Bisakah Kirim Pahala?

bisakah kirim pahala ?

Pertanyaan:

Pertanyaan dari seorang Sudan yang tinggal di Kuwait, “Apa hukum membaca al-Fatihah yang ditujukan kepada mayit, menyembelih hewan untuknya, demikian pula hukum memberikan uang untuk keluarga mayit?”

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,

Mendekatkan diri kepada mayit dengan sembelihan, uang, nazar, dan ibadah-ibadah lain, seperti meminta kesembuhan, pertolongan, atau bantuan; ini semua merupakan syirik akbar (menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala). Tidak boleh bagi seorang pun untuk melakukannya. Sebab, syirik adalah dosa dan kejahatan terbesar berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ

“Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (an-Nisa: 116)

إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (al-Maidah: 72)

وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan.” (al-An’am: 88)

Baca juga:

Syirik

Ayat-ayat yang semakna dengannya tentu masih banyak jumlahnya di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu, kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah, baik itu berupa sembelihan, nazar, doa, shalat, puasa, maupun ibadah lainnya; hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Salah satu perbuatan yang tergolong syirik adalah mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan, dengan nazar atau makanan (sajen). Hal ini berdasarkan ayat-ayat yang telah lewat. Demikian juga berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٦٣

Katakanlah (wahai Muhammad), Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (al-An’am: 162—163)

Baca juga:

Tauhid

Adapun membacakan al-Fatihah atau ayat Al-Qur’an lainnya kepada mayit, hal itu tidak ada dalilnya (landasan hukum) dari Al-Qur’an ataupun hadits. Oleh sebab itu, kita wajib meninggalkannya. Sebab, tidak pernah dinukilkan suatu argumen dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ataupun para sahabatnya yang menunjukkan bolehnya hal tersebut.

Amalan yang disyariatkan adalah mendoakan mayit dan menyedekahkan hartanya atas nama mereka (mayit), dengan cara berbuat baik kepada para fakir miskin. Dengan itu, seorang hamba bisa mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sekaligus memohon kepada-Nya agar pahalanya dijadikan untuk ayah dan ibunya, atau untuk selain keduanya, baik orang tersebut sudah mati maupun masih hidup. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إذا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang anak Adam telah meninggal, terputuslah amalannya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”

Baca juga:

Bersiaplah Menghadapi Kematian

Telah sahih (sebuah hadits), bahwa ada seseorang yang berkata,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ ْتُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ لَتَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia belum sempat berwasiat. Aku mengira jika dia sempat berbicara, tentu ia akan bersedekah. Apakah dia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas namanya?”

Beliau menjawab, “Ya.” (Muttafaqun alaih)

Demikian pula dengan menghajikan mayit, mengumrahkannya, atau membayarkan utangnya. Semua itu akan bermanfaat bagi si mayit, sesuai dengan keterangan yang disebutkan dalam dalil-dalil syariat.

Adapun maksud si penanya dengan pertanyaannya, yaitu berbuat baik kepada keluarga mayit serta bersedekah dengan uang dan sembelihan, hal itu diperbolehkan apabila mereka adalah orang-orang fakir.

Baca juga:

Berbuat Baik kepada Sesama

Namun, yang lebih utama ialah tetangga dan kerabat membuatkan makanan di rumah mereka masing-masing, lalu memberikannya kepada keluarga mayit. Sebab, telah sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa ketika beliau mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu anhu di Perang Mu’tah, beliau memerintah para kerabatnya untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja’far. Beliau bersabda, “Karena mereka sedang mendapatkan perkara yang menyibukkan mereka.”

Adapun jika keluarga mayit yang membuat makanan untuk orang-orang  (masyarakat) karena kematian (semacam peringatan tujuh hari, red.), ini tidak diperbolehkan. Hal itu termasuk amalan jahiliah, baik itu dilakukan pada saat hari kematian, hari keempat, kesepuluh, maupun setelah genap setahun; semuanya tidak boleh.

Ini berdasarkan riwayat yang sahih dari sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu anhu, salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau berkata,

كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَهُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan setelah pemakamannya, termasuk perbuatan niyahah[1] (meratapi mayit).”

Baca juga:

Wanita yang Meratapi Mayat

Adapun jika ada tamu yang mengunjungi keluarga mayit pada hari-hari berkabung (saat takziyah), tidaklah mengapa bagi keluarga mayit membuat makanan untuk mereka sebagai bentuk jamuan. Demikian pula, tidaklah mengapa bagi keluarga mayit untuk mengundang siapa pun yang mereka kehendaki, tetangga atau kerabat, untuk makan bersama mereka.

Hanya Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberi taufik.


Catatan Kaki

[1] HR. Ahmad dan Ibnu Majah, lafaz di atas adalah lafaz Ahmad.

Niyahah atau meratapi mayit telah dilarang keras oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Niyahah termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan ancaman keras sebagaimana dalam hadits,

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Seorang wanita yang niyahah (meratapi mayit), apbila tidak bertbat sebelum matinya, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari tembaga yang meleleh dan kulitnya terkena penyakit kudis (dengan rata).” (Sahih, HR. Muslim)