Hamba-Hamba Ar-Rahman

Hamba-hamba Allah Yang Maharahman atau yang disebut ‘ibadurrahman dalam surah al-Furqan ayat 63, siapa mereka? Sungguh, tergambar dari sifat-sifat yang disebutkan tentang hamba-hamba ar-Rahman. Beberapa sifatnya telah kita jelaskan dalam edisi yang lalu, berikut ini kelanjutannya. Wallahul muwaffiq.

Tidak Boros dan Tidak Kikir

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang jika membelanjakan hartanya mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, adalah mereka pertengahan di antara sifat berlebih-lebihan dan kikir.” (al-Furqan: 67)

‘Ibadurrahman mengetahui bahwa harta merupakan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya: darimana dia peroleh dan ke mana dia belanjakan?

Mereka membelanjakan harta mereka dengan hikmah, tidak mubadzir, berfoya-foya, dan tidak pula kikir. Mereka tidak berlebih-lebihan mengeluarkan harta untuk keperluan makan, minum, pakaian, dan kebutuhan lainnya.

Tidak pula mereka melampaui batas yang ditetapkan dalam urusan harta tersebut dengan membelanjakannya untuk sesuatu yang haram dan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Mereka waspada dengan apa yang diberitakan Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat mubadzir itu adalah saudara-saudara setan.” (al-Isra: 27)

Berlawanan dengan sifat mubadzir adalah sifat kikir atau pelit. ‘Ibadurrahman pun terjaga dari sifat ini. Mereka tidak kikir untuk menempatkan harta pada tempatnya. Mereka perhatian membayar zakat, memberi harta untuk menyambung silaturahim, dan untuk menyantuni orang-orang fakir dan miskin.

Baca juga: Bakhil Terhadap Karunia Allah

Apa yang dilakukan oleh ‘ibadurrahman ini merupakan bentuk penjagaan terhadap harta. Sebab, harta termasuk salah satu hal yang diperintahkan Islam untuk dijaga. Harta tidak boleh dihambur-hamburkan di jalan setan, tidak boleh pula kikir untuk dikorbankan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.

Seorang mukmin diberi pahala atas apa saja yang dia infakkan. Sampai pun suapan yang diletakkannya di mulut istrinya, dia mendapatkan pahalanya.

Seseorang yang memberi nafkah untuk keluarga hendaknya menghadirkan niat untuk beroleh pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala dan ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya. Sebab, apabila nafkah tersebut dikeluarkan semata-mata untuk menjalankan kewajiban, tanpa niat untuk beroleh pahala, yang didapatkan hanyalah tertunaikan kewajiban kepada keluarga, sehingga di tidak berdosa. Akan tetapi, dia luput mendapat pahala untuk dirinya sendiri.

‘Ibadurrahman menyisihkan rezeki yang Allah subhanahu wa ta’ala anugerahkan kepada mereka untuk bersedekah karena mereka yakin dengan janji Allah subhanahu wa ta’ala.

ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةً مِّنۡهُ وَفَضۡلًاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌا

“Setan itu menjanjikan kefakiran kepada kalian dan memerintah kalian untuk berbuat keji. Sementara itu, Allah menjanjikan bagi kalian ampunan dan keutamaan dari-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 268)

Baca juga: Bersedekahlah

Setan menahan seseorang untuk bersedekah dengan bayangan kefakiran, “Kalau kamu bersedekah, hartamu akan habis. Kamu akan jatuh miskin.”

Setan mengajak orang tersebut untuk berbuat keji. Dia pun berkata keji kepada orang lain yang harusnya diberi santunan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَأَمَّا ٱلۡيَتِيمَ فَلَا تَقۡهَرۡ ٩ وَأَمَّا ٱلسَّآئِلَ فَلَا تَنۡهَرۡ ١٠

“Adapun anak yatim, janganlah engkau berlaku semena-mena terhadapnya. Dan adapun peminta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (ad-Dhuha: 9—10)

Tidak Berbuat Syirik

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ

“Dan orang-orang yang tidak menyeru bersama Allah sembahan yang lain.” (al-Furqan: 68)

Sebagaimana harta diperintahkan untuk dijaga, demikian pula agama, lebih harus dijaga. Agama ini melarang perbuatan syirik. Di antara sifat ‘ibadurrahman adalah tidak berdoa kepada sembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala. Segala bentuk ibadah mereka adalah ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Tidak Membunuh Jiwa Tanpa Hak

Sifat berikutnya adalah mereka menjaga agar darah manusia tidak ditumpahkan dan jiwa tidak hilang percuma. Mereka tidak membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh.

وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ

“Dan orang-orang yang tidak membunuh jiwa yang Allah haramkan (untuk dibunuh) kecuali dengan hak.” (al-Furqan: 68)

Mereka mengetahui besarnya urusan membunuh di sisi Allah subhanahu wa ta’ala; menghilangkan satu nyawa manusia yang tidak boleh dibunuh disamakan dengan menghilangkan nyawa seluruh manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٍ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًاۚ

“Siapa yang membunuh jiwa seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain (penegakan hukum qishash) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” (al-Maidah: 32)

Baca juga: Pembunuh 100 Jiwa

Barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, ada ancaman yang keras dalam al-Qur’an,

وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدًا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمًا

“Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya, ditambah lagi Allah murka kepadanya dan melaknatnya, serta Allah sediakan untuknya azab yang besar.” (an-Nisa: 93)

Adapun membunuh dengan hak adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut ini.

لاَ يَحِلُ دَمٌ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالْمُفَارَقَةُ لِدِيْنِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal ditumpahkan darah (dibunuh) seorang muslim yang bersaksi la ilaha illallah dan aku adalah Rasulullah kecuali karena salah satu dari perkara ini: (1) jiwa dengan jiwa (hukum qishash, pembunuh dibalas bunuh), (2) orang yang sudah menikah berzina (hukum rajam sampai mati), dan (3) orang yang murtad dari agamanya meninggalkan jamaah (memberontak kepada penguasa).” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu)

Baca juga: Berkah Allah dalam Hukum Had

Apabila seseorang melakukan salah satu dari tiga hal di atas, dia layak dibunuh dengan penegakan hukum oleh penguasa, bukan oleh individu masyarakat.

Tidak Berzina

Zina merupakan dosa yang besar dan pelanggaran terhadap kehormatan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan tentang perbuatan zina,

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

“Sungguh zina itu adalah perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan.” (al-Isra: 32)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang sifat ‘ibadurrahman,

وَلَا يَزۡنُونَۚ

“Orang-orang yang tidak berbuat zina.” (al-Furqan: 68)

Baca juga: Iffah, Sebuah Kehormatan Diri

Berzina dengan wanita manapun diharamkan dalam Islam, sama saja apakah wanita itu kafir atau muslimah. Namun, berbuat zina dengan seorang muslimah lebih besar lagi dosanya. Yang lebih besar lagi adalah berzina dengan istri tetangga.

Karena itulah, ketika Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang dosa besar yang terbesar, beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

“Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang menciptakanmu.”

Aku (Ibnu Mas’ud) berkata, “Sungguh, itu sangatlah besar dosanya. Kemudian dosa apalagi?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Engkau bunuh anakmu karena kekhawatiranmu dia akan makan bersamamu.”

Ibnu Mas’ud bertanya lagi, “Kemudian dosa apa lagi?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Mengapa demikian? Sebab, tetangga memiliki hak yang besar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: مَنْ ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.”

Beliau ditanya, “Siapa yang tidak beriman, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Syuraih radhiallahu anhu)

Pikirkanlah, gangguan apa lagi yang lebih besar dan lebih menyakitkan bagi tetangga daripada berzina dengan istrinya?

Baca juga: Meraih Ridha Allah dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga

Barang siapa melakukan dosa-dosa yang telah disebutkan; berbuat syirik, membunuh tanpa hak, dan berzina, dia diancam Allah subhanahu wa ta’ala dengan firman-Nya,

وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ يَلۡقَ أَثَامًا ٦٨  يُضَٰعَفۡ لَهُ ٱلۡعَذَابُ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَيَخۡلُدۡ فِيهِۦ مُهَانًا ٦٩

“Dan siapa yang melakukan perbuatan tersebut niscaya dia akan menemui azab yang sangat pedih, dilipatgandakan baginya azab pada hari kiamat, dan dia kekal di dalam azab dalam keadaan hina.” (al-Furqan: 68—69)

Azab tersebut dikecualikan bagi orang yang mau bertobat dengan taubatan nashuha dari dosa-dosanya serta mengikutinya dengan amal saleh.

إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَٰلِحًا

“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh.” (al-Furqan: 70)

Taubatan nashuha harus memenuhi syarat-syaratnya agar bisa diterima, yaitu:

  1. Menyesali dosa yang telah diperbuat dan merasa malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala
  2. Bersegera menarik diri dari dosa tersebut, berhenti, dan tidak terus melakukannya.
  3. Berketetapan teguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.
  4. Kalau dosa itu terkait dengan hak orang lain, syaratnya ditambah dengan mengembalikan hak orang lain tersebut atau meminta maaf dan keridhaannya.
Baca juga: Sebab-Sebab Penghapus Dosa

Selanjutnya, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertobat atas dosa-dosa mereka dengan janji berikut,

فَأُوْلَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّ‍َٔاتِهِمۡ حَسَنَٰتٍۗ

“Maka mereka itu Allah gantikan kejelekan-kejelekan mereka dengan kebaikan-kebaikan.” (al-Furqan: 70)

Tentang ayat ini ada dua pendapat.

  1. Penggantian itu dalam bentuk Allah subhanahu wa ta’ala memberinya taufik untuk melakukan amal saleh. Yang sebelumnya berbuat syirik, membunuh, berzina,dan sebagainya, Allah subhanahu wa ta’ala memberi taufik si hamba untuk beramal saleh dengan bertauhid dan istiqamah di atas kebaikan.
  1. Kejelekan-kejelekan yang diperbuat si hamba itu kelak di akhirat diganti oleh Allah subhanahu wa ta’ala menjadi kebaikan-kebaikan untuknya.

Hal penting yang harus dilakukan seorang hamba adalah bertobat dengan taubatan nashuha dan beramal saleh di atas poros iman yang jujur. Jika si hamba dapat melakukannya, hendaknya dia bergembira dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan keutamaan-Nya, kemuliaan, dan kedermawanan-Nya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah memuliakan si hamba dengan pemuliaan yang besar disebabkan tobat tersebut.

وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَإِنَّهُۥ يَتُوبُ إِلَى ٱللَّهِ مَتَابًا

“Siapa yang bertobat dan beramal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (al-Furqan: 71)

Allah subhanahu wa ta’ala bergembira dengan tobat para hamba, karena Dia Maha Penyayang. Dia lebih penyayang kepada para hamba-Nya daripada kasih sayang seorang ibu kepada bayinya.

Baca juga:  Di Bawah Naungan Keindahan & Kesempurnaan Syariat Allah

Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiallahu anhu, mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

لَلّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِيْنَ يَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ. فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ؛ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Allah lebih gembira dengan tobat hamba-Nya ketika si hamba bertobat kepada-Nya daripada gembiranya salah seorang dari kalian yang menunggangi hewan tunggangannya di padang sahara (tidak berpenghuni) lalu hewan tunggangan tersebut hilang pergi entah kemana, sementara makanan dan minumannya berada di atas hewan tersebut.

Dia pun putus asa mendapatkan kembali hewan tunggangannya. Lalu dia mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya. Sungguh, dia sudah putus asa dari menemukan hewan tunggangannya.

Tatkala dia demikian keadaannya, tiba-tiba hewan tunggangan tersebut telah berdiri di sisinya. Dia pun memegang tali kekang hewan tersebut, kemudian berkata karena sangat gembira, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.”

Dia salah berucap karena saking gembiranya. (HR. Muslim)

Baca juga: Cara Bertobat dari Maksiat

Renungkanlah! Allah adalah Dzat Yang Mahakaya, tidak butuh sama sekali dengan sesuatu pun; Dia senang dan menerima tobatmu. Pantaskah engkau tidak mau bertobat dari dosa-dosamu? Jika demikian, engkau telah bermuamalah dengan akhlak yang buruk kepada-Nya.

 

(Disarikan oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah dari kitab Nafahat al-Huda wa al-Iman min Majalis al-Qur’an, karya al-Allamah al-Muhaddits asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali—semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga beliau dan memanjangkan usianya dalam berkhidmat kepada As-Sunnah)