Hukum Asal Segala Sesuatu Itu Suci bagian 2

Pada edisi yang lalu dibahas beberapa hal yang diperselisihkan kenajisannya oleh para ulama, antara lain: air liur anjing, mani, darah, orang kafir, khamr, dan muntah manusia. Berikut lanjutan pembahasannya.

Daging Babi
Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi najis atau tidaknya daging babi. Namun yang rajih (kuat) daging babi ini suci bukan najis. Ini merupakan pendapat Al-Imam Malik dan Dawud Adz-Dhahiri. (Tahqiq fi Ahaditsil Khilaf, 1/70)
Mereka yang mengatakan daging babi najis berdalil dengan firman Allah I dalam surat Al-An‘am ayat 145:
“Katakanlah; Dari apa yang diwahyukan kepadaku, aku tidak mendapatkan sesuatu yang diharamkan untuk memakannya kecuali bila makanan itu berupa bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena dia merupakan rijs atau merupakan sebab kefasikan dan keluar dari ketaatan atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…”
Rijs dalam ayat di atas mereka maknakan dengan najis. Tapi yang benar maknanya adalah haram, karena memang demikian yang ditunjukkan dalam konteks ayat ini, di mana ayat ini menjelaskan perkara yang diharamkan untuk memakannya, bukan perkara yang najis. Dan sesuatu yang haram tidak berarti ia najis, bahkan terkadang didapati sesuatu yang haram itu suci. Seperti firman Allah I yang menyatakan haramnya menikahi ibu dan yang seterusnya dari ayat ini, sementara seorang ibu tidaklah najis.
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Tsa‘labah Al-Khasyani yang menunjukkan perintah untuk mencuci bekas bejana ahlul kitab dengan alasan mereka menggunakan bejana tersebut untuk memasak babi dan untuk minum khamr. Dalil mereka ini dijawab bahwa perintah mencuci bejana di sini bukan karena najisnya tapi untuk menghilangkan sisa makanan dan minuman yang diharamkan untuk mengkonsumsinya. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar (1/38).

Bekas makanan dan minuman hewan
Ibnul Mundzir t berkata: “Seluruh ahlul ilmi yang kami hafal berpandangan bahwa bekas makanan/minuman hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Di antara yang kami hafal berpendapat demikian ini Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Ini merupakan pendapat ahlul Madinah dan ashabur ra`yi dari ahlul Kufah” (Al-Ausath 1/313). Bahkan dinukilkan dari beliau adanya ijma’ (kesepakatan) dalam masalah ini.
Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya diperselisihkan oleh ahlul ilmi. Namun kebanyakan mereka, di antaranya Al-Imam Asy-Syafi‘i dan Malik, berpendapat sucinya bekas makanan/ minuman tersebut. Dan pendapat ini yang rajih, dengan alasan bahwasanya secara umum sulit untuk menghindar dari hewan-hewan ini, karena bejana-bejana milik penduduk di pedesaan terbuka sehingga didatangi oleh hewan-hewan liar ini dan minum darinya. Seandainya kita mengharuskan mereka untuk menumpahkan air tersebut dan mewajibkan mereka untuk mencuci bejana bekas jilatan hewan tersebut niscaya hal itu menyulitkan mereka. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/396)
Pendapat ini berpegang dengan hukum asal, karena sesuatu itu dihukumi suci selama tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, atau rasa).