Benarkah Syafaat Diminta kepada Selain Allah? (Bagian 2)

Banyak hal tentang syafaat yang disalahpahami oleh umat. Bahasan lanjutan ini akan mengupas lebih dalam bagaimana sesungguhnya hakikat syafaat.

Para ulama memasukkan masalah syafaat dalam pembahasan akidah. Orang-orang yang menyelewengkannya dengan cara menyimpangkan hakikat syafaat, bakal disikapi dengan keras. Di antara mereka yang menyelewengkannya, ada yang ifrath (berlebihan) dalam memaknainya hingga terjatuh dalam syirik besar. Ada juga yang menempuh jalan tafrith (meremehkan permasalahan), bahkan menyimpangkannya hingga terjatuh dalam sikap menolak beberapa bentuk syafaat.

Berdasarkan hal ini, para ulama menyebutkan kaidah-kaidah yang terkait dengan syafaat di dalam kitab mereka. Di antaranya:

  • Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,

“Beriman dengan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beriman dengan adanya satu kaum yang telah masuk neraka dan terbakar hingga menjadi arang, kemudian mereka diperintah menuju sebuah sungai yang berada di pintu surga—seperti yang disebutkan dalam riwayat tentang hal ini—dan (kita mengimani) bagaimana dan kapan terjadinya. Tentang urusan ini, kita hanya beriman dan mempercayai.” (Ushulus Sunnah karya al-Imam Ahmad hlm. 32)

  • Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah mengatakan,

“Syafaat yang dipersiapkan untuk mereka kelak adalah haq (benar adanya), sebagaimana halnya disebutkan oleh hadits-hadits.” (Lihat matan al-’Aqidah ath-Thahawiyah, masalah ke-41)

  • Abu Utsman Ismail bin Abdur Rahman ash-Shabuni rahimahullah berkata,

“Ahli agama dan Ahlus Sunnah mengimani syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk pelaku dosa dari kalangan orang-orang yang bertauhid dan pelaku dosa besar (lainnya), sebagaimana telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang sahih.” (Lihat ‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hlm. 76)

  • Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan,

“Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam akan memberikan syafaat kepada para pelaku dosa besar yang telah masuk neraka agar mereka bisa keluar setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian masuk ke dalam surga. Para nabi, orang-orang yang beriman, dan malaikat juga akan memberikan syafaat (dengan seizin Allah). Allah subhanahu wata’ala berfirman,

          وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرۡتَضَىٰ وَهُم مِّنۡ خَشۡيَتِهِۦ مُشۡفِقُونَ ٢٨

        Dan mereka tidak akan sanggup memberikan syafaat melainkan untuk orang yang Allah ridhai; dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada Allah.” (al-Anbiya: 28)

        Adapun orang-orang kafir tidak akan bisa merasakan syafaat pemberi syafaat.” (Syarah Lum’atil I’tiqad, hlm. 128)

        Para ulama Ahlus Sunnah mengimani bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memberikan syafaat untuk seluruh umat pada hari kiamat nanti dalam bentuk syafaat yang menyeluruh. Beliau juga akan memberikan syafaat untuk pelaku dosa di antara umat beliau hingga mengeluarkan mereka dari neraka setelah menjadi arang. (Lihat ‘Aqa`id A`immatis Salaf, hlm. 113)

        Mengapa ketika berbicara tentang syafaat, para ulama menitikberatkan pembahasan pada masalah syafaat untuk pelaku dosa besar?

        Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawabnya dengan mengatakan, “Ibnu Katsir dan pensyarah kitab ath-Thahawiyah mengatakan bahwa maksud ulama salaf meringkas pembahasan masalah syafaat terbatas pada syafaat untuk pelaku dosa besar adalah untuk membantah Khawarij dan Mu’tazilah yang mengikuti konsep mereka (karena dua kelompok ini mengingkari syafaat tersebut, -ed.)’.” (Syarah Lum’atil I’tiqad hlm. 129)

Milik Siapakah Syafaat?

        Syafaat adalah milik Allah semata. Semua urusan tentang syafaat kembali kepada Allah. Dialah yang akan memberikan izin kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk mendapatkan syafaat dan memberikannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

        قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا

        “Katakan bahwa syafaat itu semuanya milik Allah.” (az-Zumar: 44)

        Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak akan sanggup memilikinya kecuali dengan kehendak-Nya. Seseorang juga tidak bisa memberikan syafaat kecuali dengan izin-Nya.” (Zadul Masir hlm. 1232)

        Berdasarkan hal ini, meminta syafaat kepada selain pemiliknya merupakan kesyirikan yang sangat besar. Orang yang meminta syafaat kepada selain Allah kelak akan terhalangi mendapatkannya di sisi-Nya. Sebab, yang mendapatkan syafaat adalah orang yang bersih dari kesyirikan dan diridhai oleh Allah.

Apakah Hamba Akan Bisa Memberikan Syafaat?

Rasulullah menjelaskan dalam Sunnahnya bahwa syafaat bisa diberikan oleh selain Allah, namun tetap tidak terlepas dari kehendak Allah dan harus memenuhi syaratnya. Mereka adalah para nabi, malaikat, orang-orang yang beriman, dan anak-anak terhadap kedua orang tuanya.

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

        فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: شَفَعَتِ الْمَلاَئِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

        Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Malaikat akan memberikan syafaat, para nabi memberikan syafaat, dan kaum mukminin akan memberikan syafaat, dan tidak tersisa kecuali milik Dzat yang paling penyayang.”[1]

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

        إِنَّ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَشْفَعُ لِلْفِئَامِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْفَعُ لِلْقَبِيْلَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْفَعُ لِلْعُصْبَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْفَعُ لِلرَّجُلِ حَتَّى يَدْخُلُوا الْجَنَّةَ

        “Sesungguhnya di antara umatku ada yang akan memberikan syafaat kepada sekelompok orang. Di antara mereka ada juga yang akan memberikan syafaat kepada sebuah kabilah. Di antara mereka ada yang memberikan syafaat kepada al-‘ushbah[2]. Di antara mereka ada yang akan memberikan syafaat kepada satu orang, sehingga mereka masuk surga.”[3]

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

        مَا مِنَ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلاَثٌ لَمْ يَبْلُغْنَ الْحنث إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ

        “Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga anaknya yang belum balig kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan sebab keutamaan rahmat-Nya terhadap mereka.”[4]

        Semua hadits yang menjelaskan tentang syafaat memperkuat bahwa di antara hamba-hamba Allah ada yang akan memberikan syafaat di sisi-Nya.

Syarat Mendapatkan Syafaat

        Syafaat dibutuhkan oleh setiap hamba ketika menghadapi kegentingan hidup di dunia maupun di akhirat nanti. Kebutuhan terhadap syafaat menyebabkan sebagian manusia terjatuh dalam kesyirikan, yakni ketika mereka memintanya kepada selain Allah. Mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu justru akan menjadi penghalang mendapatkan syafaat.

        Ada dua syarat bagi seseorang untuk mendapatkan syafaat dan memberikan syafaat di sisi Allah.

  1. Orang yang akan memberikan syafaat mendapatkan izin dari Allah.

        Tanpa izin-Nya, tidak ada seorang pun yang sanggup memberikan syafaat di sisi Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

          مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

        “Tidak ada seorang pun yang memberikan syafaat di sisi-Nya kecuali dengan seizin-Nya.” (al-Baqarah: 255)

        Syafaat di sisi Allah tidaklah seperti syafaat satu makhluk kepada makhluk lain yang bisa diberikan meski tidak diizinkan.

  1. Orang yang akan mendapatkan syafaat diridhai oleh Allah.

        Allah tidak meridhai kekufuran dan kesyirikan, tetapu meridhai keimanan dan ketauhidan.

        Allah subhanahu wata’ala berfirman,

          وَلاَ يَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى

        “Dan mereka tidak akan memberikan syafaat melainkan kepada orang yang telah Allah ridhai.” (al-Anbiya: 28)

          وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

        “Dan Allah tidak meridhai kekufuran bagi hamba-hamba-Nya.” (az-Zumar: 7)

        Allah subhanahu wata’ala telah menghimpun kedua syarat ini dalam firman-Nya,

          وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَوَاتِ لاَ تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

        “Betapa banyak malaikat yang ada di langit, syafaat mereka tidak berguna sedikit pun kecuali setelah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai.” (an-Najm: 36)

        (lihat Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah karya asy-Syaikh Shalih Fauzan [hlm. 21], al-Qaulul Mufid Syarah Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin [1/437], Kasyfus Syubhat karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin karya asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan [hlm. 154], Syarah Lum’atul I’tiqad [hlm. 130])

Manusia dan Syafaat

Dalam urusan syafaat manusia digolongkan menjadi tiga kelompok:

  1. Kaum yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan adanya syafaat.

        Sehingga mereka memintanya dari orang yang telah mati, kuburan, patung, batu, dan pepohonan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

          وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاَءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللهِ

       “Dan mereka menyembah selain Allah sesuatu yang tidak bisa memberikan mudarat dan manfaat kepada mereka, dan mereka mengatakan, “Mereka (yang disembah itu) adalah pensyafaat kami di sisi Allah.” (Yunus: 18)

          مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى

“Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar: 3)

 

  1. Kaum yang berlebihan menafikan syafaat, seperti Mu’tazilah dan Khawarij.

        Mereka menafikan adanya syafaat untuk para pelaku dosa besar. Mereka berani menyelisihi sesuatu yang dalilnya telah mutawatir dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

  1. Kaum yang berada di tengah-tengah.

        Mereka menetapkan adanya syafaat sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, tanpa tafrith dan ifrath. Mereka adalah Ahlus Sunnah. (lihat Syarah al-’Aqidah ath-Thahawiyah karya asy-Syaikh Shalih Fauzan, hlm. 21)

Ibnu Abil ‘Izzi menjelaskan bahwa dalam urusan syafaat, manusia terbagi menjadi tiga (golongan) pendapat:

a. Musyrikin, Nasrani, Sufi yang ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap guru-guru mereka, dan selainnya.

Mereka meyakini bahwa syafaat orang yang mereka agungkan di sisi Allah bagaikan syafaat di dunia.[5]

b. Mu’tazilah dan Khawarij.

Mereka mengingkari syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan selainnya untuk pelaku dosa besar.

c. Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Mereka menetapkan adanya syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan selain beliau untuk pelaku dosa besar. Mereka juga menetapkan bahwa tidak ada yang bisa memberikan syafaat kecuali dengan izin Allah. (Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 235)

Macam-Macam Syafaat

Para ulama menyebutkan bahwa syafaat secara umum ada dua macam:

  1. Syafaat manfiyah, syafaat yang ditiadakan oleh al-Qur’an, yaitu syafaat yang mengandung kesyirikan.

        Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Allah telah meniadakan segala hal yang dijadikan tempat bergantung kaum musyrikin selain-Nya. Allah meniada-kan dari selain-Nya, segala bentuk kepemi-likan, bagian atau bantuan untuk Allah. Sehingga tidak tersisa lagi melainkan syafaat.

        Allah menjelaskan bahwa syafaat tidak bermanfaat kecuali yang mendapat izin-Nya. Firman Allah,

        وَلاَ يَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى

 “Mereka tidak bisa memberikan manfaat kecuali kepada siapa yang diridhai-Nya.”

        Syafaat jenis inilah yang disangka oleh kaum musyrikin (bahwa mereka akan mendapatkannya). Padahal mereka tidak akan mendapatkannya pada hari kiamat, sebagaimana telah ditiadakan oleh al-Qur’an.

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan bahwa beliau datang menghadap Allah kemudian bersujud dan bertahmid. Beliau tidak memulai dengan (meminta) syafaat. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Angkat kepalamu. Katakanlah, engkau akan didengar. Mintalah, engkau akan diberi. Mintalah syafaat, engkau akan diberikan.”

        Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Siapakah yang paling berbahagia dengan syafaatmu?”

        Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang mengucapkan La ilaha illallah dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.”

        Itulah syafaat untuk orang yang ikhlas dengan izin Allah. Syafaat itu tidak akan diberikan untuk orang yang menyekutukan Allah. Hakikatnya, Allah sajalah yang akan memberikan keutamaan kepada orang yang ikhlas. Allah akan mengampuni mereka melalui doa orang yang telah diizinkan untuk memberikan syafaat yang bertujuan untuk memuliakannya dan mendapatkan kedudukan yang terpuji.

        Jadi, syafaat yang ditiadakan oleh al-Qur’an adalah syafaat mengandung kesyirikan. Oleh karena itu, Allah menetapkan adanya syafaat dalam banyak ayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa syafaat tidak akan didapat melainkan untuk orang yang bertauhid dan ikhlas.” (Lihat Majmu’ Fatawa [1/116] dan al-Kalam ‘ala Haqiqatil Islam hlm. 116—121)

  1. Syafaat mutsbatah, yaitu syafaat yang ditetapkan adanya oleh al-Qur’an untuk orang-orang yang bertauhid.

Syafaat ini ada dua bentuk, umum dan khusus.

a. Syafaat yang bersifat khusus

        Khusus di sini artinya hanya dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak dimiliki oleh para nabi dan rasul selain beliau.

  • Syafaat al-‘Uzhma atau al-Kubra, yaitu syafaat untuk seluruh manusia pada hari mahsyar.

        Hadits tentangnya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Dalam syafaat ini, para rasul (selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) berlepas diri dan tidak sanggup memberikannya. Itulah maqaman mahmuda (kedudukan yang terpuji) bagi imam para rasul sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah dalam al-Qur’an. Tidak ada sedikit pun yang menentang masalah ini, baik Khawarij maupun Mu’tazilah.

  • Syafaat untuk penduduk surga agar masuk ke dalamnya.

        Setelah melewati shirath (titian) dan sampai ke surga, mereka menemukannya dalam keadaan tertutup. Mereka mencari siapa yang akan memberikan syafaat agar pintu surga dibuka. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta kepada Allah untuk memberikan syafaat kepada mereka. (lihat al-Qaulul Mufid Syarah Kitab at-Tauhid 1/426)

b. Syafaat yang bersifat umum

        Makna umum di sini adalah dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para nabi dan rasul selain beliau, serta kaum mukminin.

  • Syafaat untuk para pelaku maksiat dari umat beliau yang berhak masuk neraka agar tidak memasukinya.
  • Syafaat beliau untuk ahli tauhid yang bermaksiat dan telah masuk ke dalam neraka agar bisa keluar darinya.

        Hadits yang menjelaskan syafaat ini mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersepakat (ijma) tentang hal tersebut. Demikian pula pula seluruh Ahlus Sunnah. Setiap orang yang mengingkarinya akan dicap sebagai pelaku bid’ah dan disikapi dengan keras lagi tegas. Syafaat inilah yang ditentang oleh Khawarij dan Mu’tazilah, serta ahli bid’ah yang mengikuti langkah mereka.

  • Syafaat untuk mengangkat derajat kaum mukminin di dalam surga.

        Syafaat ini tidak ditentang oleh Mu’tazilah dan Khawarij.

        Yang jelas, semua jenis syafaat di atas hanya akan diberikan kepada orang-orang yang bertauhid, yang tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (penolong) dan syafi’ (pembela). Allah subhanahu wata’ala berfirman,

        وَأَنْذِرْ بِهِ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْ يُحْشَرُوا إِلَى رَبِّهِمْ لَيْسَ لَهُمْ مِنْ دُونِهِ وَلِيٌّ وَلاَ شَفِيعٌ

        “Dan berikanlah peringatan kepada orang yang takut untuk dibangkitkan ke hadapan Rabb mereka, yang mereka tidak memiliki penolong dan pembela selain Allah.” (al-An’am: 51)

        (Lihat Fathul Majid [hlm. 244—252], Syarah al-’Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil ‘Izzi [hlm. 232], al-Qaulul Mufid [1/426], ‘Aqaid Aimmatis Salaf [hlm. 113])

Syafaat di Sisi Allah Tidak Sama dengan Syafaat di Antara Makhluk

        Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa syafaat di sisi Allah memiliki tujuan dan syarat. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, seseorang tidak akan mendapatkan syafaat dan tidak bisa memberikannya kepada orang lain. Kedua syarat tersebut adalah:

  1. Orang tersebut diridhai oleh Allah untuk mendapatkannya.

Yang akan mendapatkan keridhaan Allah adalah orang yang beriman dan bertauhid.

  1. Mendapatkan izin Allah

Yang mendapat izin Allah untuk memberikan syafaat hanyalah orang yang beriman dan bertauhid.

        Adapun syafaat di kalangan manusia bisa dilakukan oleh siapa pun, ada izin atau tidak, diridhai atau tidak. Berdasarkan hal ini, tidak diperbolehkan mengkiaskan syafaat di sisi Allah dengan syafaat di antara makhluk. Syafaat yang ada di sisi Allah tidak boleh diminta kepada makhluk manapun, seagung apapun kedudukan dan tingkatannya: malaikat, nabi, wali, kuburan-kuburan, dan sebagainya.

        Syafaat di antara makhluk kepada makhluk yang lain ada dua macam:

  1. Syafaat yang baik, yaitu syafaat dalam hal-hal yang baik, bermanfaat, dan diperbolehkan (mubah).

        Syafaat ini terwujud dengan cara menjadikan seseorang sebagai perantara untuk menyampaikan kebutuhannya kepada orang tertentu. Bolehnya hal ini telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya,

          مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا

        “Barang siapa memberikan pembelaan yang baik, dia akan mendapatkan bagian (pahala) darinya.” (an-Nisa: 85)

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

        اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مَا شَاءَ

        “Berikanlah pembelaan kalian (yang baik), kalian akan diberikan pahala dan Allah akan memutuskan melalui lisan Rasul-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 1432 dan Muslim no. 2627)

        Ini adalah bentuk syafaat yang baik, berpahala, dan bermanfaat bagi kaum muslimin agar hajat mereka tertunaikan dan apa yang mereka cari terwujudkan, tanpa ada unsur menzalimi dan melampaui batas hak orang lain.

  1. Syafaat yang jelek, yaitu menjadi perantara dalam hal-hal yang diharamkan oleh

        Misalnya, syafaat untuk menggugurkan hukuman bagi orang yang berhak menerimanya. Orang yang melakukan pembelaan seperti ini mendapatkan laknat dari Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

        لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثَاً

    “Allah melaknat orang-orang yang melindungi pelaku kejahatan.” (HR. Muslim no. 1566)

        Termasuk syafaat yang jelek adalah syafaat dalam hal mengambil hak orang lain untuk kemudian diberikan kepada yang tidak berhak. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

          مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا

   “Barang siapa memberikan syafaat (pembelaan) yang jelek, dia akan mendapatkan bagian (dosa) atasnya.” (an-Nisa: 85) (Syarah al-’Aqidah ath-Thahawiyah karya asy-Syaikh Shalih Fauzan [hlm. 21])

Makna Hadits Abu Hurairah tentang Syafaat

        Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

        يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟

        “Ya Rasulullah, siapakah yang paling beruntung dengan syafaat engkau kelak pada hari kiamat?”

        قَالَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ أَنْ لاَ يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوْلَى مِنْكَ لِحِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ

   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, aku telah menyangka bahwa tidak ada seseorang yang lebih dahulu bertanya tentang ini kecuali engkau, karena semangatmu mencari hadits.”

        قَالَ: إِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ خَالِصًا مِنْ قَلْبِ نَفْسِهِ

    Beliau bersabda, “Orang yang paling beruntung dengan syafaatku kelak adalah yang mengucapkan La ilaha illallah dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.” (HR. al-Bukhari no. 99 dan 6570)

        Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ucapan beliau ‘Orang yang mengucapkan La ilaha illallah’ mengecualikan orang yang menyekutukan Allah; dan ucapan beliau ‘dengan penuh keikhlasan’ mengecualikan orang-orang yang munafik dalam mengucapkannya.” (Lihat Fathul Bari 1/236)

        Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kaum musyrikin tidak mendapatkan syafaat sedikitpun, karena mereka tidak mengucapkan La ilaha illallah

        (Sabda beliau ‘dengan penuh keikhlasan’) mengecualikan orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah karena kemunafikan, mereka tidak mendapatkan syafaat sedikitpun…

        Sabda beliau ‘dengan penuh keikhlasan’ artinya selamat (akidahnya) tanpa dikotori sedikitpun oleh sifat riya (ingin pamer dalam beramal) dan sum’ah (memperdengarkan amalnya dengan harapan mendapatkan pujian dari orang lain). Ini adalah gambaran persaksian (terhadap La ilaha illallah) dengan penuh keyakinan.” (Lihat al-Qaulul Mufid 1/440)

        Wallahu a‘lam.

(Ustadz Abu Usamah Abdur Rahman bin Rawiyah)

 

 


            [1] HR. Muslim no. 183 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang tentang ru’yatullah.

          [2] Al-‘ushbah adalah satu kelompok yang berjumlah 10—40 orang. (an-Nihayah, -ed.)

          [3] HR. at-Tirmidzi dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dan dihukumi hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam kitab asy-Syafa’ah (hlm. 195).

          [4] HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu no. 1248.

Hadits ini diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu oleh al-Bukhari (no. 1251) dan Muslim (no. 2632).

Hadits ini diriwayatkan pula dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu oleh al-Bukhari (no. 1249) dan Muslim (no. 2633).

          [5] Maksudnya, semacam perantara di dunia. Misalnya, orang yang ingin bertemu raja membutuhkan perantara yang dekat dengan raja tersebut. Demikian pula kepada Allah subhanahu wata’ala, menurut mereka. Wallahu a’lam. (-ed.)