Di Bawah Naungan Keindahan & Kesempurnaan Syariat Allah

Kemaslahatan Hidup dalam Syariat yang Bijaksana

Allah Subhanahu wata’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-sebaik makhluk di dunia ini. Segala yang terkait dengan hidupnya telah Dia persiapkan. Tidak ada sekecil apa pun yang mereka butuhkan dalam hidup, kecuali telah dipenuhi oleh Allah Subhanahu wata’ala.

Tidak ada seorang dari mereka yang dizalimi oleh Allah Subhanahu wata’ala. Namun, berapa dari manusia yang mengetahui bahwa hal itu adalah pemberian ilahi untuk disyukuri? Yang terjadi, kebanyakan mereka justru kufur terhadapnya.

Sebelum Allah Subhanahu wata’ala menciptakan mereka, bahkan sebelum Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi dengan jarak lima puluh ribu tahun, Allah Subhanahu wata’ala telah mencatat dan menulis ketentuan hidup mereka. Apa yang akan mereka kerjakan, apa yang akan mereka dapatkan, semuanya ada dalam catatan dan tidak ada yang luput darinya.

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَ ئَالِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah Subhanahu wata’ala telah menulis takdir-takdir makhluk sebelum Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi 50.000 tahun.” (HR. Muslim no. 4797 dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma)

Dialah yang berbuat, Dialah yang berkehendak dan Dialah yang Mahabijaksana dalam segala-galanya.

إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ

Sesungguhnya Rabbmu Maha Berbuat apa yang Dia inginkan.” (Hud: 107)

وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِّلْعَالَمِينَ

“Dan Allah tidak menginginkan kezaliman sedikit pun terhadap alam ini.” (Ali Imran: 108)

Keindahan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wata’ala yang terhampar di alam ini yang disaksikan secara kasatmata, yang bisa dirasa dan diraba oleh pancaindra, yang diakui oleh fitrah dan diyakini oleh hati, benar-benar membuktikan bahwa Dialah Zat yang satu yang telah mengaturnya serta Dialah Zat Yang Mahabijaksana yang telah menentukan dan menciptakannya.

Keadilan dan kebijaksanaan-Nya dalam pengaturan dan pencatatan takdir setiap makhluk-Nya menunjukkan keadilan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wata’ala dalam menentukan aturan hidup di dalam syariat-Nya.

Segala hal yang terkait dengan hidup ini ada aturannya di dalam syariat Allah Subhanahu wata’ala yang bila dikaji dengan dasar iman dan ilmu yang lurus, niscaya kita akan menemukan bentuk keadilan yang tiada tara. Kesempurnaan aturan di dalam syariat ini sangatlah sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya.

Allah Subhanahu wata’ala telah menentukan syariat yang khusus bagi kaum pria, tidak untuk kaum wanita, begitu juga sebaliknya. Namun, keumuman syariat-Nya diperuntukkan bagi keduanya, pria atau wanita. Di dalam penentuan kekhususan itu benar-benar Allah Maha Bijaksana sehingga tidak ada satu makhluk pun yang dizalimi oleh satu aturan pun. Dia juga telah menentukan kodrat yang berbeda antara kaum pria dan wanita dengan kebijaksanaan-Nya. Maka dari itu, saat wanita atau kaum pria mencoba untuk melakukan perubahan kodrat pria ke wanita atau sebaliknya, kita menemukan adanya kecaman dari Zat yang Maha Bijaksana dan dari Rasul-Nya. Di antaranya,

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. al-Bukhari no. 5435 dan Ibnu Majah no. 1894 dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Allah Subhanahu wata’ala juga mengecam saat kaum wanita mencoba mengambil alih posisi yang itu dipikul oleh kaum pria menurut pandangan syariat-Nya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Tidak akan beruntung suatu kaum jika mereka menyerahkan urusannya kepada kaum wanita.” (HR. al-Bukhari no. 4073 dan 6570 dari sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu)

Meluruskan Paham, Menyatukan Tujuan

Keadilan Allah Subhanahu wata’ala dalam takdir dan syariat-Nya mendapat protes dari sebagian hamba-Nya, jika tidak dikatakan mayoritas mereka. Hal ini terbukti dengan kelangkaan orang yang benar-benar lurus dalam memahami Islam dan mengamalkannya, serta langkanya orang yang berakidah yang benar.

Karena itu, saat mendapatkan ujian berupa musibah, sebagian orang enggan untuk mengembalikannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ironisnya, mereka mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah Subhanahu wata’ala, seperti paranormal alias dukun, kuburan, atau tempat yang dikeramatkan. Bukankah ini bentuk kezaliman terhadap Zat Yang Maha Adil? Bukankah ini bentuk protes terhadap syariat-Nya yang telah melarang berbuat syirik?

Usaha yang dilakukan oleh hamba-Nya dalam menambah dan mengurangi keabsahan, kesempurnaan, dan keindahan syariat-Nya dengan menghidupkan berbagai bid’ah, juga merupakan bentuk protes mereka terhadap syariat Allah Subhanahu wata’ala yang adil dan sempurna ini.

Demikian juga mengubah kodrat dari wanita ke pria dan sebaliknya, juga merupakan bentuk protes mereka terhadap takdir Allah Subhanahu wata’ala Kapan manusia tidak lagi menuntut?  Tentu saat mereka masuk ke liang lahad dan mengerti tempat yang akan dihuninya, surga atau neraka.

Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat adil dan melarang mereka untuk berbuat zalim. Adil dalam bermuamalah dengan Allah Subhanahu wata’ala, dengan dirinya, dan di saat bermuamalah dengan orang lain. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,

وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Dan hendaklah kamu berlaku adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Hujurat: 9)

Bentuk keadilan dalam bermuamalah dengan Allah Subhanahu wata’ala adalah Anda mengetahui bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah memberi Anda banyak nikmat, lalu Anda mensyukurinya. Allah Subhanahu wata’ala telah menjelaskan kepada

Anda kebenaran dan jalan-jalan yang akan menyampaikan kepada diri-Nya dan surga-Nya, lalu Anda menerima dan melaksanakannya. Bentuk keadilan Anda terhadap orang lain adalah Anda bermuamalah bersama mereka dengan jalan yang Anda suka jika mereka bermuamalah dengan Anda.

Perintah dari Allah Subhanahu wata’ala untuk berbuat adil diselewengkan kalimatnya dengan bahasa yang indah namun berlintah, yaitu istilah “kesetaraan”. Penyelewengan ini telah menelan banyak korban kaum muslimin tanpa disadari. Sebab, istilah ini termasuk slogan orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam. Kaum komunis telah berusaha dengan slogan ini menjerat orang-orang Islam agar meninggalkan keadilan agamanya dan meluluhlantakkan mereka.

Dengan slogan “persamaan hak”, mereka menafikan adanya jurang pemisah antara hak pria dan wanita. Artinya, menurut mereka, pria dan wanita memiliki hak yang sama; hak pemerintah dengan rakyat juga sama sehingga tidak ada kekuasaan pemerintah atas rakyatnya; hak ayah atas anaknya sehingga ayah tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur, memerintah, dan melarang anaknya.

Sungguh, slogan ini telah diadopsi oleh orang Islam dan mereka mengumandangkannya untuk menggugat, memprotes keadilan Allah Subhanahu wata’ala, di dalam syariat-Nya. (lihat faedah ringkas dengan ringkas SyarahAqidah Wasithiyyah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hlm. 189)

Tidak Puas dengan Syariat-Nya, Sebuah Malapetaka

Menyibak berkah di dalam syariat Allah Yang Mahabijaksana sangat erat hubungannya dengan sikap keistiqamahan menjalankan syariat Allah Subhanahu wata’ala secara kaffah (menyeluruh), menerima semua yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sungguh, generasi pertama umat inilah yang pertama kali mengantongi banyak berkah dalam kehidupan. Mereka adalah generasi yang aslam (paling selamat), ahkam (paling kokoh), dan a’lam (yang paling mumpuni ilmunya) tentang agama Allah Subhanahu wata’ala, sekaligus generasi yang paling tinggi tingkat pengamalannya terhadap Islam.

Adapun generasi kita adalah generasi yang sangat alot dan manja. Alot dari menerima kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala, manja karena tidak mau menerima risiko apabila berada di atas kebenaran. Akibatnya, generasi ini berada dalam keadaan yang menyedihkan dan memilukan. Banyak syariat yang ditolak dan ditentangnya tanpa rasa takut sedikit pun.

Tidakkah cukup bagi Anda jika syariat yang Anda tolak itu datang dari Allah Yang Mahabijaksana, atau Anda masih menyangka ada syariat al-hakim yang perlu direvisi?

Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya kesyirikan dengan segala macamnya? Bagaimana pendapat Anda bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah mengharamkan segala bentuk kebid’ahan dalam agama dengan segala bentuknya? Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya khamr, judi, dan mengundi nasib? Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya riba? Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya ikhtilath (campur baur) pria dan wanita? Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya zina? Bagaimana pendapat Anda tentang syariat Allah Subhanahu wata’ala agar wanita itu tinggal di rumah-rumah mereka? Bagaimana pendapat Anda tentang kewajiban mencari nafkah itu ada di pundak kaum pria? Bagaimana pendapat Anda tentang syariat wanita berpergian jauh/safar harus bersama mahramnya? Bagaimana pendapat Anda jika agama telah mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahram? Bagaimana pendapat Anda tentang syariat talak (perceraian) ada di tangan suami? Apa komentar Anda jika Allah Subhanahu wata’ala telah membolehkan bagi kaum pria untuk beristri lebih dari satu?

Apa dan bagaimana komentar Anda terhadap syariat-syariat-Nya yang lain? Masih adakah syariat Allah Subhanahu wata’ala yang perlu direvisi menurut Anda yang mungkin tidak sesuai dengan hikmah penciptaan manusia ini? Atau masih adakah aturan agama yang mengatur kehidupan kaum wanita dan mengatur batas-batas pergaulan mereka yang mengandung ketidakadilan?

Atau, Anda akan mengatakan, “Kami mendengar dan patuh, semuanya untuk kemaslahatan kami”?

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah beliau takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur : 63)

Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, “Hendaklah takut orangorang yang menyalahi perintahnya. Artinya, perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jalan, manhaj, sunnah, dan syariat beliau. Jadi, semua ucapan dan perbuatan diukur dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatannya. Apabila sesuai, akan diterima. Jika tidak, tentu ditolak, siapa pun yang mengucapkan dan melakukannya, sebagaimana dalam riwayat sahih dalam kitab Shahihain dan selain keduanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan sesuatu yang tidak ada bimbingannya dariku, amalnya ditolak.”

Hendaklah takut orang-orang yang menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik penyelisihan batiniah maupun lahiriah, apabila hati mereka ditimpa fitnah yang berupa kekafiran, kefasikan, dan kebid’ahan, atau mereka ditimpa oleh azab yang pedih di dunia dalam bentuk pembunuhan, dihukum had, dipenjarakan,dan sebagainya.(Lihat TafsirIbnu Katsir 4/89)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي

“Dijadikan rendah dan hina orang yang menyelisihi perintahku.” (HR. Ahmad no. 4868 dari sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Bingung, Akhir Ilmu Filsafat

Sungguh telah berlalu orang-orang yang telah mencoba memperlihatkan ketidakpuasan mereka dengan syariat agama yang lurus dan manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan dan kekeliruan) lalu mengambil jalur yang lain sehingga menjadi orang yang merana dalam kebimbangan dan kebingungan.

Inilah Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Beliau tumbuh di tengah aliran Mu’tazilah selama empat puluh tahun dan mendebat (siapa pun) di atas aliran tersebut, lalu berlepas diri darinya dan tampil menjelaskan kesesatan Mu’tazilah serta membantahnya dengan keras.

Inilah Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah. Bersama dengan kecerdasannya yang sangat, keahliannya dan kepintarannya dalam masalah ilmu kalam dan filsafat, kezuhudan, melatih diri (kontemplasi), tasawuf, ternyata semua masalah ini berakhir pada sikap tawaqquf (terbungkam) dan bingung. Di akhir hayatnya, dia memberi arahan ke jalan ahli kasyaf, walaupun setelah itu dia kembali ke jalan ahli hadits dan menulis Iljamul ‘Awam ‘an ‘Ilmil Kalam.

Lain halnya dengan Abu Abdillah Muhammad bin Umar ar-Razi rahimahullah. Dia berkata di dalam kitabnya, Aqsamul Ladzdzat, “Sungguh saya telah mendalami ilmu kalam dan jalan ilmu filsafat. Saya tidak menemukan sesuatu yang bisa menyembuhkan sakit dan menghilangkan dahaga. Saya justru menemukan jalan yang benar adalah jalan al-Qur’an. Saya membaca dalam hal itsbat (menetapkan nama dan sifat Allah Subhanahu wata’ala),

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah), yang beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ

“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh diangkat.” (Fathir: 10)

Dan saya membaca tentang nafi (meniadakan sifat-sifat yang tidak patut bagi Allah Subhanahu wata’ala),

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (asy-Syura: 11)

وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaha: 110)

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)

Lalu dia berkata, “Barang siapa mencoba seperti percobaanku, dia akan tahu seperti apa yang aku tahu.”

Beliau sering melantunkan syair berikut,

Akhir dari mendahulukan akal adalah kebingungan

Dan kebanyakan usaha manusia ini sesat

Ruh-ruh kita berada dalam kengerian jasad

Dan hasil dari dunia kita adalah menyakitkan dan sia-sia

Kami tidak menemukan dalam pencarian sepanjang umur

Melainkan hanya mengumpulkan kata Fulan dan kata Allan

Inilah Abul Ma’ali al-Juwaini. Ia meninggalkan apa yang dahulu dianut dan didalaminya, lalu memilih jalan salaf. Dia berkata, “Wahai para murid kami, jangan kalian menyibukkan diri dengan ilmu kalam. Jika saya mengetahui bahwa ilmu kalam akan menyampaikan saya kepada kondisi ini, niscaya saya tidak akan menyibukkan diri dengannya.”

Dia juga berkata saat meninggal, “Sungguh, saya telah menyelami lautan samudra. Saya meninggalkan orang-orang Islam dan ilmu mereka, dan saya masuk ke dalam apa yang mereka larang. Sekarang, jika Allah Subhanahu wata’ala tidak menyelamatkanku dengan rahmat-Nya, celakalah Ibnu Juwaini. Inilah saya, meninggal di atas akidah ibuku, (atau dia berkata) di atas akidah orang-orang tua Naisabur.”

Demikian pula yang diucapkan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim asy-Syahrastani rahimahullah. Beliau memberitakan bahwa dirinya tidak menemukan di sisi ahli filsafat dan ahli kalam selain kebingungan dan penyesalan.

Terkadang, beliau melantunkan, “Sungguh saya berkeliling di beberapa madrasah dan saya arahkan pandangan kepada orang-orang pintarnya. Saya tidak melihat kecuali mereka meletakkan telapak tangan di bawah dagunya dalam kebingungan atau menggeletukkan giginya karena menyesal.” (Majmu’ Fatawa, 4/72)

Keberanian & Kesabaran Menjalankan Syariat

Sikap menerima dan patuh dalam menjalankan syariat adalah sikap dan perilaku orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala. Mereka menyambut dengan cepat segala apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam hidupnya, bahkan dia melakukan perlombaan untuk meraih dan mendapatkan yang lebih baik dan bernilai di hadapan Allah Subhanahu wata’ala. Suri teladan mereka adalah para rasul Allah Subhanahu wata’ala,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (al-Anbiya: 90)

Hidupnya dipersembahkan untuk Allah Subhanahu wata’ala karena dia mengetahui bahwa dia pasti akan kembali kepada-Nya dan akan disodorkan kepadanya dua pertanyaan: Apa yang dahulunya kalian sembah? Dan bagaimana tanggapanmu terhadap rasul yang diutus?

Al-Imam Qatadah dan Abu ‘Aliyah berkata, “Dua kalimat yang akan ditanya umat terdahulu dan belakangan, “Apa yang dahulunya kalian sembah? Dan bagaimana tanggapan kamu kepada para rasul?”

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ () عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.’ (al-Hijr : 92-93)

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ

“Sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (al-A’raf: 6)

لِّيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ ۚ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا

“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur tentang kejujuran mereka.” (al-Ahzab: 8)

Pertanyaan pertama tentang keikhlasan dan yang kedua tentang mutaba’ah (lihat Ighatsatul Lahafan 1/83, Madarijus Salikin 1/341).

Dia meyakini dunia yang ditempatinya ini akan berakhir, tidak ada kekekalan kecuali di sisi Allah Subhanahu wata’ala dan tidak ada keabadian kecuali kelak di akhirat. Bila dia menemukan di alam hidupnya ada satu bagian dari syariat belum dikerjakannya maka dia menengadahkan tangannya meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala kekuatan untuk bisa melaksanakan syariat tersebut. Dia mengetahui bahwa di dalam syariat itu terdapat kemaslahatan bagi manusia secara menyeluruh, terkhusus bagi orangorang yang beriman kepadanya. Apakah sikap beriman jika menerima satu syariat dan menolak yang lain? Apakah sikap orang yang beriman dengan sempurna jika ada satu syariat masih mengganjal di hati alias tidak menerima?

Orang yang beriman menyadari bahwa Allah Subhanahu wata’ala mensyariatkan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Allah Subhanahu wata’ala Maha Mengetahui segala aturan yang mendatangkan maslahat dan yang akan menyebabkan adanya mudarat.

Saudaraku, lapangkan dada Anda untuk menerima segala ketentuan Allah Subhanahu wata’ala di dalam syariatnya. Apabila Anda menemukan ada tuntunan yang berat untuk Anda kerjakan, koreksilah iman Anda, koreksi hati dan jiwa Anda. Mengapa?

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا () وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9-10)

Ikhlaskan hati, dan khusyukkan jiwa untuk meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala agar mendapatkan keberkahan hidup, bantuan dan pertolongan-Nya untuk menjalankan syariat-Nya.

Jangan mencela, jangan membenci, dan jangan melecehkan! Kitalah yang pantas untuk dicela.

Oleh : al Ustadz Abu Usamah Abdurrahman