Kecupan Kasih Sayang

Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai agama nan sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan dalam hal ini.

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kasih sayang di dalam kalbu ayah dan bunda, sehingga senantiasa menghiasi segala apa yang ada antara ayah bunda dengan buah cinta mereka. Gambaran apa pun yang ada di antara ayah-ibu dengan anak mereka, tak lain melambangkan kasih sayang mereka. Sekeras apa pun tabiat sang ayah atau bunda, di sana tersimpan kecintaan yang besar terhadap putra-putrinya.

Besarnya kasih sayang ini terlukis dari ungkapan lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang ibu di antara para tawanan. Kisah ini disampaikan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu:

قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ سَبِيٌّ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَبِيِّ تَحْلُبُ ثَدْيُهَا تَسْقَى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَبِيِّ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا: لاَ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحُهُ. فَقَالَ: لَلهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

Datang para tawanan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami pun menjawab, “Tidak. Sementara dia kuasa untuk tidak melemparkan anaknya ke dalam api.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang terhadap hamba-Nya daripada wanita ini terhadap anaknya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5999)

Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang. Pun yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.

Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya. Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

قَبَّلَ رَسُولُ اللهِ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيْمِي جَالِسًا، فَقَالَ الْأَقْرَعُ: إِنَّ لِيْ عَشْرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا. فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium al-Hasan bin ‘Ali, sementara al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka al-Aqra’ berkata, “Aku memiliki sepuluh anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya, lalu bersabda, “Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318)

Para ulama menjelaskan bahwa ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini umum, mencakup kasih sayang terhadap anak-anak ataupun selain mereka. (Syarh Shahih Muslim, 15/77)

Begitu pula yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anha:

جَاءَ أَعْرَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ: تُقَبِّلُوْنَ الصِّبْيَانَ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ. فَقَالَ النَّبِيُّ: أَوَ أَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

Seorang Arab gunung datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengatakan, “Kalian biasa mencium anak-anak, sedangkan kami tidak biasa mencium mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sungguh aku tidak memiliki kuasa apa pun atasmu jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari kalbumu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5998 dan Muslim no. 2317)

Itulah penekanan beliau. Sementara, gambaran kasih sayang kepada anak yang lebih jelas dan lebih indah dari itu semua didapati dalam diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyambut putrinya, Fathimah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha. Peristiwa ini dilukiskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ: وَكَانَ النَّبْيُّ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ رَحَّبَتْ بِهِ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ. وَأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ فِيْ مَرَضِهِ الَّذِي قُبِضَ فِيْهِ، فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا، وَأَسَرَّ إِلَيْهَا، فَبَكَتْ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا، فَضَحِكَتْ، فَقُلْتُ لِلنِّسَاءِ: إِنْ كُنْتُ لَأَرَى أَنَّ لِهَذِهِ الْمَرْأَةِ فَضْلاً عَلَى النِّسَاءِ، فَإِذَا هِيَ مِنَ النِّسَاءِ، بَيْنَمَا هِيَ تَبْكِي إِذَا هِيَ تَضْحَكُ. فَسَأَلْتُهَا: مَا قَالَ لَكَ؟ قَالَتْ: إِنِّي إِذًا لَبَذِرَةٌ. فَلَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ فَقَالَتْ: أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ: إِنِّي مَيِّتٌ؛ فَبَكَيْتُ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ: إِنَّكِ أَوَّلَ أَهْلِي بِي لُحُوْقًا؛ فَسَرَرْتُ بِذَلِكَ؛ فَأَعْجَبَنِي

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bicara ataupun duduk daripada Fathimah.”

‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang[1] kepadanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Fathimah, maka Fathimah mengucapkan selamat datang kepada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit tangannya, lalu mencium beliau.

Suatu saat, Fathimah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menderita sakit menjelang wafat. Beliau pun mengucapkan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi kepadanya hingga Fathimah tertawa.

Maka aku berkata kepada para istri beliau, ‘Aku berpandangan bahwa wanita ini memiliki keutamaan dibandingkan seluruh wanita, dan memang dialah dari kalangan wanita. Dia tengah menangis, kemudian tiba-tiba tertawa.’ Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang beliau katakan kepadamu?’

Fathimah menjawab, ‘Kalau aku mengatakannya, berarti aku menyebarkan rahasia.’

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, Fathimah berkata, ‘Waktu itu beliau membisikkan kepadaku: Sesungguhnya aku hendak meninggal. Maka aku pun menangis. Kemudian beliau membisikkan lagi: Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang menyusulku di antara keluargaku. Maka hal itu menggembirakanku’.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no.725)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, seorang sahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah al-Qibthiyah radhiallahu ‘anha:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِيْنَةِ، فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ، فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ، وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ

“Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Anas berkata lagi, “Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di daerah ‘Awali Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali.” (Sahih, HR. Muslim no. 2316)

Kisah ini menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak kepada orang lain. Demikian dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah. (Syarh Shahih Muslim, 15/76)

Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang saleh dari kalangan sahabat radhiallahu ‘anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh sahabat yang paling mulia, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakr radhiallahu ‘anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sakit panas. Al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu yang menyertai Abu Bakr radhiallahu ‘anhu saat menemui putrinya mengatakan,

فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَاَل: كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ؟

“Kemudian aku masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas. Maka aku melihat ayah ‘Aisyah mencium pipinya dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3918)

Inilah kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia. Keberatan apalagikah yang menggayuti seseorang yang mengaku mengikuti beliau untuk mengungkapkan kasih sayang di hatinya dengan pelukan dan ciuman kepada anak-anaknya?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran


[1]  Dengan mengucapkan tarhib, yaitu ucapan marhaban.