Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan

Sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

“Apabila Ramadhan datang, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”

 

Hadits di atas dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya dalam “Kitab ash-Shaum”, “Bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan”, no. 1898 dan 1899; “Kitab Bad‘ul Khalqi”, “Bab Shifatu Iblis wa Junuduhu”, no. 3277.

Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya membawakannya dalam “Kitab ash-Shaum”, dan diberi judul bab oleh an-Nawawi dengan “Fadhlu Syahri Ramadhan”, no. 2492.

Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup

Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan pada bulan mulia ini. Di antaranya ialah sebagaimana tersebut dalam hadits yang menjadi bahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini.

Keutamaan tersebut didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang penuh berkah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

“Apabila awal malam dari bulan Ramadhan tiba, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Seorang penyeru menyerukan, ‘Wahai orang-orang yang menginginkan kebaikan, kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan, tahanlah.’ Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam.” (HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [no. 682] dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya [no. 1682], dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Misykat no. 1960)

Baca juga: Keutamaan Malam Seribu Bulan

Pada bulan yang penuh berkah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat. Jadi, mereka tidak bebas menyebarkan kerusakan di tengah-tengah manusia sebagaimana yang mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Pada hari-hari itu kaum muslimin sibuk dengan ibadah puasa yang akan mematahkan syahwat. Mereka juga sibuk membaca Al-Qur’an dan melakukan ibadah-ibadah lainnya. (al-Mirqah, Syaikh Mulla Ali al-Qari pada ta’liq al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)

Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan, dan menyucikannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Makna “Setan Dibelenggu”

Makna sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Yang dimaksud dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةُ adalah bentuk jamak dari kata الماَرِد (al-maarid) yaitu العَاتِي الشَّدِيد (yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas). (lihat an-Nihayah fi Gharibil Hadits)

Jadi, yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.

Kita perlu nyatakan hal ini, kata Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii rahimahullah, agar jangan sampai ada yang mengatakan, “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan, (lantas bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).”

Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Adapun setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kejelekan, teman-teman duduk yang jelek, dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah-tengah manusia. Tidak ada yang terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hlm. 163)

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata dalam Shahih-nya (3/188), “Bab penyebutan keterangan bahwa yang diinginkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya وصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Sebab, nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (bukan seluruhnya).”

Pada bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam hadits,

يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ

“Wahai orang yang menginginkan kebaikan, kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan, tahanlah.”

Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan

Selain hadits di atas, banyak hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini.

  1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu

Dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)

  1. Hadits Imran bin Murrah al-Juhani radhiyallahu anhu

Dia berkata, “Seseorang datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam seraya berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكَاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَقُمْتُهُ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

“Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda apabila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, dan puasa di bulan Ramadhan; termasuk dalam golongan manakah aku?”

Rasulullah menjawab, “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Lafaz yang disebutkan adalah lafaz Ibnu Hibban. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib, no. 989)

  1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu

Dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَتُغَلَّقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian untuk puasa pada bulan ini. Pada bulan Ramadhan pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup serta setan-setan yang sangat jahat dibelenggu. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang terhalangi untuk mendapatkan kebaikan malam itu, sungguh ia benar-benar dihalangi.” (HR. Ahmad [2/385] dan an-Nasai [no. 2106], dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasai. Lihat Shahih at-Targhib wat Tarhib [no. 985] dan al-Misykat [no. 1962])

  1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu

Dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim no. 549)

Cukuplah kiranya menjadi keutamaan bulan Ramadhan dengan Allah subhanahu wa ta’ala memilihnya di antara bulan-bulan yang lain sebagai waktu Dia menurunkan kitab-Nya yang mulia, pada malam yang penuh kemuliaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang batil.” (al-Baqarah: 185)

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (al-Qadar: 1)

Puasa Semestinya Membuahkan Takwa

Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi rahimahullah berkata,

“Perkara takwa yang terkandung dalam puasa di antaranya:

  • Orang yang berpuasa meninggalkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jimak, dan semisalnya.

Sementara itu, jiwa condong pada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.

  • Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala (muraqabatullah).

Dia meninggalkan keinginan jiwanya padahal ia mampu melakukannya karena ia mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala

  • Puasa menyempitkan jalan setan karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah.

Puasa juga akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.

  • Orang yang berpuasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan, sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.

  • Ketika orang kaya merasakan tidak enaknya lapar, semestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya.

Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 86)

Dengan demikian sungguh, tidaklah berlebihan apabila kita katakan bahwa momentum Ramadhan seharusnya menjadi langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Selanjutnya, iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat pada bulan-bulan berikutnya. Jangan sampai iman dan takwa terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan ar-Rahman (malaikat maut).

Musibah, Teguran Agar Kita Bertobat

Apalagi kita—penduduk negeri ini—seharusnya berkaca diri terkait dengan segala petaka yang menimpa negeri kita dan musibah yang datang terus-menerus, susul-menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada al-Khaliq.

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (ar-Rum: 41)

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٍ

“Musibah apa saja yang menimpa kalian, maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)

Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya, bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan sebagian orang. Namun, berbagai musibah itu terjadi justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini.

Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, semuanya ditimpakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertobat dan memohon ampun kepada-Nya.

Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dan bertobat maksiat mereka dengan teguran musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!

Nasihat Syaikh Ibnu Baz tentang Musibah

Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi[1]. Mudah-mudahan nasihat ini bisa menjadi renungan bagi seluruh anak negeri.

Beliau rahimahullah berkata,

“Allah subhanahu wa ta’ala Maha Memiliki hikmah lagi Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam hal apa yang Dia syariatkan dan perintahkan.

Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya, dan melakukan larangan-Nya.

Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dengannya, Allah subhanahu wa ta’ala hendak menakut-nakuti para hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudaratan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”

مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفۡسِكَۚ

“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan bdari Allah, dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (an-Nisa: 79)

Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, istiqamah di atas agamanya, dan berhati-hati dari seluruh bentuk kesyirikan dan kemaksiatan yang terlarang. Dengan demikian, mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan. Allah subhanahu wa ta’ala juga akan menolak seluruh musibah dari mereka, lalu menganugerahi mereka setiap kebaikan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَۚ

“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka malah mendustakan, maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dahulu mereka upayakan.” (al-A’raf: 96)

Kemudian Syaikh menukilkan ucapan al-‘Allamah Ibnul Qayim rahimahullah,

“Pada waktu tertentu, Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu, terjadilah gempa/goncangan yang besar sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya. Mereka lalu kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada-Nya, dan menyesali diri. Ini sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi, ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’

Ketika terjadi gempa di kota Madinah, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkhotbah dan memberi nasihat kepada penduduk Madinah. Beliau berkata, ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini’.”

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menasihatkan,

“Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah lainnya, gerhana, angin kencang, dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya, dan memohon maaf/kelapangan-Nya, serta memperbanyak mengingat-Nya dan istigfar kepada-Nya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, “Apabila kalian melihat gerhana, berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya, dan beristigfar.”

Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka. Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmat) akan dirahmati oleh ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi, niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.”[2]

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ

“Siapa yang tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi/dirahmati.”[3]

Baca juga: Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi

Diriwayatkan dari Umar bin Abdil Aziz rahimahullah bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.

Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah subhanahu wa ta’ala pada mereka serta amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ

“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (at-Taubah: 71)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana pada hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”[4]

Demikian nasihat Syaikh Ibnu Baz—semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberikan taufik kepada mereka agar bertobat dan kembali kepada agama-Nya yang benar.

Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan. Demikian pula, semoga penduduk negeri ini bisa menambah iman dan takwa mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala sehingga menjadi orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.


[1] Dinukil secara ringkas dari Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148—152.

[2] HR. at-Tirmidzi no. 1924, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 922.

[3] HR. al-Bukhari no. 7376.

[4] HR. Muslim no. 6793.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

 

introspeksiramadhan