Hak Istri dalam Islam

Hak Istri dalam Islam

Banyak fakta tak bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga seringkali berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?

Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah azza wa jalla berfirman,

وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi rahimahullah menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak yang harus ditunaikan suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir al-Qurthubi, 3/82)

Karena itulah, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang apabila ia berdandan untukku. Sebab, Allah yang Mahatinggi sebutan-Nya berfirman,

وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang makruf.”

Adh-Dhahhak rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan menaati suami-suami mereka, suami wajib membaguskan pergaulannya dengan istrinya, tidak menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an/Tafsir ath-Thabari, 2/466)

Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka, seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik yang wajib maupun yang mustahab. Masalah pemenuhan hak suami-istri ini kembalinya kepada yang makruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir al-Karimir Rahman, hal. 102)

Baca juga:

Hak Suami dalam Islam

Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu anhu. Ayahnya berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟

“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami yang wajib ditunaikan suaminya?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan dan engkau beri pakaian apabila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya[1], dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dinilai sahih oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 3/86)

Ketika Haji Wada, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khotbah di hadapan manusia. Di antara isi khotbah beliau adalah,

أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائكِمُ ْحَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, kalian memiliki hak yang wajib ditunaikan oleh istri-istri kalian. Mereka pun memiliki hak yang harus kalian tunaikan. Hak kalian yang harus mereka tunaikan adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Adapun hak mereka yang harus kalian tunaikan adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Beberapa Hak Istri yang Wajib Ditunaikan Suami

Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa Islam memuliakan istri dan memberinya hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, yaitu wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya, tetapi juga diberikan hak-hak yang seimbang.

Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:

  1. Mendapat mahar

Dalam pernikahan, seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah azza wa jalla,

وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةً

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (an-Nisa: 4)

فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

Berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (an-Nisa: 24)

Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada seorang sahabatnya yang ingin menikah dalam keadaan tidak memiliki harta,

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “(Ulama) kaum muslimin telah bersepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (al-Mughni, “Kitab ash-Shadaq”)

Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain (ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka) tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah azza wa jalla mengingatkan,

وَإِنۡ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٍ مَّكَانَ زَوۡجٍ وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡ‍ًٔاۚ أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنًا وَإِثۡمًا مُّبِينًا

“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain[2], sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak[3], janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (an-Nisa: 20)

  1. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (makruf) dan dengan akhlak mulia

Allah azza wa jalla berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ًٔا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرًا كَثِيرًا

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Apabila kalian tidak menyukai mereka, bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1162. Lihat ash-Shahihah no. 284)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat dalam surah an-Nisa di atas, menyatakan, “Maksudnya, perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai apabila ia (istri) berbuat demikian, engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah azza wa jalla berfirman dalam hal ini,

وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri) ku.”

Baca juga:

Meneladani Akhlak Nabi

Termasuk akhlak Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri. Beliau bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Beliau juga memberikan nafkah yang lapang untuk mereka dan tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Masih keterangan al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah,

“(Termasuk cara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Dengan demikian, terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, istri-istri beliau kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan rida-nya dari kedua pundaknya dan tidur dengan izar. Setelah shalat Isya, biasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

  1. Mendapat nafkah dan pakaian

Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur’anul Karim dari firman-Nya,

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya. Barang siapa disempitkan rezekinya, hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (ath-Thalaq: 7)

وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

Dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (al-Baqarah: 233)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat dalam surah al-Baqarah di atas menyatakan, “Maksud ayat ini ialah seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan makruf. Artinya, sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa meremehkan, sesuai dengan kemampuan suami dalam hal kelapangan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

Baca juga:

Fatwa Seputar Rumah Tangga dan Shalat

Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas.

Demikian pula hadits Aisyah radhiallahu anha. Aisya mengabarkan bahwa Hindun bintu Utbah radhiallahu anha, istri Abu Sufyan radhiallahu anhu, datang mengadu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit[4]. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku kecuali apabila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya[5].” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang makruf.” (HR. al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah. Di antaranya ialah wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (al-Minhaj, 11/234)

Baca juga:

Buah Kedermawanan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika Haji Wada berkhotbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah subhanahu wa ta’ala, beliau memberikan peringatan dan nasihat. Beliau bersabda,

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تبَغْوُاْ عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً،

أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائكِمُ ْحَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)[6] karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikit pun selain hanya itu, terkecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata[7]. Apabila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun, apabila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka.

Ketahuilah, kalian memiliki hak yang harus ditunaikan terhadap istri-istri kalian. Mereka pun memiliki hak yang harus kalian tunaikan. Hak kalian yang mereka tunaikan adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Adapun hak mereka yang harus kalian penuhi adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Baca juga:

Tanya Jawab Ringkas – Seputar Pernikahan

Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini ditunjukkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak (kesepakatan ulama).

Jumlah nafkah yang harus diberikan dikembalikan pada kemampuan suami. Hal ini ditunjukkan dalam ayat,

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya. Barang siapa disempitkan rezekinya, hendaklah ia memberikan nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (ath-Thalaq: 7)

  1. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (an-Nisa: 19)

Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat di atas ialah suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal.

Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal agar dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Demikian pula agar ia dapat bebas bergerak dan memungkinkan baginya dan suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.

  1. Wajib berbuat adil di antara para istri

Apabila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, dia wajib berlaku adil di antara mereka. Berbuat adil yang dimaksud ialah dalam hal memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam.

Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah azza wa jalla,

فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ

Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun, jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri, nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa: 3)

Dalil dari As-Sunnah antara lain hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu. Beliau menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

teks hadits

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua istri[8] lantas dia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya, dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll.; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, yaitu saat ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam hal yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, “Kitab an-Nikah”, “Bab Fil Qismi Bainan Nisa”)

Baca juga:

Bersikaplah Adil, Wahai Suami!

Asy-Syaukani rahimahullah menyatakan, datangnya suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits di atas akibat tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan bahwa berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib, niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (as-Sailul Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiqil Azhar, 2/314)

Kewajiban suami berbuat adil terhadap para istri tidaklah bertentangan dengan firman-Nya,

وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (an-Nisa: 129)

Adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam urusan yang mampu dilakukan oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah an-Nisa di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, meskipun kalian berusaha adil dalam hal itu. Sebab, hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Urusannya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir ath-Thabari, 4/312)

Baca juga:

Kita Menikah, Tetapi Ceraikan Dia

Beliau juga mengatakan, “Maka dari itu, janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga menyebabkan kalian berbuat zalim kepada istri yang lain, yaitu kalian meninggalkan kewajiban terhadap mereka dalam hal memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan makruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami dan tidak pula menjanda.” (Tafsir ath-Thabari, 4/312)

Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jimak. Sebab, jimak didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Oleh sebab itu, seorang suami tidak dapat dipaksa untuk menyamakannya di antara istri-istrinya. Sebab, hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya. (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, dan al-Majmu’, 16/433)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jimak bukanlah syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja, disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jimak….” (al-Majmu’, 16/433)

  1. Dibantu untuk taat kepada Allah azza wa jalla, dijaga dari api neraka dan diberi pengajaran agama

Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi. Istri diajari untuk meluruskan tauhidnya dan diajari amalan-amalan ibadah yang lainnya. Suami bisa mengajari sendiri istrinya, membawa istrinya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.

Allah azza wa jalla berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (at-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat di atas ialah dengan cara mendidik, mengajari, memerintah mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang difardukan oleh Allah azza wa jalla. Apabila dia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)

Hadits Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu juga menjadi dalil tentnag pengajaran terhadap istri. Malik berkata,

“Kami mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut.

Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda,

ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ

“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahlah mereka.” (HR. al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)

Baca juga:

Suami Ideal, Sebuah Proses

Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang ber-tabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah memakai wangi-wangian. Sebab, semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah.

Apalagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. Pertama, satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tetapi telanjang. Mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

  1. Menaruh rasa cemburu kepadanya

Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya. Dengan perasaan cemburu ini, suami menjaga kehormatan istrinya. Dia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.

Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentu tidak akan membawa istrinya melakukan sesuatu yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.

Sa’d bin Ubadah radhiallahu anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya,

لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ

“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang, bukan dengan sisinya tumpul[9].”

Mendengar ucapan Sa’d, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mencelanya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam justru bersabda,

أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي

“Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa’d? Sungguh, aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. al-Bukhari dalam “Kitab an-Nikah”, “Bab al-Ghirah”, dan Muslim no. 3743)

Baca juga:

Tujuh Kriteria Suami Ideal

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyebutkan, dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat,

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةً وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدًاۚ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak delapan puluh cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (an-Nur: 4)

Sa’d bin Ubadah radhiallahu anhu berkata, “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi, sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”

Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”

Orang-orang Anshar pun menjawab, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali apabila wanita itu masih gadis. Apabila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi mantan istrinya tersebut karena cemburunya yang besar.”

Sa’d berkata, “Demi Allah, sungguh aku tahu, wahai Rasulullah, ayat ini benar dan datang dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, aku hanya heran.” (Fathul Bari, 9/348)

Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan beberapa hal berikut.

a. Memerintah wanita untuk berhijab

Allah azza wa jalla berfirman kepada Nabi-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (al-Ahzab: 59)

b. Memerintah wanita untuk menundukkan pandangan matanya dan tidak memandang laki-laki yang bukan mahramnya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, “Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka….” (an-Nur: 31)

c. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ

Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (an-Nur: 31)

d. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar[10]?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut[11].” (HR. al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

e. Tidak menjerumuskan wanita pada keburukan, seperti suami bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.

Seorang suami hendaklah memperhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada istri.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Maksudnya, mengucapkan ucapan yang buruk kepada istri, mencaci makinya, atau mengatakan kepadanya, “Semoga Allah menjelekkanmu,” atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, “Kitab an-Nikah”, “Bab Fi Haqqil Mar’ah ‘ala Zaujiha”)

[2] Maksudnya, menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).

[3] Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

[4] Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam semua keadaan. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya, yaitu suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Sebab, betapa banyak di antara para tokoh/pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)

[5] Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya,

فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟

“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”

[6] Al-Qadhi berkata, “Istisha’ adalah menerima wasiat. Maknanya, ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)

[7] Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami, dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)

[8] Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, “Kitab an-Nikah”, “Bab Fil Qismi Bainan Nisa”)

[9] Sa’d memaksudkan bahwa dia akan memukul laki-laki itu dengan sisi pedang yang tajam, bukan dengan bagian yang tumpul. Orang yang memukul dengan sisi pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Berbeda halnya kalau ia memukul dengan sisi yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tetapi untuk ta’dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)

[10] Atau kerabat suami lainnya. (al-Minhaj, 14/378)

[11] Ipar dikatakan maut, maknanya ialah kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran terhadap orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar. Ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Berbeda halnya dengan ajnabi (laki-laki yang bukan kerabat).

Yang dimaksud dengan al-hamwu adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami. Sebab, dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita sehingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.

Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami, serta selain mereka yang bukan mahram wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang terjadi, mereka bermudah-mudah dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa apabila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut. Yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (al-Minhaj, 14/378)

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah