Jimat, Benarkah dalam Agama?

Jimat sepertinya telah menjadi ‘teknologi’ yang mengiringi kehidupan manusia di zaman yang konon telah sangat rasional ini. Batu akik, ikat pinggang, liontin, koin, tasbih, istambul, dan semacamnya, kini tidak sekadar benda mati tapi telah ‘naik kelas’ karena diyakini mampu menjadi pelindung, mendatangkan rezeki, atau pemikat lawan jenis. Parahnya, benda-benda semacam itu kini juga menjadi komoditas dagang yang laris diperjualbelikan lewat media.

Masyarakat kita sesungguhnya sangat paradoksal. Di satu sisi, mereka sangat mengagungkan teknologi (baca: akal) namun di sisi lain, mereka juga masih menggantungkan hidup mereka pada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan tertentu, lepas darimana ‘kekuatan’ itu bersumber.

Tentu saja ini menjadi lucu karena manusia mesti tunduk dan menghamba kepada benda-benda mati yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Mereka justru melupakan Allah subhanahu wa ta’ala, Pencipta segala yang mereka sembah itu.

 

Keterbatasan Akal

Selama ini, akal sering dijadikan alat untuk mengotak-atik syariat. Bila sesuai dengan akal berarti ma’qul (masuk akal) dan harus diterima. Sementara bila tidak sesuai dengan akal disebut ghairu ma’qul (tidak masuk akal) dan tidak diterima.

Akal seakan-akan telah menjadi sumber kebenaran dan parameter utama dalam mengukur baik buruknya suatu permasalahan. Sementara dalil justru hanya menjadi syawahid dan mutaba’at (penguat) terhadap hukum akal.

Akhirnya, gelar orang pintar lebih banyak disandang oleh orang-orang yang mampu menghukumi dalil dengan hukum akal, yang berani mempertentangkan dalil-dalil dengan akal, bahkan termasuk dalam barisan ini adalah orang-orang yang berani melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dalil naqli dan di luar hukum akal.

Mampukah akal menyingkap rahasia-rahasia syariat dan hikmah-hikmahnya? Mampukah akal berdiri sendiri menentukan jalan keselamatan tanpa bimbingan syariat?

 

Hakikat Akal

Akal adalah makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala yang merupakan bagian kecil dari anggota tubuh manusia. Tentu sebagai makhluk tidak ada yang sempurna. Karena tidak sempurna itulah berarti memiliki keterbatasan dan tidak sanggup menentukan maslahat hidup yang sempurna di dunia dan akhirat. Kesempurnaan hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala, dan semua akan berakhir kepada-Nya.

Karena akal terbatas, ia harus tunduk di hadapan syariat dan tidak diperkenankan menghakimi syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Konsep yang benar dalam pandangan agama adalah “akal yang sehat dan lurus tidak akan bertentangan dengan dalil-dalil yang sahih.”

Bila terjadi pertentangan berarti hukum akallah yang harus dihakimi dan dipertanyakan. Bukan malah dalildalil sahih yang harus dihakimi dengan ditakwil maknanya, diselewengkan, atau diragukan kesahihannya. Lebih-lebih jika dalil-dalil yang sahih itu kemudian ditolak dan dilempar di belakang punggungpunggung mereka tanpa sedikit pun rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah sesungguhnya konsep pemuja akal yang jika akal bertentangan dengan dalil yang sahih, maka harus mendahulukan akal.

Dengan konsep batil yang merupakan ramuan iblis-iblis pemikir ahli kalam ini, muncullah sekte-sekte pemuja dan penuhan akal, aliran-aliran yang berakhlak dengan akhlak iblis la’natullah ‘alaih.

Sungguh para ulama telah mengecam keras pemikiran semacam ini karena menyesatkan umat dan menjauhkan mereka dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata,

لَوْ كَان الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَان أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَمْسَحُ عَلىَ ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Sekiranya agama itu dari akal niscaya bagian bawah khuf[1] lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap punggung (atas) khufnya.” (HR. Abu Dawud 162, al-Baihaqi 1/292, ad-Daruquthni 1/75, ad-Darimi 1/181, al-Baghawi 239, dan Ahmad 943 & 970. Dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab at-Talkhis al-Khabir 1/160)

Dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata tatkala beliau mencium Hajar Aswad: “Aku mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan mudarat atau manfaat. Dan jika aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. al-Bukhari no. 1610 dan Muslim no. 1270)

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, “Hati-hati kalian dari pemuja akal karena mereka adalah musuh-musuh as-Sunnah. Amat berat bagi mereka untuk menghafal hadits sehingga mereka berkata dengan apa yang dihasilkan oleh akalnya, mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR. al-Lalikai 1/23, al-Faqih wal Mutafaqqih karya al-Baghdadi 1/180, dan Ibnu Abdul Bar di dalam kitab al-Jami’, 274)

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat ahli kalam dan ahli bid’ah berkata, ‘Singkirkan dari kami al-Qur’an dan hadits-hadits ahad serta bawa kemari akal’, maka ketahuilah dia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lami an-Nubala’ 4/472)

 

Hakikat Jimat

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan tentang jimat dan hukumnya. Kata Ibnu Mas’ud: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.” (HR. al-Imam Ahmad di dalam Musnad 1/381, Abu Dawud di dalam Sunan-nya 7/630, al-Hakim di dalam al-Mustadrak 4/217, 418, ath-Thabarani di dalam al-Kabir 10.503, dan al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra 9/350. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3288, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2845, Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 331 1/648, dan Ghayatul Maram no. 298)

Jimat adalah permata yang dirangkai atau tulang belulang kemudian dikalungkan di leher-leher anak dengan tujuan menolak bala. (Lihat Kitabut Tauhid karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, Fathul Majid 1/650)

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Memang asal jimat adalah permata yang dirangkai yang digantungkan pada leher anak agar terpelihara dari gangguan mata-mata jahat. Kemudian mereka perluas makna jimat tersebut sehingga mereka menamakan jimat pada segala bentuk perlindungan. Contoh, sebagian mereka menggantungkan sepatu kuda di pintu-pintu rumah atau di tempat yang tampak jelas, menggantungkan sandal di bagian depan mobil atau bagian belakangnya, atau marjan yang berwarna biru di bagian depan kaca mobil bagian dalam dekat sopir dengan tujuan untuk menolak bala.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 1/650)

 

Kaidah dalam Menjadikan Sesuatu sebagai Asbab (Sebab)

Kata asbab (lantaran, Jw) terkadang dijadikan alasan untuk melakukan kesyirikan dan menggugat balik setiap orang yang mengingkari kesyirikan.

Para pemakai jimat dan pengagung kuburan, tempat-tempat keramat, pohon-pohon yang antik dan aneh, terkadang beralasan membolehkan semua itu dengan hanya meyakininya sebagai sebab. Benarkah itu?

 

  1. Cara Mengetahui bahwa Sesuatu adalah Sebab

Mengetahui sesuatu itu sebab atau bukan sebab adalah bagian dari dien. Dan akan membahayakan seseorang bila tidak mengetahuinya. Telah disebutkan oleh para ulama bahwa mengetahui sesuatu itu sebab atau bukan dengan dua cara:

  1. Melalui penetapan syariat bahwa sesuatu itu sebagai sebab. Contohnya, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang salah satu fungsi madu,

أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِ

“Di dalam (madu itu) ada obat bagi manusia.” (An-Nahl: 69)

Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan pula tentang faedah membaca Al-Qur’an,

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari al-Qu’ran sesuatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra’: 82)

  1. Melalui cara yang secara alami memiliki manfaat.

Contohnya, kita mencoba sesuatu di mana setelah itu ternyata benda tersebut bermanfaat bagi penyakit yang diderita, namun dengan syarat pengaruhnya jelas dan terjadinya secara langsung. (Lihat al-Qaulul Mufid syarah Kitabit Tauhid, 1/208)

Sikap yang benar dalam menetapkan sesuatu itu sebab, baik secara syariat atau alami, adalah apa yang dikatakan oleh al-Imam as-Sa’di rahimahullah di dalam al-Qaulul as-Sadid hlm. 36, “Wajib atas setiap hamba mengetahui tiga perkara dalam permasalahan sebab:

  1. Dia tidak menjadikan sesuatu itu sebab kecuali bila telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai sebab baik secara syar’i atau alami.
  2. Dia tidak menyandarkan diri kepada sebab itu akan tetapi dia bersandar kepada yang menciptakan sebab itu, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Bersamaan dengan itu dia berusaha melaksanakan sebab-sebab yang disyariatkan dan segala yang bermanfaat.
  3. Hendaklah dia mengetahui bahwa bagaimanapun besar dan kuatnya sebab itu, tetap terikat dengan ketentuan dan keputusan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak bisa terlepas darinya. Dan Allah subhanahu wa ta’ala berbuat segala apa yang dikehendaki-Nya.

 

  1. Melaksanakan Sebab yang Disyariatkan tidak Melemahkan Keyakinan Seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala

Melaksanakan sebab yang telah disyariatkan termasuk bagian syariat. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “(Kesimpulannya adalah) menggugurkan (meninggalkan) sebab bukanlah termasuk ketauhidan. Bahkan melaksanakan sebab dan meletakkan sebab itu pada tempat yang telah diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala termasuk dari wujud kemurnian akidah. Dan ucapan ‘harus meninggalkan sebab’ adalah tauhidnya (kelompok sesat) Qadariyah Jabriyah, pengikut Jahm bin Shafwan dalam masalah jabr.” (Madarijus Salikin 3/495)

Meyakini sesuatu sebagai sebab padahal sesungguhnya hal itu bukan sebab, termasuk syirik kecil. (al-Qaulul Mufid, 1/208)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Melihat kepada sebab ada dua bentuk:

  1. Syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan
  2. Termasuk ubudiyah dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Termasuk kesyirikan menyandarkan diri kepada sebab dan tenteram dengannya, meyakini bahwa sebab itu sebagai satu-satunya yang bisa mewujudkan segala keinginan, dan berpaling dari yang menciptakan sebab itu, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. (Madarijus Salikin 3/499)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Manusia dalam permasalahan sebab terbagi menjadi (tiga kelompok). Dua berada di ujung dan satu di tengah-tengah:

  1. Golongan orang mengingkari sebab-sebab, mereka adalah golongan yang menafikan hikmah-hikmah Allah subhanahu wa ta’ala seperti golongan Jabariyah dan Qadariyah.
  2. Golongan orang melampaui batas dalam menetapkan sebab sehingga mereka menjadikan sesuatu yang tidak disyariatkan sebagai sebab, seperti yang dilakukan mayoritas ahli khurafat dari kalangan sufi dan selain mereka.
  3. Orang yang mengimani adanya sebab dan segala pengaruhnya akan tetapi mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali bila telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, baik secara syar’i atau takdir (inilah golongan yang benar -pen.).” (Lihat al-Qaul al-Mufid syarah Kitab Tauhid 1/205)

 

Apakah Jimat Merupakan Sebab-sebab yang Disyariatkan untuk Menangkal Bala’?

Cara menetapkan sesuatu itu sebagai sebab telah dijelaskan di atas, yaitu penetapan secara syariat atau secara alami. Mari kita meninjaunya dari kedua sisi ini.

  1. Sisi Syariat

Mengatakan atau menghukumi bahwa jimat merupakan sebab untuk menolak bala harus ada keterangan dari Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu yang kita dapati, jimat telah divonis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu bentuk kesyirikan dalam riwayat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu di atas.

Dari sini jelas bahwa jimat dalam pandangan syariat bukan sebagai sebab. Menjadikan sesuatu sebab yang tidak dijadikan oleh syariat sebagai sebab termasuk syirik kecil.

  1. Sisi Alami

Untuk mengatakan secara alami bahwa jimat bisa sebagai sebab penolak bala harus memenuhi dua syarat sebagaimana telah disebut di atas, yakni jelas pengaruhnya dan harus langsung.

Sementara itu, jimat itu belum jelas pengaruhnya dan secara tidak langsung. Ini sangat bertentangan dengan kaidah penetapan sesuatu itu sebagai asbab.

Dari kedua tinjauan ini maka sangat jelas sekali bahwa jimat bukan sebagai sebab syar’i ataupun alami untuk menolak bala’ atau segala malapetaka.

 

Bentuk-bentuk Jimat

Jimat kini tidak hanya ‘beredar’ di kalangan sufi dan dilakukan sembunyi-sembunyi, namun telah dikomersialkan melalui iklan di berbagai media massa.

Bagi orang yang ingin menjadi jawara mesti memiliki jimat kebal atau jimat kesaktian agar tahan bacok bahkan tahan peluru.

Bentuk jimat ini bermacam-macam. Ada yang berbentuk mantra-mantra, sabuk, rajah-rajah, atau kumpulan benda-benda khusus seperti tempurung kelapa, tempurung kerang yang dicor yang kemudian diletakkan di dalam secarik kain dan sebagaianya.

Sebagian pedagang juga memiliki jimat khusus yang disebut dengan penglaris dengan maksud bisa melariskan dagangan atau agar tidak terkena niat orang-orang yang dengki kepadanya.

Sementara itu sebagian peternak juga memiliki jimat tersendiri yang digantung di pintu atau pojok-pojok kandang supaya tidak disentuh tangan-tangan jahat atau pencuri. Begitu juga sebagian rumah-rumah kaum muslimin tidak terlepas dari semua itu.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata di dalam fatwa-fatwa beliau tentang jimat (2/238), “Apabila jimat-jimat itu dari nama-nama jin, tulang, akar kayu, besi-besi dari paku, rajah-rajah, atau yang sepertinya, maka ini termasuk dari perbuatan syirik kecil dan terkadang menjadi syirik besar apabila yang menggantungkan jimat itu berkeyakinan bahwa jimat tersebut bisa menjaganya atau menyingkap penyakit yang diderita atau menolak mudarat tanpa izin Allah dan kehendak-Nya.”

 

Hukum Menggantungkan Jimat

Sudah disebutkan di atas bahwa jimat termasuk dari kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, hal ini sangat jelas keharamannya.

Lalu bagaimana hukum memakainya? Jawabannya butuh rincian.

  1. Akan menyebabkan terjatuh kepada syirik akbar (besar) bila disertai keyakinan bahwa jimat itu sendiri yang memberikan pengaruh selain Allah subhanahu wa ta’ala, yang bisa menolak mudarat dan mendatangkan manfaat, serta membentengi setiap orang yang memakainya.

Pelakunya telah keluar dari Islam, halal darahnya untuk ditumpahkan dan hartanya untuk dirampas, mengekalkan dirinya di dalam an-naar (neraka) bila dia mati dan belum bertaubat, serta menghapus seluruh amalan yang dilakukan di dalam Islam.

  1. Akan menyebabkan terjatuh dalam perbuatan syirik kecil bila dia meyakini bahwa jimat itu hanya sebagai sebab semata, adapun yang mendatangkan manfaat dan menolak segala bentuk malapetaka yang menimpanya adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Menjadikan sesuatu sebab yang tidak pernah dijadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai sebab adalah syirik kecil. (Lihat al-Qaulul Mufid 1/204, al-Qaulul Sadid hlm. 38, Fatawa Syaikh Ibnu Baz 2/384)

 

Hukum Jimat dari Al-Qur’an

Terkadang jimat berasal dari al-Qur’an atau tulisan ayat-ayat al- Qur’an atau nama-nama Allah. Apakah hukumnya sama dengan jenis-jenis jimat di atas?

Tentang hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf:

  1. Sebagian mengatakan boleh. Mereka memaknakan hadits yang menjelaskan keharaman jimat itu dengan makna jimat yang mengandung kesyirikan.

Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dan diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, tetapi riwayat dari kedua sahabat ini lemah. Ini adalah ucapan Abu Ja’far al-Baqir, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat.

  1. Sebagian mengatakan diharamkan.

Yang berpendapat demikian di antaranya Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan dzahir ucapan Hudzaifah, ‘Uqbah bin ‘Amir, dan Ibnu ‘Akim dan demikian juga ucapan sejumlah tabi’in di antara mereka murid-murid Ibnu Mas’ud, dan Ahmad di dalam sebuah riwayat yang dipilih oleh mayoritas murid beliau dan yang diperkuat oleh ulama mutaakhirin (belakang ini).

Mereka berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Mas’ud: Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan gunaguna termasuk dari kesyirikan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim)

Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah men-tarjih (menguatkan) kedua pendapat ini dengan mengatakan, “Yang benar (dari kedua) pendapat ini adalah pendapat yang mengatakan haram, dengan beberapa alasan:

  1. Keumuman larangan dan tidak ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.
  2. Menutup jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada (perbuatan) menggantungkan selain al-Qur’an atau nama-nama Allah.
  3. Akan terjatuh pada penghinaan terhadap al-Qur’an dan nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala tersebut karena akan dibawa ke tempat najis atau dipakai untuk mencuri, merampok, dan berkelahi.

Pendapat kedua ini pula yang dikuatkan oleh ulama masa kini seperti asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Taisir al-‘Aziz al-Hamid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh dalam kitabnya Fathul Majid, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, asy-Syaikh Muhammad bin Saleh al-’Utsaimin, dan asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahumullah.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa segala bentuk jimat baik dari al-Qur’an ataupun bukan, diharamkan berdasarkan keumuman larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, dinasihatkan kepada kaum muslimin agar segera meninggalkannya dan hanya kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam meminta segala kemanfaatan dan minta dijauhkan dari segala malapetaka.

Meminta perlindungan dan penjagaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata itulah akidah yang benar, dan tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kebatilan. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah


[1] Khuf yaitu sepatu yang tingginya menutup dua mata kaki, –red

jimatpenglaristolak bala