Berawal dari Pandangan Mata

“Pandangan mata” ternyata bukan perkara remeh. Darinya, bisa muncul berbagai macam bahaya atau kejelekan bagi yang dipandang. Sekilas memang tak masuk akal, namun banyak kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Si kecil tumbuh begitu lincah dan menggemaskan. Duhai, tak ada yang pantas diucapkan selain rasa syukur kepada Rabb seluruh alam! Betapa bahagia rasanya memandang dan menikmati segala tingkah dan celotehnya.

Tak jarang komentar kekaguman berdatangan dari setiap mata yang memandang. Namun ungkapan semacam itu terkadang dianggap tabu, hingga ayah atau ibu biasanya segera menyergah, “Jangan dipuji, nanti jadi sakit lho!” ataupun dengan tanggapan-tanggapan sejenis.

Terkadang pula terjadi, ayah dan ibu dibuat bingung karena buah hati mereka jatuh sakit, rewel, atau turun berat badannya tanpa sebab yang pasti. Pengobatan di dokter ahli sekalipun seakan tak membawa hasil.

Ada apa sebenarnya di balik pujian? Benarkah pujian dapat menyebabkan si buah hati jadi celaka? Ataukah ada faktor lainnya? Haruskah kita memercayai sesuatu yang rasanya sulit dicerna oleh akal itu?

Sesungguhnya semua itu bukan semata akibat dari pujian yang terlontar, akan tetapi berawal dari pandangan. Pandangan mata seseorang dapat berpengaruh buruk pada diri orang yang dipandang, baik pandangan mata itu menatap dengan kedengkian maupun kekaguman. Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan tentang adanya pengaruh pandangan mata ini melalui lisan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pandangan mata atau diistilahkan dengan ‘ain, adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap bagus disertai dengan kedengkian yang muncul dari tabiat yang jelek sehingga mengakibatkan bahaya bagi yang dipandang. (Fathul Bari, 10/210)

Hal ini dijelaskan pula oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan telah jelas adanya secara syar’i maupun inderawi. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَإِن يَكَادُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَيُزۡلِقُونَكَ بِأَبۡصَٰرِهِم

“Dan hampir-hampir orang-orang kafir itu menggelincirkanmu dengan pandangan mereka.” (al-Qalam: 51)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selain beliau menafsirkan ayat ini bahwa orang-orang kafir itu hendak menimpakan ‘ain kepadamu dengan pandangan mata mereka.

Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keberadaan ‘ain ini, sebagaimana disampaikan oleh putra paman beliau, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ وَإِذَا اسْتَغْسَلْتُمْ فَاغْسِلُوا

“‘Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.” (Sahih, HR. Muslim no. 2188, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 1/164—165)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini menjelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah ‘azza wa jalla, dan tidak akan terjadi kecuali sesuai dengan apa yang telah Allah ‘azza wa jalla takdirkan serta didahului oleh ilmu Allah ‘azza wa jalla tentang kejadian tersebut. Sehingga, tidak akan terjadi bahaya ‘ain ataupun segala sesuatu yang baik ataupun yang buruk kecuali dengan takdir Allah ‘azza wa jalla. Dalam hadits ini pula terdapat penjelasan bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan memiliki kekuatan untuk menimbulkan bahaya. (Syarh Shahih Muslim, 14/174)

‘Ain dapat terjadi dari pandangan yang penuh kekaguman walaupun tidak disertai perasaan dengki (hasad). Demikian pula timbulnya ‘ain itu tidak selalu dari seseorang yang jahat, bahkan bisa jadi dari orang yang menyukainya ataupun orang yang saleh. (Fathul Bari, 10/215)

Bahkan di antara para sahabat yang notabene mereka itu adalah orang-orang yang paling mulia setelah para nabi pun, terjadi ‘ain ini. Kisah tentang hal ini dituturkan oleh Abu Umamah, putra Sahl bin Hunaif radhiallahu ‘anhu:

مَرَّ عَامِرُ بْنُ رَبِيْعَةَ بِسَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ فَقَالَ: لَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ وَلاَ جِلْدَ مُخَبَّأَةٍ. فَمَا لَبِثَ أَنْ لُبِطَ بِهِ فَأُتِيَ بِهِ النَّبِيُّ فَقِيْلَ لَهُ: أَدْرَكَ سَهْلاً صَرِيْعًا. قَالَ: مَنْ تَتَّهِمُوْنَ بِهِ؟ قَالُوا: عَامِرُ بْنُ رَبِيْعَةَ. قَالَ: عَلاَمَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ، إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيْهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ. ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَأَمَرَ عَامِرًا أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَيَِدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَرُكْبَتَيْهِ وَدَاخِلَةَ إِزَارِهِ وَأَمَرَ أَنْ يَصُبَّ عَلَيْهِ

“‘Amir bin Rabi’ah pernah melewati Sahl bin Hunaif yang sedang mandi, lalu ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seperti hari ini dan aku tak pernah melihat kulit seperti kulit wanita yang dipingit.’

Tidak berapa lama, Sahl terjatuh. Kemudian dia didatangkan ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang pun mengatakan kepada beliau, ‘(Wahai Rasulullah), segera selamatkan Sahl, ia telah terbaring.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Siapa yang kalian tuduh dalam hal ini?’

Mereka menjawab, ‘Amir bin Rabi’ah.’

Beliau pun berkata, ‘Atas dasar apa salah seorang di antara kalian hendak membunuh saudaranya? Apabila seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan dari diri saudaranya, hendaknya ia mendoakan kebaikan padanya.’

Kemudian beliau meminta air dan memerintahkan ‘Amir untuk berwudhu’, maka ‘Amir pun membasuh wajahnya, kedua tangan hingga sikunya, kedua kaki hingga lututnya, serta bagian dalam sarungnya. Lalu beliau memerintahkan untuk menuangkan air itu pada Sahl.” (HR. Ibnu Majah no. 3500, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3908/4020 dan al-Misykah no. 4562)

Tergambar pula dengan jelas dalam kisah ini, apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seseorang yang terkena ‘ain. Demikian pula dalam perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْعَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ وَإِذَا اسْتَغْسَلْتُمْ فَاغْسِلُوا

“‘Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan, apabila seseorang diketahui menimpakan ‘ain, maka ia diminta untuk mandi, dan mandi ini merupakan cara pengobatan ‘ain yang sangat bermanfaat. Dituntunkan pula bila seseorang melihat sesuatu yang mengagumkan hendaknya segera mendoakan kebaikan kepadanya, karena doanya itu merupakan ruqyah (pengobatan) baginya. Beliau juga menyatakan bahwa ‘ain yang menimpa seseorang dapat mengakibatkan kematian. (Fathul Bari, 10/215)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan ruqyah, yaitu pengobatan dengan Al-Qur’an dan zikir-zikir kepada Allah ‘azza wa jalla, terhadap orang yang terkena ‘ain. Beliau memerintahkan hal itu pula kepada istri beliau, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana dalam hadits berikut:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَأْمُرُهَا أَنْ تَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَيْنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melakukan ruqyah dari ‘ain.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5738 dan Muslim no. 2195)

Begitu pula yang beliau perintahkan ketika melihat seorang anak perempuan yang terkena ‘ain pada wajahnya. Peristiwa ini dikisahkan oleh istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِيَّ رَأَى فِي بَيْتِهَا جَارِيَةً فِي وَجْهِهَا سَفْعَةٌ فَقَالَ: اسْتَرْقُوا لَهَا فَإِنَّ بِهَا نَظْرَةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang anak perempuan di rumah Ummu Salamah yang pada wajahnya ada kehitam-hitaman. Beliau pun berkata, ‘Ruqyahlah dia, karena dia tertimpa ‘ain’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5739 dan Muslim no. 2197)

Diceritakan pula oleh Jabir bin ‘Abdullah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar anak-anak Ja’far bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu diruqyah:

وَقَالَ لِأَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ: مَا لِي أَرَى أَجْسَامَ بَنِي أَخِي ضَارِعَةً، تُصِيْبُهُمُ الْحَاجَةُ؟ قَالَتْ: لاَ، وَلَكِنِ الْعَيْنُ تُسْرِعُ إِلَيْهِمْ. قَالَ: ارْقِيْهِمْ. قَالَتْ: فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: ارْقِيْهِمْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma’ bintu ‘Umais, “Mengapa aku lihat anak-anak saudaraku kurus-kurus? Apakah karena kekurangan?” Asma’ menjawab, “Bukan, akan tetapi mereka cepat terkena ‘ain.” Beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka!” Asma’ berkata, Maka aku serahkan urusan ini kepada beliau, lalu beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka.” (Sahih, HR. Muslim no. 2198)

Bahkan Jibril ‘alaihissalam pernah meruqyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit dengan doa:

بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ، مِنْ كُلِ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيْكَ بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ

“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitkanmu dan dari setiap jiwa atau pandangan yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (Sahih, HR. Muslim no. 2186)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon perlindungan dari ‘ain, sebagaimana dikabarkan oleh sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَتَعَوَّذُ مِنَ الْجَانِّ وَعَيْنِ الْإِنْسَانِ حَتَّى نَزَلَتِ الْمُعَوِّذَتَانِ، فَلَمَّا نَزَلَتَا أَخَذَ بِهِمَا وَتَرَكَ مَا سِوَاهُمَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari jin dan pandangan manusia, hingga turun surat al-Falaq dan surat an-Naas. Ketika keduanya telah turun, beliau menggunakan keduanya dan meninggalkan yang lainnya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2059 dan Ibnu Majah no. 3511, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2830)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa menjaga diri dari ‘ain boleh dilakukan dan bukan berarti meniadakan tawakal kepada Allah ‘azza wa jalla. Bahkan sikap demikian ini termasuk tawakal, karena tawakal adalah bersandar kepada Allah ‘azza wa jalla disertai melakukan ‘sebab’ yang diperbolehkan atau diperintahkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memohonkan perlindungan untuk al-Hasan dan al-Husain radhiallahu ‘anhuma dengan doa:

أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

“Aku memohon perlindungan bagi kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari setiap pandangan yang jahat.”

Demikian pula yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terhadap kedua putranya, Nabi Ishaq dan Nabi Isma’il ‘alaihimassalam. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 1/165—166)

Betapa ayah dan ibu akan berduka bila pandangan mata itu menimpa buah hatinya. Tentu mereka akan berusaha sekuat tenaga di atas jalan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindarkannya, jauh sebelum ‘ain itu datang menerpa. Buah hati tercinta, semogalah selamat selamanya.

Wallahu a’lamu bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran