Belajar Tanpa Campur Baur

Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

kitab-fikih

Serombongan wanita sahabiyah pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kabar Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Mereka datang untuk mengadu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memohon jalan keluarnya.

غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ. فَكاَنَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ: مَا مِنْكُمُ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةً مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ: وَاثْنَيْنِ

“Kaum lelaki mengalahkan kami untuk mendapatkan ilmu darimu (karena banyaknya lelaki di majelismu). Oleh karena itu, mohon tentukanlah untuk kami satu hari yang engkau khususkan untuk kami belajar darimu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut baik keinginan dan harapan mereka dengan menjanjikan satu hari yang khusus. Beliau akan menemui mereka di hari tersebut guna menasihati dan memberi perintah kepada mereka (dari urusan agama ini). Di antara yang beliau sampaikan kepada mereka di majelis khusus tersebut adalah, “Tidak ada satu wanita pun yang meninggal tiga anaknya[1] (lalu dia bersabar dan mengharapkan pahala atas musibah tersebut), melainkan anak itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.”

Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, berkatalah seorang wanita di antara mereka, “Bagaimana kalau yang meninggal itu dua anak?” Beliau menjawab, “Ya, dua anak juga.”

Dalam riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan tempat taklim mereka,

مَوْعِدُكُنَّ بَيْتُ فُلاَنَةَ. فَأَتَاهُنَّ فَحَدَّثَهُنَّ

“Tempat pertemuan dengan kalian adalah rumah Fulanah.” Beliau lalu mendatangi mereka di rumah tersebut dan menyampaikan ilmu kepada mereka.

Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-‘Ilmi, bab “Hal Yuj’al Lin-Nisa’ Yaumun ‘ala Hiddah fil ‘Ilm” (no. 101 dan 102).

Pembaca yang mulia, semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Anda…

Dalam hal kewajiban mencari ilmu syar’i dan mengamalkannya, wanita memang sama dengan pria. Jadi, seorang wanita dituntut sebagaimana yang dituntut dari seorang pria terkait dengan ilmu yang wajib dia amalkan dalam kesehariannya[2].

Majelis ilmu di kota Madinah, di mana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wahyu dari langit, disesaki oleh kaum pria. Mereka ini—para sahabat yang mulia radhiallahu ‘anhum—sangat bersemangat mendapatkan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka berlomba-lomba mendatangi majelis beliau dan duduk dekat dengan beliau.

Mereka menyadari bahwa yang mereka cari adalah ilmu yang merupakan kebahagiaan, keselamatan, dan kesuksesan mereka di dunia, lebih-lebih lagi di akhirat kelak. Karena banyaknya lelaki yang hadir, kaum wanita dari kalangan sahabiyah tidak mungkin menembus kerumunan tersebut karena rasa malu bercampur baur dengan lelaki. Apalagi telah datang larangan ikhtilath (campur baur) dengan lawan jenis. Para wanita terpaksa harus puas mendengarkan sedikit ilmu karena mayoritas majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam didominasi oleh kaum lelaki.

Namun, sebagian mereka tidak menginginkan hal itu terus berlarut. Sebab, mereka juga haus akan ilmu dan ingin meminumnya dari sumbernya yang asli. Permintaan majelis khusus mereka utarakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disambut baik oleh beliau. Terjadilah kesepakatan waktu dan tempat antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka. Berlangsunglah majelis khusus tersebut….

Pesan yang tersampaikan lewat hadits di atas demikian jelas, yaitu tidak boleh wanita bercampur baur dengan lelaki, walaupun untuk belajar ilmu agama yang menjadi kewajiban setiap muslim—sebagaimana hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan beberapa sahabat yang lain,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu (agama) wajib bagi setiap muslim.”[3]

Apabila belajar agama saja tidak boleh ikhtilath, lantas bagaimana gerangan jika yang dipelajari itu bukan ilmu agama? Tentu lebih tidak boleh! Seandainya bercampur baur dalam taklim dibolehkan, niscaya para wanita sahabiyah akan memaksakan diri hadir di majelis umum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus menembus kumpulan lelaki yang banyak. Bukankah ilmu agama wajib dipelajari?! Akan tetapi, karena ikhtilath tidak diperbolehkan, mereka pun tidak melakukannya.

Namun, bukan berarti ketidakbolehan ikhtilath dijadikan dalil untuk meninggalkan belajar agama di majelis taklim. Sebab, ada solusi yang diberikan oleh hadits di atas, yaitu disiapkan waktu dan tempat yang khusus bagi para wanita yang ingin belajar. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh maslahat yang murni, tidak bercampur dengan mafsadat.

Apabila sulit atau tidak memungkinkan pengkhususan waktu bagi wanita, maka bisa dengan cara memisahkan tempat belajar antara kedua jenis. Lelaki di tempat tersendiri, terpisah dari wanita, demikian pula sebaliknya.

Hal ini dicontohkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat pelaksanaan shalat Id. Setelah menyampaikan khutbah umum di hadapan jamaah laki-laki, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani oleh Bilal radhiallahu ‘anhu menuju tempat kaum wanita dan menyampaikan nasihat khusus untuk mereka karena khawatir nasihat umum yang telah beliau sampaikan sebelumnya tidak terdengar disebabkan tempat mereka yang terpisah. Di antara yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam nasihatkan adalah agar mereka banyak bersedekah karena mayoritas penghuni neraka adalah kalangan wanita. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu)

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyebutkan beberapa faedah dari hadits tentang shalat Id ini. Di antaranya ialah disenangi memberikan nasihat kepada kaum wanita, mengajari mereka hukum-hukum Islam, dan mengingatkan kewajiban mereka. Disenangi pula mendorong mereka untuk bersedekah dan mengkhususkan pemberian taklim bagi mereka di majelis yang terpisah. Hal itu dilakukan apabila aman dari godaan dan mafsadat[4]. (Fathul Bari, 2/603)

Kembali kepada hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang menjadi pokok pembicaraan kita. Hadits ini adalah dalil larangan belajar dalam keadaan ikhtilath, yaitu pelajar putri berada dalam satu ruangan dengan pelajar putra tanpa pemisah di antara keduanya. Apalagi bila pelajar putri tidak memakai hijab yang syar’i, dan justru ber-tabarruj (bersolek menampakkan kecantikannya), hal ini adalah kerusakan tersendiri. Jadilah kerusakan di atas kerusakan. Kita bisa mengambil beberapa poin yang dipahami dari hadits ini[5]:

  1. Larangan bercampur baur antara pria dan wanita walaupun dalam belajar ilmu agama.
  2. Seorang lelaki atau seorang ustadz yang bersifat amanah[6] boleh memberikan taklim kepada sekelompok wanita, tetapi tidak boleh berdua-duaan dengan salah seorang dari mereka.
  3. Apabila lelaki/ustadz yang memberikan pengajaran tersebut bersamanya ada satu atau dua orang lelaki yang lain (yang bukan sebagai pengajar), hendaknya yang hadir itu memang dibutuhkan. Apabila tidak diperlukan, tidak sepantasnya dia hadir di majelis khusus wanita.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang menjadi pembicaraan kita. Abu Said radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bisa menyebutkan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita di tempat taklim mereka yang khusus dan bisa menyebutkan pertanyaan si wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Secara zahir, ini menunjukkan bahwa keduanya hadir di situ hingga bisa menceritakan apa yang berlangsung di majelis tersebut.

Contoh lainnya adalah saat mendatangi tempat para wanita dalam shalat Id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani oleh Bilal radhiallahu ‘anhu yang bertugas mengumpulkan sedekah dari para wanita dengan membentangkan bajunya hingga mereka melemparkan perhiasan yang mereka kenakan ke baju tersebut.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada adab mengajak bicara para wanita untuk memberikan nasihat atau hukum, yaitu hendaknya tidak ada lelaki yang hadir selain orang yang memang dibutuhkan kehadirannya, baik sebagai saksi maupun yang semisalnya.” (Fathul Bari, 2/600)

  1. Keberadaan seorang lelaki di tempat yang di situ ada sekumpulan wanita tidaklah dianggap khalwat (besepi-sepi/berduaan), karena khalwat adalah berdua-duaannya seorang pria dengan seorang wanita.
  2. Ketakwaan para wanita sahabiyah dan jauhnya mereka dari bercampur baur dengan para lelaki dalam keadaan mereka sangat ingin beroleh ilmu.
  3. Anak-anak kaum muslimin yang meninggal saat masih kecil adalah penghuni surga.
  4. Orang tua yang kehilangan tiga atau dua anaknya yang masih kecil, dalam keadaan dia bersabar dan mengharapkan pahala, akan dijauhkan dari api neraka serta dimasukkan ke dalam surga, setelah dia beriman dan bertauhid tentunya. Terlebih lagi apabila anaknya yang meninggal lebih dari tiga.
  5. Musibah yang menimpa seorang mukmin akan menghapuskan dosanya dan mengangkat derajatnya.
  6. Wanita boleh keluar rumah untuk menuntut ilmu agama dan memenuhi kebutuhannya yang lain dengan memerhatikan adab ketika keluar rumah.

fsadat.

  1. Wanita boleh berbicara dengan pria untuk menyampaikan kebutuhannya—tentu saja bicara seperlunya tanpa berpanjang kata—atau bertanya tentang masalah agamanya, dengan memerhatikan adab berbicara dengan lawan jenis, di antaranya berbicara dengan baik, tidak mendayu-dayu atau bersuara manja dan tidak melembutkan suara sebagaimana ucapan seorang istri kepada suaminya.
  2. Dengan adanya perintah hijab, maka pengajaran yang disampaikan seorang lelaki kepada sekelompok wanita dianjurkan dari balik tabir dalam rangka menjaga kesucian hati masing-masing. Dan tidak boleh bermudah-mudah dalam hal ini dengan memasang tabir yang pendek sehingga kepala sang ustadz bisa terlihat ketika dia berdiri, atau tipis transparan sehingga gerak-gerik jamaah wanita yang hadir bisa terlihat oleh sang ustadz.

Jangan pula hijab hanya saat taklim. Adapun setelah bubar taklim, saat jamuan makan yang disediakan tuan rumah, misalnya, sang ustadz tiba-tiba saja sudah berada di tengah-tengah para wanita.

Dari negeri Yaman, putri al-’Allamah asy-Syaikh al-Muhaddits Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah hafizhahallah pernah mengirim surat kepada kami sebagai balasan surat yang dikirimkan kepada beliau. Beliau adalah seorang mustafidah (seorang yang memberikan faedah ilmu kepada sesamanya) yang dipuji oleh sang ayah[7].

Di antara isi suratnya, beliau memberikan arahan kepada wanita yang menuntut ilmu agama untuk belajar dari seorang guru (tidak belajar sendiri/otodidak). Beliau juga menyebutkan, tidak mengapa belajar ilmu agama melalui tangan seorang syaikh (guru laki-laki atau ustadz), dengan syarat aman dari godaan dan dilakukan dari belakang hijab/tabir pemisah, karena selamatnya kalbu tidak bisa diimbangi oleh apa pun.[8]

Beliau juga mengatakan bahwa apabila ada guru/pengajar wanita yang berpegang dengan sunnah (sunni) yang mengajarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, belajar kepada mereka lebih baik….

Demikian penggalan surat yang bertanggal Sabtu, 20 Ramadhan 1418 H, 16 tahun yang lalu….

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


[1] Dalam riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pembatasan,

ثَلاَثَةً لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ

“Tiga anak yang belum mencapai usia baligh.

[2] Al-Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang ilmu agama yang seperti apa yang wajib dipelajari. Beliau menjawab,

“Ilmu yang seseorang tidak boleh tidak tahu tentangnya, terkait dengan urusan shalatnya, puasanya, dan semisalnya. “ (Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hlm. 10)

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Muhammad bin Qasim al-Hambali an-Najdi rahimahullah—seorang alim yang hidup dalam rentang 1312—1392 H, dalam penjelasannya terhadap kitab al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah—mengatakan, “Apa yang wajib diamalkan oleh seseorang, seperti pokok-pokok keimanan, syariat-syariat Islam, perkara-perkara haram yang wajib dihindari, perkara yang dibutuhkan dalam muamalah dan semisalnya yang sebuah kewajiban tidak akan sempurna terkecuali dengannya, maka semua itu wajib dipelajari.” (Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hlm. 10)

[3] Hadits hasan dengan syawahidnya. Lihat tahqiq Abu al-Asybal az-Zuhairi terhadap kitab Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/69 dst.

[4] Sebab, yang mengajari mereka adalah lelaki, sehingga dikaitkan dengan aman dari godaan.

[5] Ditambahkan dari kitab Lin Nisa’ Ahkam wa Adab, Syarhu al-Arba’in an-Nisa’iyah, Muhammad ibnu Syakir asy-Syarif, hlm. 118—119.

[6] Seorang lelaki yang amanah dan menjaga agamanya tentu tidak akan bermudah-mudah berhubungan dengan wanita, walaupun dia adalah orang yang didakwahi atau muridnya, baik dalam bentuk menggampangkan berbicara via telepon, SMS, maupun sarana lainnya. Wallahul musta’an.

[7] Di antara ucapan asy-Syaikh Muqbil rahimahullah tentang putrinya, “Allah ‘azza wa jalla lah yang memberi taufik kepada Ummu Abdillah untuk menuntut ilmu, kemudian menjadikannya cinta untuk meneliti permasalahan ilmu dan menulis.

Dia—semoga Allah ‘azza wa jalla menjaganya—memberikan pengajaran kepada saudari-saudarinya fillah dalam bidang hadits, tajwid, mushthalah, dan nahwu. Allah ‘azza wa jalla menjadikannya berfaedah bagi sesama, dalam bentuk pengajaran kepada saudari-saudarinya fillah dan penelitiannya yang berkesinambungan terhadap kitab-kitab ulama.

Aku pernah berkata kepadanya (karena melihatnya terus menyibukkan diri dengan penelitian ilmiahnya), ‘Kasihanilah dirimu wahai putriku!’

Dia menjawab, ‘Sungguh, jika kami melihat perjalanan hidup para ulama kita, kami dapati diri kami bukanlah apa-apa (belum berbuat apa-apa terhadap agama Allah ‘azza wa jalla yang agung).’

Ucapannya ini membuatku terdiam. Ummu Abdillah tidak pernah belajar di bangku sekolah, apakah ibtidaiyah (SD), terlebih lagi mutawassithah (SMP) dan tsanawiyah (SMU). Dia tidak pernah duduk di bangku kuliah, tidak bergelar magister ataupun doktor. Namun, saya memandang penelitiannya lebih bagus daripada penelitian yang dilakukan oleh para peneliti. Ini adalah keutamaan yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Mukaddimah kitab ash-Shahih al-Musnad min asy-Syamail al-Muhammadiyyah, 1/9, karya Ummu Abdillah)

[8] Selamatnya kalbu itu penting, wahai saudariku! Maka dari itu, janganlah Anda semua bermudah-mudah berhubungan dengan ajnabi, walaupun itu ustadz Anda!