Berlebih-lebihan dalam Berislam

Dienul Islam adalah ajaran yang diturunkan dari sisi sang Khaliq yang telah menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya. Sehingga Allah l adalah Dzat yang Maha Mengetahui sebatas mana kemampuan dan kekuatan manusia. Oleh karena itu, Allah l pun menetapkan syariat sesuai kemampuan mereka.

Islam tidaklah menghendaki kesukaran namun justru datang dengan membawa kemudahan. Syariat-syariatnya selaras dengan fitrah sehingga mudah untuk dijalankan. Allah l pun masih memberikan keringanan bagi hamba-hamba-Nya ketika tengah menghadapi kondisi tertentu, seperti safar, haid, hamil dan menyusui, nifas, ataupun sakit.

Islam juga bukan ritual penyiksaan diri. Islam menekankan untuk menikah dan melarang praktik selibat (membujang) sebagaimana hal ini dilakoni pemuka agama Katholik. Islam mensyariatkan puasa namun juga melarang melakukannya setiap hari secara terus-menerus tanpa berhenti. Bahkan Islam mengiringinya dengan perintah untuk menyegerakan berbuka ketika telah tiba waktunya. Demikian juga Islam menggarisbawahi pentingnya shalat malam, namun melarang melakukannya semalam suntuk.

Mengapa? Karena ibadah dalam Islam bersifat tauqifiyyah. Artinya, sudah paten, tidak boleh kita menambah-nambahi atau mengurang-ngurangi dari apa yang telah dicontohkan melalui praktik Rasulullah n dan para sahabatnya g. Tidak ada celah bagi kita untuk membuat tata cara baru bahkan bentuk baru dalam beribadah. Baik buruknya ibadah juga bukan ditakar dari banyak sedikitnya, namun keikhlasan dan ada/tidaknya contoh dari Rasulullah n. Sehingga Islam tidaklah sulit dan tidak mempersulit, karena kita tinggal mencontoh praktik Rasulullah n dan para sahabatnya.

Sehingga, beragam ritual ibadah walaupun menggunakan simbol-simbol Islam tidaklah bisa disebut bagian dari Islam selama tidak ada riwayat yang shahih yang menyebut adanya praktik Rasulullah n maupun para sahabatnya.

Itulah Islam yang mudah dan sederhana. Sayangnya, gambaran kemudahan yang diusung Islam itu tercoreng oleh praktik-praktik menyimpang yang dilakukan sebagian pemeluknya. Islam pun tercitrakan sebagai agama yang memberatkan, baik dari sisi amaliah maupun yang terkait dengan materi.

Contoh sederhana, adalah ritual-ritual tertentu pascakematian. Keluarga yang ditinggalkan, sebagai pihak yang seharusnya diringankan bebannya, justru menjadi pihak yang dibebani beragam ”tradisi”. Ia harus mempersiapkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit untuk penyelenggaraan ritual-ritual 7 hari, 40 hari, 100 hari, satu tahun, dua tahun, 1.000 hari, khaul, dst, yang sejatinya semua itu bukan dari Islam.

Selain amaliah, di tengah umat juga muncul beragam keyakinan yang rusak. Yakni sikap berlebihan yang ditujukan kepada nabi, rasul, wali Allah l, atau orang-orang yang (menurut mereka) dianggap wali Allah l. Alhasil, sikap ini pun menyeret pada perbuatan syirik, suatu perbuatan yang paling ditentang dalam Islam.

Kebalikan dari itu semua, muncul sikap meremehkan syariat. Syariat ditinggalkan dan lebih memilih pemikiran-pemikiran di luar Islam. Syariat dinistakan, dibenturkan dengan akal manusia yang terbatas, sehingga ujung-ujungnya syariat Islam dikesankan sebagai nilai atau tatanan yang sulit diterapkan di zaman yang konon dianggap modern ini.

Maka dari itu, syariat mesti dipelajari dengan jernih dan penuh kesungguhan, jangan sampai sikap melampaui batas dalam agama ini mengganas, yang akhirnya menggerogoti pemahaman kita yang lurus. Alhasil, kita hanya beroleh kesia-siaan karena dilalap sikap yang membinasakan ini. Islam adalah agama yang mudah karena itu janganlah berlebih-lebihan dalam mengamalkannya.