Jihad Harus Didasari Ilmu

Jihad Harus didasari ilmu

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69)

 Penjelasan Ayat

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami”

Ada beberapa penafsiran para ulama tentang ayat ini:

  1. Bahwa yang dimaksud adalah berjihad melawan kaum musyrikin untuk mencari keridhaan Kami (ridha Allah subhanahu wa ta’ala), sebagaimana yang disebutkan oleh al-Qurthubi, al-Baghawi, dan ath-Thabari rahimahumullah.
  2. Mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan yang mengikutinya hingga hari kemudian, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa istiqamah berada di jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanad dari Ahmad bin Abi al-Hawari, ia berkata, ‘Abbas al-Hamdani Abu Ahmad telah mengabari kami tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala ini, beliau mengatakan, “(Mereka adalah) orang-orang yang mengamalkan apa-apa yang mereka ketahui, maka Allah subhanahu wa ta’ala memberi bimbingan terhadap apa yang mereka belum ketahui.” Ahmad bin Abi al-Hawari berkata,

Aku pun memberitakannya kepada Abu Sulaiman ad-Darani maka hal itu membuatnya takjub dan berkata, “Tidak sepantasnya bagi yang telah diilhami suatu kebaikan untuk mengamalkannya sampai ia mendengarnya dalam atsar (ada riwayatnya –pen.). Apabila dia telah mendengarnya dalam atsar dia pun mengamalkannya dan memuji Allah subhanahu wa ta’ala agar sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/423)

  1. Maknanya adalah bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata, “Orang-orang yang berjihad dalam melaksanakan ketaatan di jalan Kami (yakni jalan Allah ‘azza wa jalla), akan Kami tunjukkan jalan-jalan untuk mendapatkan pahala.”

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ini, dengan makna ketaatan secara umum berarti mencakup seluruh pendapat.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, akan Kami tunjukkan jalan-jalan untuk mengamalkannya.”

Berkata pula Sahl bin Abdillah rahimahullah, “Yaitu orang-orang yang berjihad dalam menegakkan sunnah, akan kami tunjukkan jalan menuju jannah (surga).”

Beberapa penafsiran di atas tidaklah saling bertentangan, bahkan saling menguatkan satu sama lain dan saling melengkapi. Mereka yang menyebutkan jihad dengan makna perang tidak mengkhususkan hanya dalam perkara perang, namun menyebutkan salah satu jenis dari amalan jihad tersebut.

Sebab jihad meliputi keseluruhan kemampuan yang dikerahkan oleh seorang muslim dalam menjalankan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Baik itu berperang melawan kaum kuffar, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, menuntut ilmu syar’i, menegakkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya.

Dengan syarat, dalam mengamalkan semua itu harus ditopang dengan ilmu yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebab barang siapa yang berjihad dengan tidak mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (tindakannya itu) akan menjerumuskannya ke dalam kesesatan dan penyimpangan.

Oleh karena itu, Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Bukanlah jihad di dalam ayat ini hanya khusus jihad melawan orang-orang kafir saja. Namun menolong agama, membantah orang yang berada di atas kebatilan, mencegah orang yang zalim, dan yang mulia adalah beramar ma’ruf nahi mungkar. Dan di antaranya pula adalah berjihad melawan hawa nafsu dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang merupakan jihad akbar.” (Tafsir al-Qurthubi, 13/364—365)

Abu Karimah (penulis –red.) berkata, “Hadits yang berbunyi: ‘Kami telah kembali dari jihad kecil (yaitu berperang -pen.) menuju jihad yang paling besar (yaitu melawan hawa nafsu –pen.)’ adalah hadits mungkar, sebagaimana telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Hadits adh-Dha’ifah (5/2460).”

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam menjelaskan ayat ini berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berhijrah di jalan Allah ‘azza wa jalla, berjihad melawan musuh-musuh-Nya, dan mengerahkan segala kemampuannya dalam mencari keridhaan-Nya, maka akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami, yaitu jalan yang akan menyampaikan kepada Kami. Karena mereka adalah para muhsinin (orang yang senantiasa berbuat kebaikan).

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala bersama dengan para muhsinin dengan pertolongan, bantuan, dan hidayah-Nya. Ini menunjukkan bahwa orang yang paling layak dalam mencocoki kebenaran adalah orang yang berjihad.

Barang siapa berbuat kebaikan terhadap apa yang telah diperintahkan- Nya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menolongnya dan memudahkan baginya sebab-sebab hidayah.

Barang siapa yang berusaha dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i, maka dia akan mendapatkan hidayah dan pertolongan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya berupa perkara-perkara Ilahiyyah, di luar jangkauan ijtihadnya, dan dimudahkan baginya urusan ilmu. Karena menuntut ilmu syar’i termasuk jihad fi sabilillah, bahkan merupakan salah satu dari dua jenis jihad, yang tidak ada yang melakukannya kecuali hamba-hamba-Nya yang khusus. Yaitu berjihad dengan perkataan dan lisan, melawan kaum kuffar dan munafikin, berjihad dalam mengajari (umat) perkara-perkara agamanya, dan membantah penyimpangan orang-orang yang menyelisihi kebenaran, walaupun mereka dari kalangan kaum muslimin.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, hlm. 636)

Beramal Saleh Sebelum Berperang

Demikianlah al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan salah satu judul bab dalam Kitabul Jihad dalam Shahih-nya, beliau berkata (menulis): Bab “Beramal Saleh Sebelum Berperang”.

Lalu beliau menyebutkan atsar dari Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu secara mu’allaq, bahwa beliau berkata,

إِنَّمَا تُقَاتِلُوْنَ بِأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya kalian berperang dengan amalan-amalan kalian.” (Disebutkan al-Imam al-Bukhari rahimahullah secara ta’liq, 6/29, bersama al-Fath. Lihat pula penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tentang hadits ini, 6/30)

Lalu al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan hadits al-Bara’ bin Azib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menutup wajahnya dengan topi baja lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku berperang atau aku masuk Islam?”

Beliau menjawab, “Masuk Islamlah kemudian berperang.”

Dia pun masuk Islam lalu berperang hingga terbunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia beramal sedikit dan diberi pahala yang banyak.” (HR. al-Bukhari, Kitabul Jihad, 6/2808)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ibnu Ishaq di dalam kitab al-Maghazi meriwayatkan kisah ‘Amr bin Tsabit dengan sanad yang sahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, Mereka mengabariku tentang seorang lelaki yang masuk jannah (surga) padahal tidak pernah shalat sekalipun!”

Beliau berkata, “Dia adalah ‘Amr bin Tsabit.”

Ibnu Ishaq berkata, Hushain bin Muhammad berkata, Aku bertanya kepada Mahmud bin Labid, “Bagaimana kisahnya?”

Beliau menjawab, “Dahulu beliau enggan masuk Islam. Tatkala (terjadi) Perang Uhud, dia pun berkeinginan (mengikutinya). Dia mengambil pedangnya, mendatangi kaumnya dan masuk ke kancah pertempuran lalu berperang hingga terluka. Kaumnya pun mendapatinya dalam peperangan lalu mereka bertanya, “Apa yang membuatmu ikut serta, rasa kasihan terhadap kaummu ataukah cinta kepada Islam?”

Dia pun menjawab, “Cinta kepada Islam. Aku berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga aku terluka.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dia termasuk penduduk jannah.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Hakim dari jalan Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata, Dahulu ‘Amr enggan masuk Islam disebabkan karena riba yang dimilikinya di zaman jahiliah. Tatkala tiba Perang Uhud, dia bertanya, “Di manakah kaumku?”

Mereka menjawab, “Di Uhud.”

Lalu dia mengambil pedangnya dan menyusul mereka. Tatkala melihat ‘Amr, mereka berkata, “Jauhilah kami.”

Dia menjawab, “Sesungguhnya aku telah masuk Islam.”

Dia pun berperang hingga terluka. Sa’ad bin Ubadah mendatanginya lalu berkata, “Engkau dalam keadaan marah karena Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.”

Lalu dia meninggal dan masuk jannah dalam keadaan tidak pernah mengerjakan satu shalat pun. (al-Fath, al-Hafizh, 6/30—31)

Kisah di atas menjelaskan kepada kita pentingnya amalan saleh sebelum seseorang menuju ke medan peperangan. Hal ini disebabkan agar seorang mujahid senantiasa mendapatkan bimbingan dalam mengamalkan amalan yang mulia tersebut sehingga selalu istiqamah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seseorang tidak mungkin membenarkan amalannya dan membedakan antara amalan saleh dengan yang buruk kecuali dengan ilmu syar’i, dengan bimbingan para ulama Rabbani yang senantiasa menuntun para mujahidin di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Sebab, tanpa ilmu syar’i dan bimbingan para ulama Salaf, seorang yang berjihad akan terjatuh dalam berbagai kesalahan dan penyimpangan dalam keadaan dia merasa berada di atas kebenaran dan menganggap suatu amalan tersebut sebagai bagian dari jihad, meskipun sama sekali tidak termasuk ke dalamnya.

Bahkan bukan termasuk perkara yang disyariatkan. Perkara inilah yang menyebabkan banyak kalangan hizbiyyin (orang-orang yang jatuh dalam fanatisme kelompok, ed) terjatuh dalam kesesatan dan menyelisihi kebenaran, dalam keadaan mereka masih saja meneriakkan bahwa amalan itu termasuk jihad, dan yang mati ketika mengamalkan amalan tersebut mati syahid.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٦

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 36)

Jihad termasuk amalan mulia, bahkan merupakan semulia-mulia amalan. Namun dalam beramal harus mengikuti tuntunan syariat yang sahihah. Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah kelompok yang sangat cinta dengan jihad. Mereka terkenal sebagai pemberani sejak zaman para sahabat hingga zaman kita sekarang ini.

Cukuplah beberapa negeri yang menjadi saksi akan kejantanan mereka, seperti Kunar yang merupakan salah satu daerah di Afghanistan, Chechnya, dan Bosnia. Bahkan mereka terus melangkah ke medan jihad walaupun orang-orang yang membenci mereka tetap benci.

Maluku dan Poso pun turut menjadi saksi akan kesungguhan Ahlus Sunnah dalam menegakkan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala. Seiring dengan bergulirnya waktu, aktivitas jihad di dua negeri ini yang tadinya berjalan mengikuti koridor as-Sunnah dengan tuntunan dan fatwa ulama, mulai disisipi kesalahan demi kesalahan.

Namun, inilah Ahlus Sunnah yang menjadikan ilmu sebagai landasannya berpijak. Ketika disadari kesalahan-kesalahan tersebut dapat menjauhkannya dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, dengan jantan mereka mengakui berbagai kesalahan tersebut dan bertaubat darinya.

Dengan berbekal nasihat ulama (seperti asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al- Madkhali) pula, mereka dengan lapang dada menarik diri dari bumi Maluku dan Poso meski banyak masyarakat di sana menahan kepergiannya. Mereka kemudian kembali membuka ma’had-ma’had di berbagai daerah untuk mengkader para penuntut ilmu syar’i.

Tapi sekali lagi, apabila Ahlus Sunnah telah meyakini suatu kebenaran, mereka tidaklah memedulikan banyaknya orang-orang yang menyelisihinya dan membencinya. Ini semua menunjukkan bahwa dalam berjihad sangatlah membutuhkan ilmu yang mapan dan bimbingan para ulama dalam menghadapi berbagai problem yang mereka hadapi tersebut.

Bandingkanlah dengan keadaan mereka yang tidak menjadikan ilmu sebagai landasan amal mereka dan tidak menjadikan para ulama sebagai penasihat. Mereka malah mengangkat para tokoh kejahilan sebagai “ulama” pembimbing mereka. Mereka menganggapnya sebagai orang yang mengerti al-waqi’ (problema kekinian).

Sementara itu, para ulama Rabbani seperti asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, asy-Syaikh Muhammad bin Saleh al-’Utsaimin, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan yang lainnya, mereka anggap sebagai “ulama haidh dan nifas” atau “ulama wudhu’” atau “ulama yang tidak mengerti al-waqi’” atau “ulama yang tidak mengerti masalah jihad,” dan semisalnya. (seperti ucapan Imam Samudra dalam Aku Melawan Teroris, hlm. 64)

Dengan sebab inilah muncul berbagai fatwa menyesatkan dan menisbahkannya kepada amalan jihad. seperti ucapan “Jihad melalui parlemen,” “Bom bunuh diri termasuk amalan jihad,” “Kewajiban memerangi seluruh kaum kafir/musyrik,” dan yang semisalnya, yang keluar dari orang-orang jahil tentang syariat Allah ‘azza wa jalla. Na’udzu billahi minal khudzlan (kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari kehinaan).