Kedudukan Penguasa dalam Syariat

kedudukan penguasa dalam syariat

Ulil amri (pemimpin/penguasa) memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka menempati martabat yang luhur dan mulia. Syariat menganugerahi mereka kekuasaan dan tugas yang memiliki keluhuran. Selain tentunya terkait tanggung jawabnya yang demikian besar. Karenanya, mereka diberi gelar kedudukan dalam keimamahan yang menggantikan nubuat dalam menjaga agama dan politik dalam urusan dunia.

Sesungguhnya seseorang tidak akan mampu mengendalikan kekuasaan, kecuali dengan kekuatan dan keteguhan kepemimpinan. Jika syariat tidak memberikan padanya apa yang terkait tabiat amal, yaitu individu yang menghormati dan mengagungkannya, sungguh akan menjadi batu ujian bagi manusia.

Apalagi jika mereka tidak mampu mengendalikannya. Akibatnya akan timbul bencana dan kekacauan di masyarakat umum, lenyaplah berbagai kemaslahatan, timbulnya kerusakan dunia dan telantarnya kehidupan beragama.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait mulianya kedudukan penguasa, di antaranya:

1. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa yang diiringi dengan ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan luhurnya urusan dan besarnya kekuasaan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (an-Nisa: 59)

Ketaatan kepada penguasa diwajibkan terhadap semua hamba dengan batasan selama tidak memerintahkan bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jika penguasa itu memerintahkan kemaksiatan, tidak wajib untuk menaatinya. Sebab, tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq (Allah subhanahu wa ta’ala).

2. Syariat mengabarkan bahwa barang siapa memuliakan penguasa, Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakannya. Barang siapa menghinakan/merendahkan penguasa, Allah subhanahu wa ta’ala akan merendahkan/menghinakannya.

Maknanya, siapa saja yang lancang terhadap penguasa, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan (pernyataan), dia telah menghinakan penguasa. Dia telah melampaui hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala, melanggar larangan-larangan yang jelek.

Dia akan mendapatkan sanksi atas segala perbuatannya tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala akan membalas kehinaan dengan kehinaan. Bahkan, kehinaan yang Allah subhanahu wa ta’ala timpakan lebih besar dan lebih keras.

Pada sebagian lafaz dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

مَنْ أَجَلَّ سُلْطَانَ اللهِ أَجَلَّهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa memuliakan penguasa Allah, Allah akan memuliakannya pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, 2/492)

3. Sesungguhnya penguasa adalah zhillullah (naungan Allah) di muka bumi.

Hadits yang meriwayatkan tentang hal ini banyak dan diriwayatkan dari banyak perawi pula. Yang paling sahih adalah yang diriwayatkan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Lafaz hadits tersebut sebagaimana dalam kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim rahimahullah,

السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ، وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ

“Penguasa itu naungan Allah di muka bumi. Barang siapa memuliakannya, Allah pun memuliakannya. Barang siapa menghinakannya, Allah akan menghinakannya pula.”

Pernyataan ‘penguasa itu naungan Allah’ mengandung pengertian bahwa dengannya Allah subhanahu wa ta’ala akan melindungi manusia dari gangguan, sebagaimana naungan adalah pelindung dari gangguan terik matahari.

Penyandaran kepada Allah subhanahu wa ta’ala pada kata zhillullah (ظِلُّ اللهِ), atau pada sebagian lafaz dengan menyebutkan sulthanullah (سُلْطَانُ اللهِ), merupakan bentuk maklumat kepada manusia bahwasanya naungan tersebut tidaklah seperti seluruh naungan yang lain. Itu menunjukkan ketinggian dan kemuliaan naungan tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa naungan tersebut memiliki faedah dan manfaat yang besar.

Idhafah (penyandaran) kepada Allah subhanahu wa ta’ala sesungguhnya menunjukkan idhafah tasyrif (penyandaran pemuliaan). Hal ini sebagaimana pada kata baitullah (بَيْتُ اللهِ), ka’batullah (كَعْبَةُ اللهِ), atau yang lainnya. Ini mengandung isyarat akan ketinggian kedudukan penguasa dan kemuliaan keberadaannya.

4. Syariat melarang seseorang mencela penguasa dan mencegahnya terjatuh dalam perbuatan tersebut.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ قَالُوا: لَا تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَلَا تَغُشُّوهُمْ وَلَا تُبْغِضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ

“Kalangan tua dari para sahabat Rasulullah melarang kami (mencela penguasa). Mereka berkata, ‘Janganlah kalian mencela pemerintah kalian, janganlah melakukan tipu daya terhadapnya, jangan pula membencinya. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya (keputusan) urusan itu sangat dekat’.” (as-Sunnah, Ibnu Abi Ashim, 2/488)

Disebutkan juga oleh al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadir (6/499), Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan sultan (penguasa) sebagai penolong makhluk-Nya. Oleh karena itu, jagalah kedudukannya dari celaan dan hinaan. Jadikanlah penghormatan kepadanya sebagai sebab terbentangnya naungan Allah subhanahu wa ta’ala dan bersinambungannya pertolongan (Allah) terhadap makhluk-Nya.

Sungguh, kalangan salaf telah memperingatkan agar tidak mendoakan kejelekan terhadap penguasa. Sebab, bertambahnya kejelekan (penguasa) akan menambah bencana (bala) terhadap kaum muslimin.

5. Badrudin bin Jamaah telah menukil dari ath-Thurthusyi sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم بِبَعۡضٍ لَّفَسَدَتِ ٱلۡأَرۡضُ

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” (al-Baqarah: 251)

Maknanya, seandainya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menegakkan kedudukan penguasa di muka bumi, niscaya yang lemah akan ditindas yang kuat, yang dizalimi akan diadili oleh yang menzaliminya, dan sebagian manusia akan menguasai sebagian yang lain secara zalim.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahi hamba-hamba-Nya tegaknya penguasa atas mereka dengan firman-Nya,

وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ ذُو فَضۡلٍ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Akan tetapi, Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (al-Baqarah: 251)

6. Umat telah bersepakat, sesungguhnya manusia tidaklah akan bisa menegakkan urusan agama dan dunia mereka kecuali dengan adanya keimamahan (pemerintahan).

Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak (menegakkan) kepemimpinan (pemerintahan) niscaya agama akan telantar dan urusan dunia pun rusak.

Pengertian ini sebagaimana disebutkan oleh al-Faqih Abu Abdillah al-Qali asy-Syafi’i dalam kitab Tahdzibu ar-Riyasah (hlm. 94—95). Beliau rahimahullah menyebutkan bahwa mengatur urusan agama dan dunia yang dimaksud ini tidak akan bisa terlaksana kecuali dengan keberadaan imam (penguasa).

7. Sesungguhnya imamul a’zham adalah orang yang mendapat pahala yang paling utama jika dia bersikap adil.

Disebutkan oleh al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (1/104),

“Pahala imamul a’zham lebih utama daripada pahala seorang mufti dan hakim (qadhi). Sebab, kemaslahatan yang dihasilkannya dan kerusakan yang dicegahnya lebih menyeluruh. Keberadaan mereka akan memberikan kebaikan secara total dan mencegah setiap kerusakan yang menyeluruh.

Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ؛ إِمَامٌ عَادِلٌ

“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah ada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil ….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

8. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pemerintahan termasuk ketaatan yang paling utama.

Dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya pemerintahan termasuk kewajiban agama yang paling agung. (Majmu’ al-Fatawa, 28/390)

(Diringkas dari Mu’amalatul Hukkam fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hlm. 48—59)

 

Ditulis oleh Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin