Mengalami Haid, Tapi Belum Sempat Shalat

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

 

Wanita mendapati haid sesudah masuk waktu shalat, tetapi belum mengerjakannya, apa wajib qadha? Jika shalat maghrib, apakah waktu qadha ketika suci juga waktu maghrib, misal suci di siang hari?

Terdapat silang pendapat di antara ulama mengenai wanita yang mendapati waktu shalat lantas datang bulan (haid) sebelum sempat mengerjakannya.

 

  1. Tidak wajib mengqadhanya, kecuali jika menundanya hingga sempit waktunya lantas datang bulan (haid), ia wajib mengqadhanya.

Alasannya, kewajiban qadha shalat harus berdasarkan perintah khusus yang memerintahkan hal itu, sedangkan dalam hal ini tidak ada. Lagi pula, ia menunda pelaksanaan shalat masih dalam batas yang dibolehkan. Jika kemudian datang bulan sebelum melaksanakannya, ia tidak tergolong sengaja melalaikannya sehingga diharuskan mengqadhanya. Berbeda halnya jika ia menundanya hingga batas waktu yang sudah sempit untuk pelaksanaannya lantas haid, ia wajib mengqadhanya.

Ini pendapat Malik dan Zufar. Zufar juga meriwayatkan pendapat ini dari Abu Hanifah. Pendapat ini yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana dalam kitab al-Ikhtiyarat. Al-‘Utsaimin mengakui dalam kitab asy-Syarh al-Mumti bahwa alasan pendapat ini sangat kuat.

  1. Wajib mengqadhanya.

Namun, alim ulama yang memegang pendapat ini berbeda pendapat mengenai kriteria kadar waktu yang didapati olehnya lantas datang bulan. Terdapat tiga mazhab di antara mereka.

  1. Kadar waktu yang cukup untuk takbiratul ihram.

Alasannya, ia mendapati bagian awal shalat sehingga seakan-akan mendapatkan shalat secara utuh dari awal hingga akhir. Sebab, satu shalat tersusun dari serangkaian gerakan dan bacaan yang merupakan satu kesatuan yang utuh, itu tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Ini yang masyhur pada mazhab Ahmad.

  1. Kadar waktu yang cukup untuk pelaksanaan satu rakaat.

Dalilnya adalah hadits umum yang menyatakan bahwa mendapati satu rakaat[1] dianggap mendapati shalat secara utuh, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barang siapa mendapati satu rakaat dari suatu shalat berarti dia telah mendapati shalat tersebut.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Ini pendapat sebagian fuqaha mazhab Syafi’i. Al-‘Utsaimin menyatakan dalam kitab asy-Syarh al-Mumti’ dan Fath Dzil Jalal wal Ikram bahwa pendapat ini lebih hati-hati. Bahkan, beliau memfatwakan pendapat ini dengan tegas dalam kitab Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il.

  1. Kadar waktu yang cukup untuk pelaksanaan shalat wajib waktu itu secara utuh dari awal sampai akhir.

Menurut pendapat ini, masalah ini berbeda dengan wanita haid yang suci di akhir waktu dengan mendapatkan kadar waktu untuk satu rakaat. Wanita haid yang suci di akhir waktu dengan mendapatkan kadar waktu untuk satu rakaat tercakup dalam keumuman makna hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, karena memungkinkan baginya menyempurnakan shalat itu meskipun waktunya telah keluar. Adapun masalah ini, artinya ia hanya sempat shalat satu rakaat lantas datang haid sehingga tidak bisa meneruskan shalatnya.

Ini adalah mazhab Syafi’i yang dipegang oleh jumhur fuqaha Syafi’iyah dan riwayat kedua dari Ahmad. An-Nawawi rahimahullah menukil silang pendapat yang ada pada mazhab Syafi’i mengenai diperhitungkan tidaknya kadar waktu untuk bersuci selain waktu untuk pelaksanaan shalat itu secara utuh. Ada yang memperhitungkan hal itu, ada pula yang tidak. Yang tidak memperhitungkan kadar waktu untuk bersuci berhujah bahwa memungkinkan baginya bersuci sebelum masuk waktu shalat, kecuali pada orang yang tidak sah bersuci sebelum masuk waktu shalat, seperti wanita yang istihadhah (keluar darah terus-menerus)[2], hal itu diperhitungkan. Inilah yang terkuat dari kedua pendapat tersebut.

Terus terang, pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah (pendapat pertama) dan pendapat terakhir tergolong kuat, tetapi sulit untuk menyelisihi keumuman makna hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, apalagi mengingat bahwa hal itu lebih hati-hati—seperti kata Ibnu ‘Utsaimin. Jika demikian, yang terbaik adalah mengikuti apa yang difatwakan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam hal ini.

Jadi, jika seorang wanita mendapati kadar waktu yang cukup untuk pelaksanaan satu rakaat lantas haid, ia wajib mengqadhanya. Berdasarkan pendapat ini, yang diperhitungkan adalah kadar waktu untuk pelaksanaan satu rakaat semata tanpa memperhitungkan kadar waktu untuk bersuci, sesuai zahir (makna yang tampak dari) hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Wallahu a’lam.[3]

Adapun mengenai waktu mengqadhanya, wajib mengqadhanya kapan saja ia suci dari haid setelah bersuci terlebih dahulu. Jika yang harus diqadha adalah shalat maghrib (misalnya) dan ia suci di siang hari, ia tidak perlu menunggu sampai maghrib, tetapi saat itu juga harus mengqadhanya kemudian menunaikan shalat fardhu yang tiba waktu itu.

Berbeda halnya jika ia suci di ujung waktu shalat fardhu yang hadir waktunya dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untuk pelaksanaan shalat fardhu yang hadir atau satu rakaat darinya[4], ia harus mendahulukan pelaksanaan shalat fardhu yang hadir/tiba itu kemudian mengqadha shalat maghribnya.

Misalnya, ia suci di pertengahan waktu shalat zuhur. Ia segera bersuci, kemudian mengqadha shalat maghrib, kemudian menunaikan shalat zuhur. Jika ia suci menjelang masuknya waktu shalat ashar dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untuk menuaikan shalat zuhur atau hanya cukup untuk menunaikan satu rakaat darinya, hendaknya ia segera bersuci, kemudian menunaikan shalat zuhur, kemudian mengqadha shalat maghrib, kemudian menunaikan shalat ashar.

Contoh lain, seorang wanita suci di pengujung waktu dengan kadar waktu yang hanya cukup untuk pelaksanaan shalat ashar sebelum matahari menguning yang merupakan waktu darurat. Hendaknya ia mendahulukan shalat ashar agar tertunaikan sebelum waktu darurat mengingat tidak boleh menunda pelaksanaan shalat ashar hingga masuk waktu darurat kecuali bagi yang beruzur, baru kemudian mengqadha shalat maghrib.[5]

Wallahul muwaffiq.

 

[1] Satu rakaat yang dimaksud berupa takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, rukuk, i’tidal (bangkit dari rukuk), sujud dua kali yang diselingi oleh duduk di antara dua sujud. Lihat jawaban “Problema Anda” bertajuk Wanita Suci Dari Haid Setelah Waktu Shalat, Majalah Asy Syariah edisi 6.

[2] Lihat tata cara bersuci wanita istihadhah pada buku kami yang bertajuk Panduan Syar’i Cara Bersuci (hlm. 235 dst.). Adapun tayammum tidak dipersyaratkan harus setelah masuk waktu shalat, tetapi sah kapan saja hendak tayammum. Lihat pula buku kami tersebut pada (hlm. 157).

 

[3] Lihat kitab al-Mughni (2/47, Dar ‘Alam al-Kutub), al-Inshaf (2/441), al-Majmu’ (3/71—72), Majmu’ al-Fatawa (23/334—335), al-Ikhtiyarat (hlm. 53), asy-Syarh al-Mumti’ (2/128—132, Dar Ibnul Jauzi), Fath Dzil Jalal wal Ikram (1/Kitab ash-Shalah, Bab “Al-Mawaqith” syarah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu “Man Adraka Rak’atan min ash-Shubhi….”, dan Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il (12/218).

[4] Sebab, suci dari haid di pengujung waktu shalat dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untukpelaksanaan satu rakaat, terhitung mendapatkan shalat secara utuh, sehingga terkena kewajiban menunaikan shalat tersebut. Lihat kembali “Problema Anda” dengan tajuk Wanita Suci Dari Haid Setelah Waktu Shalat, Majalah Asy Syariah edisi 6.

[5] Lihat kitab al-Mughni (2/340—344) dan asy-Syarh al-Mumti’ (2/144—145).

hukum haidqadha shalat