Hukum Ihdad Bagi Wanita

Meninggalnya suami atau orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dari itu, dibolehkanlah berihdad. Bahkan, apabila suaminya meninggal dunia, seorang istri wajib melakukan ihdad disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin, timbul tanya, apa ihdad itu?

Ihdad maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian pada waktu tertentu. Apabila dikatakan bahwa seorang istri berihdad atas kematian suaminya, maknanya si istri yang sedang menjalani masa ihdad[1] karena meninggalnya suaminya, menahan diri dari mengenakan perhiasan seluruhnya. Dia tidak memakai make up, wewangian (parfum), dan segala hal yang menjadi pendorong untuk melakukan jimak[2].

Bisa jadi, ada di antara pembaca muslimah yang belum begitu paham tentang hukum ihdad ini beserta aturan-aturannya. Kami ingin membantu dengan sedikit penjelasan berikut ini. Wabillahit taufiq.

Hukum Ihdad

Berihdad atas kematian suami wajib dijalani oleh istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama, bahkan hampir seluruh mereka, kecuali pendapat berbeda yang dinukilkan dari al-Hasan al-Bashri dan asy-Sya’bi. Namun, pendapat keduanya ganjil dan menyelisihi sunnah sehingga tak perlu ditengok. Kata Imam Ahmad rahimahullah, “Masalah ihdad ini tersamar bagi keduanya.”

Adapun selain kematian suami, baik kematian ayah, ibu, saudara laki-laki, anak, dan sebagainya, haram hukumnya melakukan ihdad melebihi tiga hari[3].

Zainab bintu Abi Salamah berkata, “Aku masuk menemui Ummu Habibah radhiallahu anha, istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, saat datang berita kematian ayahnya, Abu Sufyan radhiallahu anhu dari negeri Syam. Pada hari ketiga setelah meninggalnya sang ayah, Ummu Habibah meminta minyak wangi lalu mengusapkannya pada kedua sisi wajahnya dan kedua pergelangannya.

“Demi Allah!” kata Ummu Habibah, “Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar,

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari, kecuali apabila yang meninggal adalah suaminya, ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”

Baca juga: Wanita yang Meratapi Mayat

Zainab berkata lagi, “Kemudian aku masuk menemui Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsyin radhiallahu anha ketika saudara laki-lakinya meninggal dunia. Ia minta diambilkan minyak wangi untuk diusapkan pada dirinya. Ia pun berkata, ‘Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar, ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari. Kecuali apabila yang meninggal itu suaminya, ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”

Zainab melanjutkan penjelasannya, “Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah radhiallahu anha, berkata,

Seorang wanita menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara itu, putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada matanya?’

‘Tidak,’ jawab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.

Setelah itu, beliau bersabda, “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dahulu di masa jahiliah, salah seorang wanita dari kalian menjalani masa ihdad selama satu tahun.” (HR. al-Bukhari no. 1281, 1282, 5336 dan Muslim no. 3709)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,

“Dalam hadits di atas ada dalil wajibnya berihdad bagi wanita yang menjalani iddah karena wafatnya suami. Hal ini disepakati secara global walaupun ulama berselisih dalam perinciannya. Ihdad wajib dilakukan oleh setiap wanita yang menjalani iddah karena kematian suami, apakah ia telah ‘berkumpul’ dengan suaminya atau belum, apakah ia masih kecil atau sudah besar, apakah perawan (ketika dinikahi suaminya) atau sudah janda, apakah wanita merdeka atau budak[4], apakah wanita muslimah atau wanita kafir[5]. Ini merupakan mazhab Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan jumhur.

Baca juga: Iddah dan Macamnya

Abu Hanifah rahimahullah dan ulama negeri Kufah lainnya, Abu Tsaur rahimahullah, dan sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, “Tidak wajib berihdad bagi seorang istri dari kalangan ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani, –pent.). Sebab, ihdad hanya bagi istri yang muslimah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ …

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah ….’

Hadits di atas secara khusus menyebutkan wanita yang beriman (mukminah).”

Jumhur ulama[6] memberi jawaban bahwa hadits menyebutkan orang yang beriman secara khusus karena hanya mereka yang bisa mengambil buah dari pembicaraan Penetap syariat, mengambil manfaat dengannya, dan terikat padanya. Karena itulah, sasaran pembicaraan dalam hadits dikaitkan dengannya[7].

Abu Hanifah rahimahullah juga berkata menyelisihi pendapat jumhur ulama, “Tidak ada ihdad bagi istri yang masih kecil, tidak pula bagi istri yang berstatus budak.”

Baca juga: Hak Suami dalam Islam

Ulama bersepakat bahwa tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah melahirkan anak untuk tuannya, –pent.), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal[8]. Demikian juga istri yang ditalak raj’i (talak satu dan dua atau talak yang bisa dirujuk kembali oleh suaminya, –pent.).

Adapun terhadap istri yang ditalak tiga (talak bain), mereka berbeda pendapat.

  • Atha, Rabiah, Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah berpendapat tidak ada ihdad baginya.
  • Al-Hakam, Abu Hanifah, ulama Kufah, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid rahimahumullah berpendapat ada ihdad bagi istri yang ditalak tiga. Asy-Syafi’i rahimahullah juga memiliki pendapat seperti ini, tetapi pendapat yang lemah dari beliau.

Al-Qadhi rahimahullah menghikayatkan satu ucapan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah yang menyatakan tidak wajibnya ihdad bagi wanita yang ditalak, bahkan juga bagi wanita yang suaminya meninggal dunia. Namun, pendapat ini ganjil dan aneh.

Mereka yang berpendapat tidak ada ihdad bagi wanita yang ditalak tiga, berdalil dengan sabda Rasulullah[9] “… terhadap mayat …. ”

Baca juga: Definisi dan Hukum Talak

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan kebolehan berihdad disebabkan kematian seseorang setelah mengharamkannya, apabila bukan karena kematian.

Al-Qadhi rahimahullah berkata, “Kewajiban ihdad bagi wanita yang suaminya meninggal diketahui dari kesepakatan ulama yang memaknai hadits tentang ihdad kepada hukum wajib. Walaupun dalam lafaz hadits tersebut tidak ada yang menunjukkan wajib, mereka bersepakat memaknai hadits tersebut kepada hukum wajib. Di samping itu, ada pendukung berupa sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits lain, seperti hadits Ummu Salamah[10], hadits Ummu  Athiyyah tentang celak, minyak wangi, dan pakaian perhiasan, serta larangan beliau terhadapnya. Wallahu a’lam.” (al-Minhaj, 9/351—352)

Baca juga: Ketentuan-Ketentuan Pakaian Wanita

Dalam hadits di atas juga terdapat dalil bolehnya berihdad karena kematian kerabat atau yang lainnya selama tiga hari dan tidak boleh (haram) jika lebih dari itu. Batasan waktu tiga hari ini dibolehkan karena syariat memperhatikan keadaan jiwa dan tabiat manusia. Manusia jelas berduka saat ditinggal mati oleh orang yang dikasihinya hingga ia tak berselera berdandan, memakai pakaian bagus, dan sebagainya.

Karena itulah, Ummu Habibah radhiallahu anha dan Zainab bintu Jahsyin radhiallahu anha memakai wewangian untuk keluar dari ihdadnya. Secara jelas, keduanya menyatakan bahwa mereka memakai wangi-wangian bukan karena suatu kebutuhan. Ini adalah isyarat bahwa bekas-bekas kesedihan masih ada pada mereka. Namun, karena syariat tidak membolehkan berihdad lebih dari tiga hari, tidak ada yang melapangkan mereka kecuali berpegang dengan perintah agama[11].

Lama Masa Ihdad

Lama masa ihdad adalah selama masa iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits di atas. Sepuluh hari yang disebutkan dalam hadits mencakup pula malam-malamnya[12].

Kata Imam an-Nawawi rahimahullah, “Ini adalah mazhab kami dan mazhab ulama secara keseluruhan. Pendapat yang berbeda dihikayatkan dari Yahya ibnu Abi Katsir dan al-Auza’i. Mereka menyatakan bahwa lamanya ialah empat bulan sepuluh malam dan si wanita telah halal (tidak lagi berihdad) pada hari yang kesepuluh[13]. Sementara itu, pendapat kami dan jumhur, si wanita tidak halal hingga ia masuk malam yang kesebelas.”[14] (al-Minhaj, 9/352)

Apabila istri dalam keadaan hamil, masa iddah dan ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya. Walaupun ia melahirkan sesaat sebelum jenazah suaminya dimandikan, iddahnya saat itu telah berakhir dan dia halal untuk menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf. Dalilnya adalah ayat berikut ini.

وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ

“Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (ath-Thalaq: 4)[15]

Baca juga: Talak Sunnah dan Talak Bid’ah

Mereka juga berdalil dengan kisah Subai’ah al-Aslamiyah radhiallahu anha. Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu anha menceritakan,

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَـهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى. فَخَطَبَهَا أَبُوْ السَّنَابِلِ بنُ بَعْكَكِ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ. فَقَالَ: وَاللهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنِكِحِيْهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ. فَمَكَثَتْ قَرِيْبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمّ جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : انْكِحِيْ

Ada seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah. Ia sedang hamil saat suaminya meninggal dunia. Setelah melahirkan ia dipinang oleh Abus Sanabil bin Ba’kak. Namun, Subai’ah menolak untuk menikah dengannya. Lalu Abus Sanabil berfatwa kepada Subai’ah, “Demi Allah, tidak sepantasnya engkau menikah dengannya[16] sampai engkau beriddah dalam waktu yang paling akhir (paling panjang) dari dua waktu yang ada[17].”

Subai’ah pun berdiam selama sepuluh malam. Kemudian, ia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, untuk bertanya tentang urusannya. Ternyata Nabi bersabda, “Menikahlah.” (HR. al-Bukhari no. 5318)

Baca juga: Tanya Jawab Ringkas – Seputar Pernikahan

Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud mengabarkan bahwa ayahnya menulis surat kepada Umar bin Abdilllah ibnul Arqam az-Zuhri. Melalui surat itu, Abdullah bin Utbah memerintah Umar agar bertanya kepada Subai’ah al-Aslamiyah tentang haditsnya dan fatwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam urusannya ketika ia meminta fatwa.

Umar bin Abdillah pun membalas surat Abdullah bin Utbah. Dia mengabarkan bahwa Subai’ah berkisah, dahulu ia bersuamikan Saad bin Khaulah yang bernisbah kepada Bani Amir bin Luai. Suaminya termasuk sahabat yang ikut dalam Perang Badar. Ketika haji wada, suaminya meninggal dunia dalam keadaan ia sedang mengandung. Tidak berapa lama setelahnya, ia melahirkan. Setelah suci dari nifasnya, ia pun berdandan untuk menerima orang-orang yang mau melamarnya.

Ketika itu Abus Sanabil bin Ba’kak, seorang lelaki dari Bani Abdid Dar, menemuinya sambil berkata memberi fatwa, “Mengapa aku melihatmu berdandan? Mungkin engkau ingin menikah lagi? Padahal demi Allah, engkau tidak boleh menikah hingga berlalu waktu empat bulan sepuluh hari.”

Subai’ah berkata, “Mendengar ucapan demikian darinya, pada sore harinya aku menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk bertanya tentang hal tersebut. Ternyata beliau memfatwakan bahwa aku telah halal (selesai dari masa iddah) ketika aku melahirkan kandunganku[18]. Beliau memerintahkan agar aku menikah jika ada keinginan.” (HR. al-Bukhari no. 3991, 5319 dan Muslim no. 3706)

Baca juga: Rukun dan Syarat Akad Nikah

Sepanjang masa iddahnya, istri harus berihdad hingga selesai melahirkan kandungannya, sama saja baik masanya pendek atau panjang. Apabila ia telah melahirkan, tidak ada ihdad lagi setelahnya.[19]

Masa iddah disertai ihdad yang harus dijalani seorang istri yang ditinggal mati suami ini terhitung masa yang pendek dibandingkan dengan keadaan wanita pada masa jahiliah bangsa Arab. Seorang istri yang ditinggal mati suami harus berkabung selama setahun, sebagaimana dalam hadits tentang ihdad di atas.

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan tentang iddah wanita pada zaman jahiliah,

قَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ تَكُوْنُ فِي شَرِّ بَيْتِهَا فِي أَحْلاَسِهَا –أَوْ: فِي شَرِّ أَحْلاَسِهَا فِي بَيْتِهَا– حَوْلاً، فَإِذَا مَرَّ كَلْبٌ رَمَتْ بِبَعْرَةٍ فَخَرَجَتْ …

“Dahulu salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya dengan menetap di rumahnya yang paling buruk dan mengenakan pakaiannya yang paling jelek—atau: ia mengenakan pakaiannya yang paling jelek di dalam rumahnya—selama satu tahun. Apabila lewat seekor anjing, ia melempar kotoran hewan kemudian ia keluar ….” (HR. al-Bukhari no. 1280 dan Muslim no. 3711)

Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah menyatakan, dalam hadits di atas ada isyarat pendeknya waktu ihdad seorang istri dibandingkan dengan iddah dan ihdad para istri pada masa jahiliah. Oleh karena itu, sepatutnya istri lebih bersabar menjalaninya. (Ihkamul Ahkam, “Kitab ath-Thalaq”, “Bab al-‘Iddah”)

Baca juga: Hak Istri dalam Islam

Sebenarnya, masa iddah dan ihdad selama setahun tersebut terus berlanjut setelah datangnya Islam. Dalilnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجًا وَصِيَّةً لِّأَزۡوَٰجِهِم مَّتَٰعًا إِلَى ٱلۡحَوۡلِۚ

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka berwasiat untuk istri-istrinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya ….” (al-Baqarah: 240)

Namun, ayat ini dihapus dengan ayat yang sebelumnya, yaitu

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجًا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٍ وَعَشۡرًاۖ

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari ….” (al-Baqarah: 234)[20]

Wallahu a’lam bish-shawab.

Simak lanjutan pembahasannya di sini.


Catatan Kaki

[1] Ihdad adalah istilah bagi tenggang waktu yang dijalani oleh istri yang harus menahan diri/menunda untuk menikah lagi setelah wafatnya suami atau setelah bercerai dengannya, baik perhitungannya dengan kelahiran kandungan, dengan quru`, atau dengan bulan. (Fathul Bari, 9/582, Subulus Salam 3/307)

Iddah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari, sebagaimana dalam ayat,

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجًا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٍ وَعَشۡرًاۖ

“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, maka hendaklah para istri tersebut menangguhkan dirinya (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari ….” (al-Baqarah: 234)

Apabila istri yang ditinggal mati oleh suaminya itu dalam keadaan hamil, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masa iddahnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa iddahnya sampai dia melahirkan. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/115)

[2] Al-Minhaj 9/350, Fathul Bari 9/600, asy-Syarhul Mumti’ 5/712, Nailul Authar 6/343.

[3] Fathul Bari 9/601—602, Zadul Ma’ad 4/220, Subulus Salam 3/312.

[4] Apabila wanita yang berstatus budak dinikahkan oleh tuannya dengan seorang lelaki, lalu si lelaki meninggal dunia, wanita tersebut wajib berihdad berdasarkan keumuman ayat al-Baqarah: 234. Permasalahan ihdad ini berkaitan dengan hak suami. Ihdad mengikuti iddah. (asy-Syarhul Mumti’, 5/717)

Baca juga: Hak Suami Istri

[5] Dari kalangan Yahudi atau Nasrani. Apabila ada wanita Yahudi atau Nasrani yang dinikahi oleh seorang muslim, lalu si suami meninggal dunia, istri wajib berihdad. Sebab, ihdad mengikuti iddah walaupun si istri kafir. Dalilnya adalah keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala pada al-Baqarah: 234. (asy-Syarhul Mumti’, 5/715)

[6] Yang berpendapat bahwa ihdad berlaku bagi setiap istri yang ditinggal mati suaminya, baik si istri muslimah maupun nonmuslimah.

[7] Jawaban jumhur dalam hal ini adalah bahwa lafaz beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala disebutkan sebagai penekanan untuk menyatakan sangat dicercanya hal tersebut (berihdad lebih dari tiga hari karena kematian selain suami). Jadi, tidak bisa dipahami bahwa ihdad hanya berlaku bagi wanita yang beriman. Ini sebagaimana kita menyatakan, “Ini adalah jalan kaum muslimin,” padahal jalan tersebut terkadang dilalui pula oleh selain kaum muslimin. (Fathul Bari 9/602)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa yang dimaksud

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

adalah memberi dorongan dan anjuran kepada wanita agar tidak melakukan perbuatan demikian. Jadi, maksudnya bukanlah membatasi hukumnya hanya untuk wanita beriman dan yang lain tidak. Ini sebagaimana kalau kita mengatakan, “Tidak mungkin seorang yang dermawan menghinakan tamunya.” Kita maksudkan dengan kalimat ini sebagai dorongan untuk memuliakan tamu. (asy-Syarhul Mumti’, 5/716)

[8] Sebab, mereka tidak berstatus sebagai istri dan si mayit bukan suami mereka. Sementara itu, hadits menyebutkan dengan lafaz, “… kecuali apabila yang meninggal adalah suaminya ….” (al-Mughni, “Kitab al-‘Iddah”, “Fashl La Ihdada ‘ala Ghairiz Zaujat”)

Baca juga: Tidak Mau Menikah Setelah Suami Meninggal

[9] Lengkapnya,

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ  …

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat ….”

Kata Imam ash-Shan’ani rahimahullah, “Dalam ucapan Nabi ‘terhadap mayat’ ada dalil tentang tidak adanya ihdad bagi istri yang ditalak. Apabila talaknya raj’i, perkaranya disepakati. Adapun kalau talaknya bain, jumhur ulama berpendapat tidak ada ihdadnya.” (Subulus Salam, 3/313)

[10] Seorang wanita memintakan izin putrinya yang baru ditinggal mati suaminya untuk memakai celak karena keluhan sakit pada matanya. Hadits ini menunjukkan wanita yang ditinggal wafat suaminya wajib berihdad. Kalau tidak wajib, niscaya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melarang seseorang berobat dengan pengobatan yang mubah, seperti mengobati penyakit mata dengan bercelak. (Fathul Bari, 9/601)

[11] Fathul Bari 9/602, asy-Syarhul Mumti’ 5/712, Nailul Authar 6/3434.

[12] Lihat Fathul Bari 9/603.

[13] Menurut pendapat ini, yang terhitung hanyalah malam, tidak menyertakan hari (siang).

[14] Setelah berlalu hari kesepuluhnya.

[15] Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 3/115, al-Hawi 11/235, al-Minhaj 9/348, al-Mughni “Kitab al-‘Iddah”, “Fashl Aqsamul Mu’tadat”, al-Muhalla bil Atsar 10/41.

[16] Dalam Muwaththa` Imam Malik rahimahullah (no. 1286) disebutkan bahwa ada dua orang lelaki yang meminang Subai’ah. Seorang anak muda (Abul Basyar) dan seorang lagi lelaki berusia antara 30–50 tahun (Abus Sanabil). Subai’ah cenderung dan lebih terpikat dengan Abul Basyar. Maka dari itu, Abus Sanabil mengatakan, “Engkau belum halal untuk menikah.”

Ia mengatakan demikian karena berharap sekembalinya keluarga Subai’ah dari bepergian, mereka akan mengedepankannya daripada yang lain untuk menikahi Subai’ah.

Baca juga: Kenalan dengan Janda yang Baru Ditinggal Mati Suami

[17] Demikian pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Ini mengompromikan dua firman Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu al-Baqarah: 234 dan ath-Thalaq: 4.

Menurut pendapat ini, iddah si wanita adalah masa yang paling akhir/paling panjang di antara dua waktu yang ada, waktu 4 bulan 10 hari atau waktu melahirkan.

Misalnya, ia melahirkan dua bulan setelah suaminya wafat. Iddahnya belumlah berakhir karena waktu yang paling panjang adalah 4 bulan 10 hari. Jadi, ia harus menunggu sampai selesainya 4 bulan 10 hari tersebut.

Contoh lain, apabila sampai 4 bulan 10 hari ia belum juga melahirkan, iddahnya belumlah selesai meski sudah berlalu 4 bulan 10 hari tersebut. Ia harus menunggu hingga melahirkan kandungannya karena itulah masa yang paling panjang dari dua waktu yang ada. Misalnya ia baru melahirkan setelah sembilan bulan suaminya wafat, itulah akhir masa iddahnya. Wallahu a’lam. (lihat Ihkamul Ahkam, “Kitab ath-Thalaq”, “Bab al-’Iddah”, no. hadits 320, asy-Syarhul Mumti’, 5/674)

Pendapat ini ditolak oleh hadits Subai’ah yang sahih. Hadits tersebut merupakan nas (dalil yang tegas) yang menunjukkan bahwa Subai’ah telah halal dengan melahirkan kandungannya (telah selesai dari iddah). Dengan demikian, hadits Subai’ah menerangkan bahwa yang dituju oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala pada al-Baqarah: 234 adalah para istri yang tidak sedang mengandung. Hadits Subai’ah merupakan pengkhusus dari keumuman ayat ini.

Hadits ini juga menerangkan bahwa firman Allah subhanahu wa ta’ala pada ath-Thalaq: 4 berlaku umum, baik bagi istri yang ditalak maupun istri yang suaminya meninggal. (al-Minhaj 9/348, Fathul Bari, 9/587)

Baca juga: Tahapan Talak

[18] Nabi shallallahu alaihi wa sallam menetapkan bahwa Subai’ah telah selesai iddahnya dan halal untuk menikah tatkala ia telah melahirkan. Beliau tidak mensyaratkan agar Subai’ah suci dulu dari nifasnya. Sebab, nifas—sebagaimana haid—bukanlah penghalang untuk melangsungkan akad nikah.

Ibnu Syihab rahimahullah berkata, “Aku memandang tidak apa-apa si wanita menikah begitu selesai dari melahirkan walaupun darah nifasnya masih keluar. Hanya saja, suaminya yang baru tersebut tidak boleh menggaulinya sampai ia suci dari nifasnya.” (al-Minhaj 9/349)

[19] Al-Minhaj 9/352, al-Muhalla 10/72, asy-Syarhul Mumti’ 5/714.

[20] Tafsir Ibni Katsir 1/388, al-Hawil Kabir 11/232.

(Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)