Kasus-kasus Seputar Waris

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)

 

Para pembaca yang mulia, telah berlalu pembahasan demi pembahasan seputar hukum waris Islam dan beberapa poin penting yang terkait dengannya, semoga bisa diikuti dan dipahami dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, perlu kami perkenalkan kepada para pembaca sekalian beberapa contoh kasus seputar permasalahan waris, agar lebih mendalami kasus-kasus tersebut dan lebih terbimbing manakala dihadapkan dengannya. Di antara contoh kasus seputar permasalahan waris adalah:

 

1. Seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka untuk siapakah harta warisnya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t ketika menafsirkan surat Al-Anfal ayat 75 mengatakan: “Tidaklah mewarisi harta si mayit kecuali karib kerabatnya dari para ‘ashabah maupun ashhabul furudh (ahli waris, pen.). Jika tidak didapati para ahli waris tersebut maka yang mewarisinya adalah yang terdekat hubungannya dengan si mayit dari kalangan dzawil arham (para kerabat dekat yang tidak termasuk ashhabul furudh dan tidak pula ‘ashabah).” (Taisirul Karimirrahman, hal. 289)

Pendapat inilah yang difatwakan oleh sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, juga Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, serta generasi akhir dari kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i.1 Demikian pula yang dipilih Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. (Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II, Tashilul Faraidh, hal. 73 dan At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 263-264)

Siapa sajakah yang termasuk dzawil arham itu?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Mereka ada sebelas jenis:

1) Para cucu dari anak-anak perempuan dan anak-anak para cucu perempuan dari anak lelaki (cicit) dan ke bawahnya.

2) Anak saudara perempuan secara mutlak; sekandung, sebapak saja dan seibu saja (keponakan).

3) Anak perempuan dari saudara lelaki; sekandung dan sebapak saja, tidak termasuk yang seibu (keponakan) dan para cucu perempuan dari jalur anak lelaki saudara tersebut.

4) Anak saudara seibu (keponakan).

5) Paman (seibu); baik paman (saudara bapak yang seibu) dari si mayit, paman bapak (saudara kakek seibu) dari si mayit atau paman kakek (saudara buyut lelaki seibu) dari si mayit.

6) Bibi dari jalur bapak secara umum; baik bibi dari jalur bapak si mayit, bibi kedua orangtua si mayit dari jalur bapaknya masing-masing, bibi dari kakek si mayit dari jalur bapaknya (saudara perempuan buyut lelaki dari kakek) ataupun bibi dari nenek si mayit dari jalur bapaknya (saudara perempuan buyut lelaki dari nenek).

7) Anak perempuan paman dari jalur bapak; baik yang sekandung, sebapak saja ataupun seibu saja (saudara sepupu).

8) Paman dan bibi (saudara-saudara ibu; baik yang sekandung, sebapak saja ataupun seibu saja).

9) Para kakek yang bukan termasuk ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur bapak. Seperti bapaknya ibu (kakek) dan juga bapaknya nenek (buyut lelaki) dari jalur bapak, dsb.

10) Para nenek yang bukan dari ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur bapak. Seperti; Ibunya kakek (buyut perempuan) dari jalur ibu dan ibunya buyut lelaki menurut pendapat yang memasukkan keduanya ke dalam dzawil arham, dsb.

11) Semua kerabat yang mempunyai keterkaitan dengan si mayit melalui (perantara) sepuluh jenis yang telah disebutkan sebelumnya.” (Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II)

Bukankah dzawil arham tersebut tidak mempunyai ketentuan khusus dalam hal perwarisannya? Dengan cara apakah mereka mendapatkan bagiannya?

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan cara perwarisannya. Namun jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa perwarisannya dengan cara tanzil, yaitu dengan memosisikan masing-masing dari dzawil arham tersebut (baik lelaki maupun perempuan) seperti posisi ahli waris yang menjadi perantaranya dengan si mayit. Misalnya, cucu lelaki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak perempuan, mereka diposisikan seperti anak perempuan (ibu mereka). Anak lelaki dan anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), mereka diposisikan seperti saudara perempuan (ibu mereka). Tak dibedakan antara yang lelaki dengan yang perempuan, karena yang dijadikan patokan dalam masalah ini adalah ahli waris perantaranya bukan dzat dari dzawil arham tersebut. (Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II, At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 266-267 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 240)

 

2. Di antara hikmah dilebihkannya jatah waris anak lelaki dua kali lipat dari jatah waris anak perempuan

Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi t berkata: Firman Allah l:

“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak kalian. Yaitu: bagian (jatah) seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa’: 11)

di dalamnya memang tidak disebutkan hikmah dilebihkannya jatah waris anak lelaki atas jatah waris anak perempuan, sementara status keduanya sama dalam hal kekerabatannya dengan si mayit. Akan tetapi pada bagian lain dari Al-Qur’an Allah l telah mengisyaratkannya, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa’: 34)

Hal itu disebabkan bahwa seorang (lelaki) yang bertanggung jawab terhadap perempuan (istri) yang dipimpinnya dan dituntut untuk selalu menafkahinya, maka (harta)nya dimungkinkan selalu berkurang. Sedangkan si perempuan (istri) yang selalu dipimpin dan dinafkahi tersebut, hartanya ada harapan terus bertambah. (Atas dasar itu) amat jelas sekali hikmah dilebihkannya jatah waris anak lelaki atas jatah waris anak perempuan, yaitu untuk menutup segala kekurangan pada harta anak lelaki yang dimungkinkan selalu terancam berkurang tersebut. (Adhwa’ul Bayan, 1/308)

 

3. Warisan saudara-saudara seibu (anak-anak ibu)

Warisan saudara-saudara seibu (anak-anak ibu) mempunyai beberapa kekhususan sebagai berikut:

– Warisan anak lelaki sama dengan warisan anak perempuan, baik dalam keadaan sendiri maupun bersama-sama. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, hal itu karena keterkaitan mereka dengan si mayit dari jalur ibu (perempuan) saja, tanpa ada jalur bapak (lelaki) yang dapat menjadikan lelaki lebih banyak jatahnya dari perempuan. (Tashilul Faraidh, hal. 9)

Satu orang dari mereka (baik lelaki maupun perempuan) mewarisi 1/6 dan jika bersama-sama (baik lelaki dan perempuan, perempuan semua, ataupun lelaki semua) mewarisi 1/3, dengan berbagi sama rata pada jatah waris 1/3 tersebut. Maka berserikatnya mereka dalam fardh tertentu (1/3) tersebut menunjukkan bahwa jatah waris mereka (lelaki dan perempuan) sama. Dalilnya adalah firman Allah l:

“Jika seseorang mati, baik lelaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan bapak dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara lelaki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6) harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga (1/3) itu.” (An-Nisa’: 12)

– Atas dasar poin sebelumnya, maka yang lelaki dari mereka tidaklah menjadi mu’ashshib (penyebab untuk mewarisi dengan cara ta’shib) bagi yang perempuannya.

– Lelaki dari mereka tetap bisa mewarisi walaupun yang menghubungkannya dengan si mayit adalah perempuan (ibunya). Hal ini berbeda dengan selainnya dari kerabat dekat si mayit dari jalur perempuan, seperti cucu lelaki dari anak perempuan si mayit. Dia tidak terhitung sebagai ahli waris si mayit, karena yang menghubungkannya dengan si mayit adalah perempuan (ibunya).

– Secara keumuman, seorang ahli waris tidak bisa mendapatkan jatah waris manakala ada ahli waris penghubung antara dia dengan si mayit. Misalnya, cucu lelaki dari anak lelaki tidak bisa mendapatkan jatah waris manakala ada anak lelaki (dalam hal ini sebagai bapak dari cucu lelaki tersebut). Adapun saudara-saudara seibu, mereka bisa mendapatkan jatah warisnya bersama si ibu, yang dalam hal ini sebagai penghubung antara mereka dengan si mayit.

– Secara keumuman, ahli waris yang tingkatan nasabnya lebih tinggi dapat memahjubkan (menghalangi) ahli waris di bawahnya yang masih satu jenis, baik hajb hirman ataupun hajb nuqshan, sebagaimana dalam pembahasan ‘Penghalang Waris’ yang telah lalu. Akan tetapi berbeda halnya dengan saudara-saudara seibu (jika berjumlah dua orang atau lebih), justru dapat memahjubkan sang ibu yang tingkatan nasabnya di atas mereka dengan hajb nuqhshan, yaitu dari 1/3 menjadi 1/6. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 91-92, Tashilul Faraidh, hal. 9 dan 55-56, dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh hal. 92-93)

 

4. Warisan saudara sesusuan

Saudara sesusuan dengan kriteria yang telah ditentukan para ulama,2 mempunyai hukum seperti saudara senasab dalam hal nikah, khalwat (berduaan tanpa mahram), kemahraman, dan saling melihat. Adapun dalam hal waris-mewarisi, maka saudara sesusuan tidak bisa saling mewarisi dengan saudara sesusuannya menurut ijma’ (kesepakatan) ulama. Karena menyusu bukanlah sebab dari sebab-sebab waris, sebagaimana dalam pembahasan ‘Sebab Waris’ yang telah lalu. (Lihat Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 59-60)

 

5. Warisan anak zina dan anak li’an

Anak zina adalah seorang anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak syar’i (berzina). Sedangkan anak li’an adalah seorang anak yang tidak diakui oleh bapaknya hingga saling melaknat (mula’anah) dengan istrinya (ibu si anak), dengan suatu klaim (dari si bapak) bahwa anak tersebut dari lelaki lain dan bukan dari dirinya.

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, anak zina dan anak li’an ini tidak bisa saling mewarisi dengan bapaknya dan karib kerabat bapaknya, karena tidak ada hubungan nasab –secara syar’i– antar mereka. Adapun dengan ibunya dan karib kerabat ibunya, maka bisa saling mewarisi karena nasabnya kepada si ibu diakui secara syar’i. (Lihat Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 260-261)

 

6. Warisan anak angkat (adopsi)

Dahulu di masa jahiliah, anak angkat berposisi sebagai anak kandung. Dipanggil dengan nasab bapak angkatnya dan mereka pun saling mewarisi. Kemudian datanglah Islam, mengubah aturan jahiliah tersebut dengan penuh hikmah. Allah l berfirman:

“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri kalian yang kalian dzihar itu sebagai ibu kalian. Dan Dia (Allah l) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut kalian saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (menasabkan kepada) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian.3 Tidak ada dosa atas apa yang kalian khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) adalah apa yang disengaja oleh hati kalian, dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 4-5)

Menurut para mufassirin, dua ayat di atas merupakan nasikh (penghapus) bagi adat jahiliah yang memosisikan anak angkat sebagai anak kandung dengan dinasabkan kepadanya dan mewarisi hartanya. Sejak turunnya ayat tersebut, anak angkat tidak boleh dinasabkan kepada bapak angkatnya (akan tetapi dinasabkan kepada bapaknya sendiri) dan mereka pun tidak saling mewarisi satu dengan lainnya.4

Al-Imam Sa’id bin Al-Musayyib t  menegaskan bahwa anak angkat tidak bisa mendapatkan harta waris dari bapak angkatnya, namun masih memungkinkan baginya mendapatkan harta tersebut jika ada wasiat untuknya dari si bapak angkat. (Lihat Tafsir Ath-Thabari, juz 14, hal. 116, Ma’alimut Tanzil, juz 1, hal. 316, Fahmul Qur’an, juz 1, hal. 465, Ad-Durrul Mantsur, juz 6, hal. 563, Al-Muharrar Al-Wajiz, juz 5, hal. 290, At-Tahrir wat Tanwir, juz 11, hal. 204, dan Majmu’ Fatawa, juz 35, hal. 95 -program Al-Maktabah Asy-Syamilah II)

 

7. Warisan anak temuan

Anak temuan adalah seorang anak yang dibuang oleh orangtuanya karena takut menanggung nafkahnya atau karena takut ketahuan berzina. Demikian juga anak yang tersesat dan tidak terlacak siapa orangtuanya dan di mana rumahnya, kemudian dipelihara oleh seseorang yang mengasihinya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 42 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 260)

Apakah anak temuan bisa saling mewarisi dengan seorang yang memeliharanya?

Dalam permasalahan ini ada dua pendapat di antara para ulama:

Pertama: Pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa anak temuan tidak bisa saling mewarisi dengan seorang yang memeliharanya. Dasarnya adalah sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Al-Khaththabi t bahwa anak temuan menurut mayoritas ahli fiqh (fuqaha) adalah seorang yang merdeka, sedangkan dia tidak mempunyai ikatan wala’ (pembebasan diri dari perbudakan) dengan siapapun. Sementara proses waris-mewarisi itu kalau tidak karena ikatan nasab, maka karena ikatan wala’. Kedua ikatan tersebut tidak didapati pada anak temuan dengan seorang yang memeliharanya itu. (Ma’alimus Sunan, juz 4, hal. 176)

Kedua: Pendapat Al-Imam Ishaq bin Rahawaih t dan salah satu pendapat dari Al-Imam Ahmad bin Hanbal t, bahwa anak temuan bisa saling mewarisi dengan seorang yang memeliharanya tersebut ketika tidak didapati ahli warisnya. Pendapat inilah yang nampaknya dikuatkan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim t, sebagaimana dalam Tahdzibus Sunan, juz 4, hal. 179. (Diringkas dari At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 43-44)

8. Warisan khuntsa

Khuntsa adalah seseorang yang mempunyai dua alat vital (lelaki dan perempuan) atau yang tidak mempunyai kedua-duanya. Karena keadaannya sungguh bermasalah; bukan lelaki dan juga bukan perempuan, maka ditambahlah dengan sifat musykil (bermasalah).

Khuntsa musykil ini bisa terjadi pada empat jenis ahli waris: bunuwwah (keturunan si mayit), ‘umumah (kalangan paman si mayit), ukhuwwah (kalangan saudara si mayit), dan maula (kalangan mantan budak si mayit). Adapun jenis ubuwwah (kalangan orangtua si mayit) maka tidak terjadi pada mereka. Karena statusnya yang tidak jelas ini tidak mungkin terjadi pada mereka, mengingat orang yang tidak jelas statusnya itu –secara syar’i– tidak sah untuk menikah. Sedangkan orang yang tidak menikah tentunya tak mempunyai anak, dan orang yang tidak mempunyai anak (terlebih yang tidak menikah) tidaklah bisa digolongkan ke dalam jenis ubuwwah. Atas dasar itulah, khuntsa musykil tidak mungkin dari jenis ubuwwah. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 205-206)

Dalam hal warisan, khuntsa mempunyai tiga keadaan:

1) Statusnya telah jelas (lelaki atau perempuan), dalam kondisi masih mempunyai dua alat vital. Hal ini bisa diketahui dari cara buang air kecilnya; jika menggunakan alat vital lelaki maka dia lelaki dan mewarisi sebagai ahli waris lelaki. Jika buang air kecilnya menggunakan alat vital perempuan maka dia perempuan dan mewarisi sebagai ahli waris perempuan. Dengan demikian, alat vital yang tidak berfungsi itu dihukumi seperti daging tumbuh.

Kemudian jika buang air kecilnya dengan menggunakan kedua alat vitalnya secara bersama-sama, maka dikuatkan sisi yang terbanyak mengeluarkan air seni dari keduanya, dan mewarisi berdasarkan hal tersebut. Namun jika diketahui mana di antara keduanya yang lebih dahulu mengeluarkan air seni, maka yang mengeluarkan lebih dahulu itulah yang dikuatkan, dan dia mewarisi berdasarkan hal tersebut.

2) Statusnya belum jelas (lelaki atau perempuan), namun masih ada harapan untuk bisa diketahui keadaannya dengan menunggu masa baligh, saat munculnya tanda-tanda lelaki, seperti tumbuh kumis atau jenggot, keluar mani dari alat vital lelaki. Atau yang muncul adalah tanda-tanda kewanitaan, seperti datang bulan (haid), keluar mani dari alat vital perempuan, dan muncul payudaranya. Dalam keadaan demikian, masing-masing mewarisi sesuai dengan keadaannya yang telah jelas tersebut.

Namun jika ahli waris selain khuntsa musykil (yang sama-sama mewarisi dari si mayit) tidak sabar menunggu dan meminta agar harta waris segera dibagikan, maka jalan keluarnya adalah dengan melihat posisi khuntsa musykil tersebut, apakah dari kalangan bunuwwah (keturunan si mayit), ‘umumah (kalangan paman si mayit), ukhuwwah (kalangan saudara si mayit), ataukah dari kalangan maula (mantan budak). Kemudian setelah itu dibuat dua hitungan waris sesuai dengan posisi waris khuntsa musykil di atas: 1) dengan memosisikan khuntsa musykil sebagai lelaki, 2) dengan memosisikan khuntsa musykil sebagai perempuan.

Setelah itu dibagikan untuk masing-masing ahli waris (termasuk khuntsa musykil) jatah yang paling sedikit dari kedua hitungan tersebut sebagai bentuk kehati-hatian. Khuntsa musykil mendapatkan jatah warisnya dengan anggapan bahwa dia seorang perempuan, sedangkan ahli waris lainnya mendapatkan jatah warisnya dengan anggapan bahwa khuntsa musykil tersebut seorang lelaki. Adapun sisa dari harta waris ditangguhkan hingga benar-benar jelas status khuntsa musykil tersebut. Jika di kemudian hari status khuntsa musykil tersebut jelas sebagai lelaki, maka dia mendapatkan tambahan jatah dari sisa harta yang ditangguhkan tadi. Namun jika perempuan, maka para ahli waris itulah yang mendapatkan tambahan jatah dari sisa harta yang ditangguhkan tadi.

3) Tidak ada harapan untuk bisa diketahui statusnya, seperti meninggal dunia di waktu kecil, atau telah memasuki masa baligh namun tak kunjung jelas statusnya. Dalam keadaan demikian masing-masing dari ahli waris (termasuk khuntsa musykil) mendapatkan setengah dari penggabungan dua langkah penghitungan di atas. Artinya setelah dihitung dengan dua langkah penghitungan; memosisikan khuntsa musykil sebagai lelaki dan khuntsa musykil sebagai perempuan (sebagaimana pada keadaan kedua di atas), maka digabungkanlah hasil dari dua penghitungan tersebut, kemudian setelah itu dibagi dua. Hasil akhir dari pembagian inilah yang menjadi jatah waris dari masing-masing ahli waris. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 206-216 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 227-231)

 

9. Warisan orang-orang/suatu keluarga yang mati tenggelam, tertimbun  (longsor/reruntuhan) atau terbakar

Maksud dari pembahasan ini adalah tentang warisan orang-orang (suatu keluarga yang saling mewarisi) yang tertimpa musibah secara kolektif, baik karena naik kapal laut kemudian tenggelam, tertimbun tanah longsor, kebakaran rumah/kampung, dan berbagai peristiwa lainnya yang banyak terjadi belakangan ini (hanya kepada Allah l-lah tempat berlindung).

Hukum waris di antara mereka meliputi lima keadaan:

1) Dapat diketahui dengan jelas siapa di antara mereka yang meninggal dunia belakangan. Dalam keadaan ini, yang meninggal dunia belakangan mewarisi dari yang meninggal dunia sebelumnya, dan tidak sebaliknya.

2) Dapat diketahui dengan jelas bahwa mereka meninggal dunia dalam waktu yang sama (sekaligus). Dalam keadaan ini, mereka tidak saling mewarisi karena tidak adanya syarat waris, yaitu kejelasan tentang hidupnya ahli waris setelah meninggalnya pemilik harta waris/muwarrits walau sesaat, baik bersifat pasti maupun didasari oleh dugaan kuat (hukmi).5

3) Tidak diketahui proses kematian mereka, apakah satu demi satu atau sekaligus.

4) Dapat diketahui bahwa proses kematian mereka satu demi satu, namun tidak bisa dipastikan siapa di antara mereka yang meninggal dunia belakangan.

5) Dapat diketahui siapa di antara mereka yang meninggal dunia belakangan, kemudian lupa.

Pada tiga keadaan yang terakhir ini, menurut jumhur sahabat, Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan generasi akhir dari murid-murid Al-Imam Ahmad, mereka tidak saling mewarisi satu dengan yang lainnya, dan harta yang mereka tinggalkan diwarisi oleh ahli warisnya masing-masing yang hidup ketika terjadinya peristiwa tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Imam Ibnu Qudamah, Majduddin Ibnu Taimiyah6, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah7, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 132, At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 238 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 251-253)

Akhir kata, sebagai penutup perlu kami sampaikan bahwa kajian waris yang diangkat dalam kesempatan kali ini belum mewakili ilmu al-faraidh sebagai disiplin ilmu tertentu. Karena cakupannya amat luas dan masing-masing pembahasannya pun membutuhkan rincian, sementara ruang rubrik dalam majalah ini terbatas dan jangkauan pemahaman para pembacanya pun amat variatif. Sehingga cukuplah kiranya yang diangkat hanya beberapa poin terpentingnya saja.

Besar harapan kami semoga dengan kajian waris ini umat Islam semakin mengenal bimbingan agamanya yang indah dan penuh hikmah, untuk kemudian berupaya mengamalkan bimbingan tersebut baik dalam permasalahan waris secara khusus ataupun dalam berbagai permasalahan lainnya.

Wallahu a’lam bish-shawab.


1 Menurut sahabat Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Auza’i, Ibnu Jarir, dan juga generasi pertama dari kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i; hartanya diserahkan ke baitul mal (kas negara). Namun dalil-dalil yang mendasari pendapat ini tidaklah sekuat dalil-dalil pendapat pertama yang menyatakan; hartanya untuk yang terdekat dari dzawil arham. (Untuk mengetahui lebih rinci, lihat kitab At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 260-266, dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 236-239)
2 Yaitu menyusu dengan susuan yang mengenyangkan, minimalnya pada lima kali kesempatan menyusu, dan pada usia susuan/haulain.
3 Seperti sahabat Salim anak angkat Abu Hudzaifah, dipanggil dengan Salim maula Abu Hudzaifah.
4 Keterangan para mufassirin di atas berlaku ketika si anak angkat bukan dari kerabat (ahli waris) bapak angkatnya. Akan tetapi jika masih ada hubungan kerabat dan termasuk ahli waris dari si bapak angkatnya, semisal anak lelaki saudara lelakinya (keponakan) atau cucu lelaki dari anak lelakinya dll, maka dia diposisikan selayaknya ahli waris dan bisa mendapatkan jatah warisnya manakala telah terpenuhi segala persyaratannya.
5 Untuk lebih jelasnya, lihatlah pembahasan yang lalu tentang ‘Syarat Waris’.
6 Beliau adalah kakek dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, penulis kitab Muntaqal Akhbar yang kemudian disyarah (dijelaskan) oleh Al-Imam Asy-Syaukani t dalam kitab yang berjudul Nailul Authar.
7 Untuk mengetahui lebih jauh tentang beliau, baca majalah Asy-Syariah edisi 45 ‘Mengenal Lebih Dekat Ulama Kita’.