Dari Air yang Terpancar

Wanita juga mengeluarkan mani. Hal demikian memang masih sulit dipahami oleh sebagian orang. Namun Islam justru memberikan gambaran yang lengkap akan hal ini.

 

Telah diketahui secara umum bahwa lelaki mengeluarkan air mani, baik dalam keadaan tidur (karena mimpi/ihtilam) ataupun terjaga, dengan syahwat ataupun tidak. Berbeda halnya dengan keadaan wanita, perkara demikian masih samar bagi sebagian orang. Padahal wanita juga mengeluarkan mani sebagaimana lelaki. Karena itu, ketika Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha istri Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu (untuk menerangkan) kebenaran[1]. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi apabila ia ihtilam[2]?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya, bila ia melihat air (mani saat terjaga dari tidurnya,–pent.).”[3]

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha bahwa wanita wajib mandi janabah bila ia bermimpi dan melihat air. Ini merupakan bukti yang jelas bahwa wanita pun mengeluarkan mani dan wajib mandi karena hal tersebut. Dalam hal ini kita dapat mengatakan “wanita itu saudara kandung (belahan) laki-laki”, seperti kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya kaum wanita itu saudara kandung (bagian) dari kaum lelaki.” [4]

() kata Ibnul Atsir rahimahullah adalah setara, semisal dalam akhlak dan tabiat, watak, serta pembawaan. Seakan-akan mereka (para wanita) bagian dari laki-laki, karena memang Hawa diciptakan dari Adam ‘alaihissalam.  adalah saudara seayah dan seibu dari seseorang. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, hal. 483)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits Ummu Sulaim radhiallahu‘anha: “Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang menganggap mani wanita tidak muncul keluar, (menurut mereka,-pent.) diketahui si wanita keluar mani hanya dengan syahwat (namun tidak memancar keluar sebagaimana mani lelaki,-pent.).” (Fathul Bari, 1/505)

Hanya saja warna dan sifat mani wanita berbeda dengan mani lelaki, seperti keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

“Sesungguhnya mani laki-laki itu kental putih sedangkan mani wanita encer berwarna kuning.”[5]

Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, sifat mani laki-laki berbeda dengan mani wanita. Mani laki-laki (berwarna putih) kental, bau/aromanya seperti bau mayang pohon kurma. Sifat ini ada bila keadaan (si lelaki) normal dan sehat. Terkadang dapat berubah karena sakit yang diderita, karena faktor makanan, dan banyak melakukan jima’. Adapun mani wanita berwarna kuning encer, tidak mengandung aroma mayang pohon kurma.” (Al-Hawil Kabir, 1/214)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menambahkan bahwa mani itu keluar dengan memancar, curahan demi curahan, keluarnya dengan syahwat dan terasa nikmat saat keluarnya, diikuti dengan melemahnya badan. Aromanya seperti mayang pohon kurma yang hampir mirip dengan bau adonan. Jika kering baunya seperti bau telur. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 2/120)

Dengan demikian ada tiga kekhususan mani yang bisa dijadikan sandaran untuk membedakannya dari yang lain:

Pertama: Keluarnya dengan syahwat diikuti dengan melemahnya badan
Kedua: Aromanya seperti aroma mayang pohon kurma dan bau adonan

Ketiga: Keluarnya dengan memancar

Adapun mani wanita, terkadang memutih karena kuatnya. Dalam hal ini terdapat kekhususan, yakni saat keluarnya terasa nikmat dan diikuti dengan melemahnya syahwat. Ar-Rauyani berkata: “Aromanya seperti aroma mani laki-laki.”

Berdasarkan hal ini berarti mani wanita memiliki dua kekhususan[6] yang bisa dikenali dengan keberadaan salah satunya. (Al-Majmu’ 2/160-161)

 

Anak Diciptakan dari Air Mani Kedua Orang tuanya

Adam ‘alaihissalam, bapak segenap manusia, diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala dari tanah. Kemudian anak turunannya diciptakan dari mani, sebagaimana dikabarkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam Tanzil-Nya tentang perbuatan-Nya yang agung:

ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan dengan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (as-Sajdah: 7-8)

Dari mani inilah, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan anak turunan Adam ‘alaihissalam berkembang biak dan berketurunan. Generasi yang satu melahirkan generasi berikutnya, demikian seterusnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 فَلۡيَنظُرِ ٱلۡإِنسَٰنُ مِمَّ خُلِقَ ٥ خُلِقَ مِن مَّآءٖ دَافِقٖ ٦  يَخۡرُجُ مِنۢ بَيۡنِ ٱلصُّلۡبِ وَٱلتَّرَآئِبِ ٧

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan dada.” (ath-Thariq: 5-7)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Ia diciptakan dari air yang terpancar, yakni air yang keluar dengan terpancar dari laki-laki dan wanita. Maka akan lahirlah anak dari keduanya dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: yang keluar dari antara tulang sulbi dan dada, yakni tulang sulbi laki-laki dan dada wanita.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdradhiallahu ‘anhuib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1500)

Dengan demikian, janin itu terbentuk dari mani laki-laki dan mani wanita yang bercampur, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala kabarkan dalam firman-Nya:

 إِنَّا خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٖ نَّبۡتَلِيهِ فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢

“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari nuthfah amysaj.” (al-Insan: 2) (Taudhihul Ahkami min Bulughil Maram, 1/273)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menerangkan: مِن نُّطۡفَةٍ yakni mani laki-laki dan mani wanita. Sedangkan أَمۡشَاجٖ  maknanya bercampur. Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, Mujahid, dan Ar-Rubayi’ mengatakan: “Mani laki-laki dan mani wanita bercampur di dalam rahim, maka darinyalah terbentuk anak.” (Ma’alimut Tanradhiallahu ‘anhuil, 1/395)

Asy-Syaikh ‘Athiyyah Salim rahimahullah menukilkan tafsir Surat al-Insan di atas dari gurunya Al-’Allamah Asy-Syinqithi rahimahullah, dengan menyatakan: “Dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang asal penciptaan manusia. Ia memiliki tahapan-tahapan dalam wujudnya, setelah berupa nuthfah (air mani) berubah menjadi ‘alaqah (segumpal darah) kemudian menjadi (segumpal daging), kemudian ia berubah menjadi makhluk yang lain. mudhghah Semua itu terjadi dari sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya, sebagaimana Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

وَقَدۡ خَلَقۡتُكَ مِن قَبۡلُ وَلَمۡ تَكُ شَيۡ‍ٔٗا ٩

“Sesungguhnya telah Aku ciptakan engkau sebelum itu, padahal engkau waktu itu belum ada sama sekali.” (Maryam: 9) (Tatimmah Adhwa`il Bayan, 8/648)

Dari air mani inilah, anak bisa serupa dengan ayah atau dengan ibunya. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada yang meragukan bahwa wanita juga dapat keluar mani:

“Iya, lalu dari mana anak bisa serupa (dengan orang tuanya)?”[7]

Atau meragukan wanita bisa mimpi senggama dan mengeluarkan mani (ihtilam), beliau nyatakan:

“Maka dengan apa anaknya bisa serupa dengan ibunya?”[8]

Setelah membawakan lafadz hadits: , Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Ini merupakan pertanyaan pengingkaran (istifham ingkari). Dan penetapannya adalah bahwa anak itu terkadang mirip dengan ayahnya, dan terkadang ada yang mirip dengan ibu dan keluarga ibunya. Mana di antara dua mani itu (mani ayah atau mani ibu) yang dominan, maka kemiripan anak kepada yang lebih dominan.” (Subulus Salam, 1/133)

 

Bagaimana Anak Bisa Mirip dengan Orang tuanya?

Kita saksikan pada anak-anak yang dilahirkan oleh sepasang suami istri, ada yang mirip dengan ayahnya, ada yang mirip dengan ibunya. Atau tidak mirip dengan ayah dan ibunya, namun mirip dengan nenek atau pamannya, dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Kenapa demikian? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan rahasianya dalam hadits-hadits beliau. Perhatikanlah!

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

Ada seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah wanita harus mandi bila ia ihtilam dan melihat keluarnya air (mani). Rasulullah menjawab: “Ya.” ‘Aisyah berkata kepada si wanita yang bertanya: Taribat  yadaak[9] (semoga engkau terkena tombak).” Rasulullah berkata kepada ‘Aisyah[10]: “Biarkan dia (bertanya demikian), dari mana terjadi syabah (kemiripan anak dengan orang tuanya/ibunya) kecuali dari air mani itu. Apabila maninya mengungguli (‘uluw) mani laki-laki (suaminya) maka anaknya (yang lahir) serupa dengan akhwalnya (paman-paman/ keluarga dari pihak ibu, –pent.). Sebaliknya bila mani laki-laki (suami) mengungguli mani istrinya maka anak yang lahir serupa dengan a’mamnya (paman-paman/ keluarga dari pihak ayah).”[11]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani tmenyatakan bahwa yang dimaukan dengan ‘uluw adalah dari sisi banyaknya, di mana mani yang lain tergenang di dalam mani yang banyak tersebut. (Fathul Bari)

Tsauban radhiallahu ‘anhu maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkisah:

“Aku sedang berdiri di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu datanglah seorang pendeta Yahudi. Ia berkata: “Assalamu ‘alaika, ya Muhammad!” Aku mendorongnya dengan sekali dorongan yang hampir-hampir membuatnya tersungkur.

“Kenapa engkau mendorongku?” tanyanya.

“Tidakkah seharusnya engkau mengatakan ya Rasulullah!” jawabku.

Si Yahudi berkata: “Aku hanya memanggilnya dengan nama yang diberikan oleh keluarganya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menengahi: “Sesungguhnya namaku adalah Muhammad yang merupakan nama pemberian keluargaku.”

Si Yahudi berkata: “Aku datang untuk bertanya kepadamu.”

“Apakah bermanfaat bagimu sesuatu jika aku mengabarkannya kepadamu?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Aku dengar dengan kedua telingaku,” jawabnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menggaris-garis tanah dengan ranting yang ada pada beliau sembari berpikir. Lalu beliau berkata kepada si Yahudi: “Tanyalah.”

“Di mana manusia pada hari digantinya bumi dengan bumi yang lain dan digantinya langit dengan langit yang lain?” tanyanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mereka berada dalam kegelapan di bawah jembatan (shirath).”

“Manusia manakah yang pertama kali dapat melewati jembatan?” pertanyaan kedua dari si Yahudi.

“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Si Yahudi bertanya lagi: “Apa sajian untuk mereka ketika mereka masuk ke dalam surga?”

“Ujung/tepi-hati ikan[12],” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apa makanan mereka setelah itu?” tanya si Yahudi.

“Disembelihkan untuk mereka sapi (jantan) surga yang biasa makan dari tepi-tepi surga,” jawab Nabi.

“Lalu apa minuman mereka setelah hidangan itu?” tanya si Yahudi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dari mata air di dalam surga yang dinamakan Salsabil.”

“Engkau benar,” tukas si Yahudi, ia melanjutkan ucapannya: “Aku datang untuk bertanya kepadamu tentang sesuatu yang tidak ada seorang penduduk bumi pun yang mengetahuinya, kecuali seorang nabi atau satu dua orang laki-laki.”

“Apakah bermanfaat bagimu jika aku mengabarkannya kepadamu?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Aku dengar dengan kedua telingaku,” jawabnya. Lalu ia bertanya: “Aku datang untuk bertanya kepadamu tentang anak?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: “Mani laki-laki berwarna putih sedangkan mani wanita berwarna kuning. Bila kedua mani itu berkumpul, lalu mani laki-laki mengungguli (‘uluw) mani wanita maka anak yang lahir laki-laki dengan iradhiallahu ‘anhuin Allah. Sebaliknya bila mani wanita mengungguli mani laki-laki maka anak yang lahir perempuan dengan iradhiallahu ‘anhuin Allah”.

Si Yahudi berkata: “Sungguh engkau benar. Engkau memang seorang nabi.” Kemudian ia berpaling dan pergi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sungguh orang itu bertanya kepadaku tentang perkara yang aku tidak memiliki ilmu tentangnya sedikitpun, hingga Allah mendatangkan ilmunya kepadaku.” [13]

Dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha di atas, kita ketahui bahwa dari ‘uluw (dominasi) terjadi syabah (penyerupaan) dengan iradhiallahu ‘anhuin Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan dari hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu disebutkan bahwa dari ‘uluw, anak yang lahir bisa laki-laki (dzukurah) atau bisa perempuan (unutsah). Sehingga bila dua hadits ini digabung kita dapat mengambil pemahaman bahwa dari ‘uluw terjadi syabah, dzukurah dan unutsah. Maknanya bila mani laki-laki lebih dominan dari mani wanita maka anak yang lahir laki-laki dan serupa dengan keluarga ayahnya. Sebaliknya bila mani wanita yang dominan, anak yang lahir perempuan dan serupa dengan keluarga ibunya.

Namun bila melihat kenyataan yang ada, ada anak laki-laki namun serupa dengan keluarga ibunya. Dan terkadang ada anak perempuan namun ia serupa dengan keluarga ayahnya. Karena ada kenyataan demikian, sebagian ulama melakukan takwil. Di antaranya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau mentakwil ‘uluw pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dengan makna sabaq (mendahului)[14] sedangkan ‘uluw dalam hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu sebagaimana dzahirnya (Fathul Bari, 7/341-342).

Beliau berkata: “Jadilah sabaq sebagai tanda anak yang lahir laki-laki atau perempuan, sedangkan ‘uluw sebagai tanda syabah, sehingga hilanglah isykal (kerumitan yang ada dalam memahami dua hadits ini dan melihat kenyataan yang ada,-pent.)”. (Fathul Bari, 7/342)

Namun bila kita kembali pada dua hadits di atas, kita lihat dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan dengan ‘uluw, yang ditakwil oleh Al-Hafizh dengan sabaq, terjadi syabah, sedangkan dalam hadits Tsauban disebutkan dengan ‘uluw, dengan makna yang sesuai dradhiallahu ‘anhuahirnya, terjadi tadradhiallahu ‘anhukir (anaknya laki-laki) atau ta`nits (anaknya perempuan). Berarti yang tepat berdasarkan takwil Al-Hafiradhiallahu ‘anhuh, sabaq yang disebutkan (sebagai takwil ‘uluw) dalam hadits Aisyah merupakan tanda syabah sedangkan ‘uluw dalam hadits Tsauban adalah tanda tadradhiallahu ‘anhukir dan ta’nits. (Jami’ Ahkamin Nisa, 1/14)

Hal ini diperjelas lagi dengan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Sampai kabar kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah kepada ‘Abdullah bin Salam (seorang tokoh dan ‘alim dari Yahudi Bani Qainuqa’, -pent.), ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Aku akan bertanya kepadamu tentang tiga perkara, tidak ada yang mengetahuinya kecuali seorang Nabi. (Pertanyaan pertama,) apa awal tanda datangnya hari kiamat? (Kedua,) makanan apa yang pertama kali disantap penduduk surga? (Ketiga,) dari apa anak bisa serupa dengan ayahnya dan bisa serupa dengan keluarga ibunya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jibril ‘alaihissalam baru saja mengabarkan kepadaku tentang jawaban dari tiga pertanyaan tersebut.” ‘Abdullah berkata: “Itu adalah musuh Yahudi dari kalangan para malaikat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Adapun awal tanda hari kiamat adalah munculnya api yang mengumpulkan manusia dari timur ke barat. Sedangkan makanan pertama yang disantap penduduk surga adalah ujung/tepi hati ikan. Adapun syabah (penyerupaan) pada anak, bila seorang lelaki menggauli seorang wanita lalu air mani si lelaki mendahului (sabaq) mani si wanita maka anak yang akan lahir serupa (terjadi syabah) dengan ayahnya. Sebaliknya bila mani si wanita yang mendahului (sabaq) maka anak yang akan lahir serupa dengan ibunya”.[15]

Pada akhirnya Abdullah bin Salam masuk Islam, radhiallahu ‘anhu, dengan menanggung cercaan dari Yahudi Bani Qainuqa’, kaumnya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wal’ilmu ‘indallah.

Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

 

 

 

 

 

 

[1] Maknanya: Aku tidak mau menahan diri dari bertanya tentang perkara yang memang aku butuhkan. Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha mengucapkan hal ini dalam rangka meminta udzur sebelum bertanya tentang persoalan yang ia butuhkan, di mana dalam perkara tersebut biasanya wanita malu untuk menanyakan dan menyebutkannya di hadapan lelaki. Menahan diri dari bertanya tentang perkara yang dibutuhkan bukanlah suatu kebaikan, bahkan kejelekan. Maka bagaimana hal itu dianggap sebagai malu, sementara malu adalah kebaikan seluruhnya dan malu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 2/215)

‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah memuji wanita Anshar dengan mengatakan:

“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk tafaqquh (mempelajari dan memahami) dalam agama.” (Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari, kitab Al-’lmi bab Al-Haya` fil ‘Ilm, 1/301)

 

[2] Dalam riwayat Al-Imam Ahmad disebutkan bahwa Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, apabila dalam mimpinya seorang wanita melihat suaminya menggaulinya, apakah ia harus mandi?”

 

[3] HR. Al-Bukhari no. 282, kitab Al-Ghusl, bab Idradhiallahu ‘anhua Ihtalamatil Mar`ah dan Muslim no. 313 kitab Al-Haidh, bab Wujubul Ghusl alal Mar‘ah bi Khurujil Mani minha

 

[4] HR. At-Tirmidradhiallahu ‘anhui no. 113, kitab Ath-Thaharah, bab Fiman Yastaiqiradhiallahu ‘anhuh fa Yara Balalan wala Yadradhiallahu ‘anhukuru Ihtilaman. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidradhiallahu ‘anhui.

 

[5] HR. Muslim no. 708, kitab Al-Haidh, bab Wujubul Ghusli ‘alal Mar`’ati bikhurujil Mani minha.

 

[6] Yaitu terasa nikmat dengan keluarnya, diikuti dengan melemahnya syahwat dan aromanya seperti aroma mani laki-laki.

 

[7] HR. Muslim no. 708, kitab Al-Haidh, bab Wujubul Ghusli ‘alal Mar`ati bikhurujil Mani minha

 

[8] HR. Al-Bukhari no. 130, kitab Al-’Ilmu, bab Al-Haya‘‘alaihissalam fil ‘Ilmi dan pada beberapa tempat lainnya dalam kitab Shahih-nya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim no. 710, kitab Al-Haidh, bab Wujubul Ghusli ‘alal Mar‘ati bikhurujil Mani minha

 

[9] Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, makna kalimat ini banyak diperselisihkan dan terbesar di kalangan salaf dan khalaf dari segala kelompok. Pendapat yang paling tepat dan paling kuat yang dipegangi para muhaqqiq tentang maknanya adalah kalimat ini asal maknanya: Engkau menjadi fakir. Orang Arab terbiasa menggunakannya namun tidak memaksudkan hakikat maknanya yang asli. Mereka menyatakan Taribat Yadaak, Qatalahullahu alangkah beraninya orang itu, Laa Umma Lahu, Laa Aba Laka, Tsakilathu Ummuh, Wailu Ummuhu dan lafadradhiallahu ‘anhu-lafadradhiallahu ‘anhu sejenis, mereka ucapkan ketika mengingkari sesuatu, mencerca, mencaci, membesarkan, menekankannya, atau untuk menyatakan keheranan/kekaguman. Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 2/212)

 

[10] Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam balas mengatakan kepada ‘Aisyah: “Bahkan engkau, taribat yaminuk….” (HR. Muslim no. 707)

 

[11] HR. Muslim no. 713

 

[12] Bagian hati yang paling bagus, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah (Al-Minhaj, 3/217). Al-Hafiradhiallahu ‘anhuh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah: “Ziyadah adalah potongan tersendiri/ terpisah yang tergantung pada hati, dan sangat leradhiallahu ‘anhuat rasanya.” (Fathul Bari, 7/341)

 

[13] HR. Muslim no. 714

 

[14] Karena setiap yang sabaq berarti perkaranya tinggi, sehingga ‘uluw di sini adalah ‘uluw maknawi. (Fathul Bari, 7/341)

 

[15] HR. Al-Bukhari no. 3329, kitab Ahaditsul Anbiya’, bab Khalqi Adam wa Dzurriyatihi