَتَفَجَّرُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ فَتَوَضَّأَ النَّاسُ وَشَرِبُوا فَجَعَلْتُ لَا آلُوا مَا جَعَلْتُ فِي بَطْنِي مِنْهُ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ بَرَكَةٌ. قُلْتُ لِجَابِرٍ: كَمْ كُنْتُمْ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: أَلْفًا وَأَرْبَعَ مِائَةٍ

“Saat itu aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (di Hudaibiyah –pen.). Datanglah waktu ashar sementara kami tidak memiliki air selain sisa air yang telah kita masukkan dalam bejana khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bejana itu dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memasukkan tangannya ke dalamnya lalu membuka jari-jemari seraya menyeru,

حَيَّ عَلَى أَهْلِ الْوُضُوءِ الْبَرَكَةُ مِنْ اَّهللِ

‘Marilah bersegera menuju wudhu.[9] Barakah itu dari Allah.’

Sungguh, aku melihat air memancar dari jari-jemari beliau. Orang-orang pun berwudhu dan minum dari air tersebut. Aku tidak berlambat memasukkan air dalam perutku, aku pun menyadari bahwa itu adalah barakah.”

Perawi bertanya kepada Jabir, “Berapa jumlah kalian—para sahabat—ketika itu?” Kata Jabir, “Seribu empat ratus orang.” (HR. al-Bukhari no. 5208)

Walhasil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satu-Nya Dzat yang memiliki barakah, dan Dialah satu-satu-Nya Dzat yang memberkahi. Hanya dari-Nya dimohon berkah. Inilah akidah yang wajib diyakini.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.


[1] HR. Abu Dawud (2/139), Ibnu Majah (2/307), Ahmad (3/501), al-Hakim (2/103) dan Ibnu Hibban. Al-‘Iraqi dalam takhrijnya terhadap Ihya’ ‘Ulumiddin mengatakan bahwa hadits ini sanadnya hasan. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (2/272).

[2] HR. Abu ‘Awanah (5/370), an-Nasai, Ibnu Hibban, melalui jalan Abu Zubair, Muhammad bin Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani.

[3] HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.

[4]  Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2760.

[5] Lihat al-Qamus al-Muhith (3/293). Makna ini pula yang disebutkan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab (10/395—396).

[6]  An-Nihayah fi Gharibil Hadits (1/120)

 [7] Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu.

[8] HR. Ahmad dalam al-Musnad (3/18), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar; dan dinyatakan sahih oleh al-Albani.

Tentang makna sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah subhanahu wa ta’ala lebih banyak,” ath-Thibi mengatakan bahwa artinya adalah

– Allah subhanahu wa ta’ala lebih banyak mengabulkan doa kalian daripada banyaknya doa-doa kalian kepada Allah subhanahu wa ta’ala, atau

– Keutamaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan lebih besar daripada apa yang kalian minta kepada-Nya, atau

– Apa yang Allah subhanahu wa ta’ala miliki sangat banyak dan tidak terbatas sehingga engkau tidak boleh merasa bahwa permintaanmu sangat banyak. Sebanyak apa pun yang kalian minta, sesungguhnya Allah Maha kuasa dan tidak lemah, karena perbendaharaan-Nya tidak akan pernah habis atau berkurang, atau

– Pahala dan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala lebih banyak daripada persangkaan hati-hati kalian. Oleh karena itu, mintalah sebanyak-banyaknya sesuka kalian. Sungguh, apa yang Allah subhanahu wa ta’ala beri lebih baik dan lebih mulia.

[9] Dalam riwayat an-Nasafi disebutkan tanpa lafadz أَهْلِ , dan ini lebih tepat. Demikian penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.