Berhiasnya Wanita

HUKUM MEMAKAI MAKE UP

Apa hukum make up modern yang biasa dipakai wanita, ada yang dioleskan di bibir, di wajah, di mata, ataupun di kuku. Semua itu hanya untuk diperlihatkan di hadapan suami, tidak ditunjukkan pada lelaki yang bukan mahram. Sebab, saya pernah mendengar bahwa sebagian orang yang memiliki ilmu agama tidak membolehkan pemakaian make up tersebut, walaupun hanya untuk diperlihatkan di depan suami, dengan alasan termasuk tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir. Bagaimana sebenarnya masalah make up ini?

make-up-kit

Jawab:

Berhias itu ada dua macam.

  1. Berhias atau memperindah diri yang sifatnya permanen atau selamanya.

Yang seperti ini hukumnya haram, seperti wasyr, wasym, dan namsh. Wasyr adalah mengikir gigi agar jarang dengan menggunakan gergaji atau alat tertentu hingga gigi geligi tampak cantik. Wasym adalah melubangi kulit lalu diletakkan di dalamnya celak atau semisalnya dengan celupan dan benda tersebut tetap akan menempel di situ (tatto). Namsh adalah mencabut rambut yang tumbuh di wajah seperti rambut alis dan semisalnya. Semua ini diharamkan dan termasuk dosa besar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelakunya.

 

  1. Berhias yang sifatnya tidak permanen, bisa dihilangkan.

Yang seperti ini tidak apa-apa, seperti berhias dengan memakai celak, wars (jenis dedaunan yang dipakai untuk memerahkan wajah), dan yang semisalnya. Akan tetapi, dengan syarat tidak mengantarkan pada hal yang terlarang atau berbahaya menurut syariat, seperti berhias meniru gaya wanita-wanita kafir (tasyabbuh dengan wanita kafir). Atau berhias untuk tabarruj, dipertontonkan kepada lelaki yang bukan mahram dan semisalnya. Berhias dengan pelanggaran yang seperti ini haram dan haramnya karena faktor yang lain, bukan karena berhiasnya.

 

MENYEMIR RAMBUT DENGAN WARNA HITAM

Saya pernah membaca sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menyemir rambut dengan warna hitam. Apakah hadits tersebut sahih? Apakah larangan tersebut berlaku umum untuk lelaki dan wanita, ataukah khusus bagi lelaki saja? Lalu apa hikmah dibalik larangan tersebut?

Kuas Sisir

Jawab:

Hadits tersebut sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengubah uban dan menyuruh untuk menjauhi warna hitam. Beliau mengancam orang yang menyemir jenggotnya dengan warna hitam bahwa mereka tidak akan mencium wanginya surga. Hal ini menunjukkan semiran dengan warna hitam termasuk dosa besar.

Maka dari itu, wajib bagi seseorang untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan menjauhi apa yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dia termasuk orang-orang yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah beruntung dengan keberuntungan yang besar.” (al-Ahzab: 71)

Dia ‘azza wa jalla juga berfirman,

وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦

“Siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sunguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

Hikmah dari larangan tersebut adalah menyemir rambut dengan warna hitam berarti menentang atau melawan hikmah Allah ‘azza wa jalla yang menciptakan manusia di atasnya. Sebab, jika seseorang mengubah rambut ubannya yang putih menjadi warna hitam, seakan-akan dia ingin mengembalikan ketuaannya kepada kemudaan. Ini adalah sikap penentangan hikmah yang Allah ‘azza wa jalla ciptakan manusia di atasnya, yaitu rambut-rambut mereka akan memutih yang sebelumnya berwarna hitam ketika mereka telah berusia tua.

Sementara itu, kita maklum bahwa menentang kodrat Allah ‘azza wa jalla adalah perkara yang tidak sepantasnya. Tidak boleh seorang pun melawan Allah ‘azza wa jalla dalam hal ciptaan-Nya, sebagaimana tidak boleh dirinya melawan Allah ‘azza wa jalla dalam hal syariat-Nya.

Adapun menghilangkan cacat yang sifatnya tidak biasa, tidaklah terlarang. Misalnya, seseorang punya jari lebih dari yang semestinya lalu menjalani operasi untuk menghilangkan kelebihan jari tersebut. Hal ini tidak apa-apa selama tidak berdampak bahaya. Misalnya lagi, seseorang memiliki bibir sumbing, lalu dibetulkan dengan cara operasi dan semisalnya, maka semua ini tidak apa-apa, karena termasuk menghilangkan cacat yang tidak biasa.

 

HUKUM BERSISIR SAAT HAID

Ada yang mengatakan bahwa menyisir rambut, menggunting kuku, dan mandi tidak boleh dilakukan wanita selama masa haid. Apakah ucapan ini benar?

sisir

Jawab:

Perkataan tersebut tidak benar. Wanita haid boleh menggunting kukunya, menyisir rambutnya, dan melakukan mandi janabah—misalnya dia ihtilam (mimpi basah) dalam keadaan haid atau suaminya menggaulinya pada selain kemaluannya hingga dia keluar mani, maka dia pun mandi janabah.

 

 

Sementara itu, ucapan yang tersebar di kalangan sebagian wanita bahwa wanita haid tidak boleh mandi, tidak boleh bersisir, tidak boleh menggaruk kepalanya, dan tidak boleh menggunting kuku, sama sekali tidak ada dasarnya dalam syariat sepanjang yang kami ketahui.

 

HUKUM SHALAT WANITA YANG BERCAT KUKU

Apa hukum shalat wanita yang memakai cat kuku (kuteks)?

kuteks-cat-kuku

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, “Wudhunya tidak sah, shalatnya pun tidak sah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوضَّأَ

“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian apabila dia berhadats sampai berwudhu.” (HR. al-Bukhari)

Jadi, selama wudhunya tidak sah, shalatnya pun tidak sah.”

 

APAKAH SHALATNYA DIULANGI?

Apakah shalat wanita yang bercat kuku itu harus diulangi?

Jawab:

Apabila si wanita mengetahui bahwa dia tidak boleh shalat dalam keadaan memakai cat kuku karena wudhunya tidak sah, dia harus mengulang shalatnya. Namun, apabila tidak mengetahui hukumnya (jahil), dia tidak wajib mengulang shalatnya.

Hal ini berdasarkan kaidah yang dikenal oleh ahlul ilmi, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, yaitu orang yang jahil atau bodoh tidak wajib mengulangi kewajiban yang dia tinggalkan dan tidak berdosa atas perbuatan terlarang yang dilakukannya.

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa terkadang seseorang jahil karena bersikap masa bodoh, tidak peduli, tidak mau bertanya, dan tidak mau mencari tahu kebenaran. Orang jahil yang seperti ini kita haruskan dia mengulangi ibadahnya, karena kejahilannya disebabkan dia meninggalkan kewajiban belajar ilmu agama.

Adapun apabila dia jahil tanpa bersikap masa bodoh, tetapi dia memang benar-benar tidak tahu perkara-perkara tersebut dan tidak pula terbetik di hatinya bahwa itu haram atau yang semisalnya, hukum diangkat darinya[1].

Karena itulah, orang yang salah dalam shalatnya (al-musi’u fi shalatihi) karena tidak thuma’ninah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruhnya mengulangi shalat-shalatnya yang dahulu dikerjakannya, dalam keadaan orang tersebut tidak bisa lagi shalat sebaik yang dikerjakannya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[2]. Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

ارْجِعْ فَصَلِ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِ

“Kembalilah engkau lalu shalatlah lagi, karena sesungguhnya engkau belum shalat.”(HR. al-Bukhari dan Muslim.)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyuruhnya mengulang shalat yang dikerjakannya saat itu[3], karena waktunya belum habis (masih ada waktu shalat). Jadi, untuk shalat yang masih tersisa waktunya tersebut, dia dituntut untuk mengerjakannya dengan cara yang sempurna[4].

 


 

[1] Tidak dibebani pengulangan ibadah dan tidak berdosa karena meninggalkan kewajiban.

[2] Itulah shalat terbaik yang bisa dilakukannya sebatas pengetahuannya tentang tata cara shalat.

[3] Diulang shalatnya saat itu karena shalatnya tidak benar, ada rukun yang luput dikerjakannya karena ketidaktahuannya.

[4] Adapun shalat yang sudah lewat waktunya tidak diperintahkan untuk diulangi.