Macam-Macam Riba

Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah lebih banyak adalah salah satu contoh riba yang sering kita lihat. Namun, ternyata tidak hanya ini. Masih ada sekian jenis riba yang terjadi dalam berbagai transaksi. Apa sajakah itu?

Untuk memperjelas pembahasan mengenai riba, kita perlu menyebutkan permasalahannya secara mendetail: macam-macam riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah riba.

Baca juga: Riba; Pengertian, Hukum, dan Barang yang Terkena Hukum Riba

Riba sendiri memiliki beberapa jenis:

  1. Riba Dain (Riba dalam Utang Piutang)

Jenis ini disebut juga dengan “riba jahiliah” karena begitu maraknya riba jenis ini di zaman jahiliah dahulu.

Riba ini ada dua bentuk:

a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (pembayaran utangnya atau pertambahan nominalnya berkaitan dengan mundurnya tempo).

Contoh: Si A berutang Rp1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo, si B berkata, “Bayar utangmu.” Si A menjawab, “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo satu bulan lagi dan utang saya menjadi Rp1.100.000.” Demikian seterusnya.

Sistem ini disebut dengan “riba mudha’afah” (melipatgandakan uang). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفًا مُّضَٰعَفَةً  

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda….” (Ali Imran: 130)

Baca juga: Adab Utang Piutang

b. Pinjaman dengan bunga yang sudah dipersyaratkan di awal akad.

Contoh: Si A hendak berutang kepada si B. Si B berkata di awal akad, “Saya akan meminjamkan untukmu Rp1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp1.100.000.”

Riba jahiliah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat jelas kerusakannya. Inilah riba sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional, yang dikenal oleh masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.

Riba dalam Pinjam-Meminjam

Salah satu bentuk riba yang masuk dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam-meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat ia harus mengembalikannya dengan jumlah yang lebih banyak atau dengan barang yang lebih berharga.

Contoh: Seseorang meminjamkan pena miliknya yang seharga Rp1.000, dengan syarat harus dikembalikan dalam bentuk pena yang harganya Rp5.000; atau ia meminjamkan uang Rp100.000 dan harus dikembalikan dengan uang sejumlah Rp110.000 saat jatuh tempo.

Ringkasnya, setiap transaksi pinjam-meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba. Hal ini berdasarkan argumentasi-argumentasi berikut:

  • Hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Setiap pinjaman yang mendatangkan keuntungan adalah riba.”

Hadits ini dha’if (lemah). Dalam sanadnya ada perawi bernama Sawwar bin Mush’ab, dia matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa’ul Ghalil (5/235—236, no. 1398).

Namun, para ulama telah bersepakat—sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr, dan para ulama lain—bahwa seluruh transaksi pinjam-meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan adanya sebuah keuntungan, penambahan kriteria (kualitas), atau penambahan nominal (kuantitas), ia termasuk riba.

  • Tindakan tersebut termasuk riba jahiliah yang telah dibahas sebelumnya, dan diharamkan oleh al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak para ulama.
  • Sebuah pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan, adalah hal yang sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari aktivitas pinjam-meminjam itu sendiri, yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan.

Pinjaman tersebut malah berubah menjadi jual-beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain dengan uang Rp10.000, tetapi dibayar dengan Rp11.000; hal ini sama saja dengan membeli Rp10.000 dengan harga Rp 11.000.

Baca juga: Hukum Menunda-nunda Membayar Utang

Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini (semua pinjaman yang mendatangkan keuntungan adalah riba), di antaranya:

  • Seseorang berutang Rp10 juta kepada koperasi dengan bunga 0% (tanpa bunga), dengan tempo setahun. Namun, pihak koperasi mengatakan, “Jika telah jatuh tempo, tetapi utang belum terlunasi, setiap bulannya akan dikenai denda (bunga) 5%.”

Akad ini termasuk riba jahiliah, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Faktanya, cukup banyak koperasi atau lembaga yang menerapkan praktik semacam ini.

  • Meminjami seseorang sejumlah uang (tanpa bunga) untuk modal usaha, dengan syarat pihak yang meminjami akan mendapatkan persentase dari laba usaha, dan utang tetap harus dikembalikan secara utuh.
  • Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha, dengan syarat setiap bulannya dia (pemberi utang) akan mendapatkan—misalnya—Rp1 juta, baik usahanya (pengutang) untung maupun rugi. Sistem ini banyak dijumpai pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah. Mereka menyebutnya dengan istilah “mudharabah” (bagi hasil).

Gambaran mudharabah yang syar’i adalah: Seseorang memberikan Rp10 juta untuk modal usaha, dengan ketentuan pemodal akan mendapatkan 50%, 40%, atau 30% (sesuai dengan kesepakatan) dari laba hasil usaha. Apabila usaha tersebut menghasilkan laba, dia juga akan mendapatkannya. Akan tetapi, jika ternyata usaha tersebut rugi, kerugian itu akan ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.

Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakikatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.

Baca juga: Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah
  • Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan

Contoh: Si A meminjam uang Rp10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya seluas 0,5 ha. Kemudian pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan utangnya. Tindakan ini sejatinya termasuk riba.

Baca juga: Beberapa Persoalan Seputar Gadai

Akan tetapi, dikecualikan pada dua hal:

  • Apabila barang yang digadaikan itu perlu biaya pemeliharaan, barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti dari biaya pemeliharaan.

Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi, sedangkan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk memelihara sapi tersebut. Dalam masalah ini, pihak pegadaian boleh memerah susu sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan.

Dalilnya adalah hadits riwayat al-Bukhari, dalam Shahih-nya, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا

“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai boleh diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”

Baca juga: Hukum-Hukum Barang Gadaian Selama dalam Status Digadaikan
  • Tanah sawah yang digadaikan akan rusak jika tidak ditanami.

Dalam keadaan ini, pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah, sesuai dengan kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat, tanpa adanya rasa sungkan.

Misalnya, yang biasa berlaku adalah 50%. Apabila sawah yang ditanami pihak pegadaian tersebut menghasilkan panen, pemilik tanah akan mendapatkan 50%. Namun, jika si pemilik tanah merasa tidak enak karena telah diutangi tetapi hanya mengambil 25%, hal ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bis-shawab.

  1. Riba Fadhl

Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara (barang) yang secara syariat diwajibkan adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran).

Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan istilah “riba khafi” (samar). Sebab, riba ini merupakan pintu menuju riba nasi’ah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum riba fadhl. Pendapat yang rajih (kuat) dan tidak diragukan lagi adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahwa riba fadhl hukumnya haram. Hal ini berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya ialah hadits Utsman bin Affan radhiallahu anhu,

لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّينَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ

“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula menjual satu dirham dengan dua dirham.” (HR. Muslim)

dan hadits-hadits lain yang semakna dengan itu, seperti hadits Abu Sa’id radhiallahu anhu (muttafaqun alaih), hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu anhu (riwayat Muslim), dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan selainnya; yang menjelaskan keharaman riba fadhl.

Semua hadits di atas disebutkan dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) atau salah satunya.

Baca juga: Sikap-Sikap Baik dalam Bermuamalah

Adapun dalil yang dipakai oleh pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid radhiallahu anhu,

إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ

“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi’ah (tempo).”

Mengenai hadits ini, para ulama memberikan beberapa jawaban, di antaranya:

  • Makna hadits ini adalah tidak ada satu riba pun yang hukuman dan larangannya lebih keras daripada riba nasi’ah. Dengan demikian, yang ditiadakan dalam hadits ini adalah jenis riba lain yang hukuman dan larangannya tidak melebihi riba nasi’ah, bukan wujud riba itu sendiri.
  • Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: apabila jenisnya (penggolongan barang-barang riba) berbeda, tafadhul (selisih timbangan) diperbolehkan, adapun nasi’ah tetap diharamkan.

Ini adalah jawaban Imam asy-Syafi’i, yang disebutkan pula oleh Imam al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dinilai rajih (kuat) oleh Imam ath-Thabari, Imam al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.

Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang lahirnya tampak bertentangan. Wallahul muwaffiq.

  1. Riba Nasi’ah (Tempo)

Riba jenis ini ialah adanya tempo pada barang-barang yang secara syariat diharuskan adanya taqabudh (serah-terima di tempat).

Ibnul Qayyim menyebutnya dengan istilah “riba jali” (jelas). Para ulama telah bersepakat tentang keharaman riba jenis ini, berdasarkan hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak pula di antara mereka yang menyebutkan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.

Riba fadhl dan riba nasi’ah diistilahkan oleh para fukaha dengan “riba bai’” (riba jual-beli).

Baca juga: Adab Jual Beli

Kaidah Seputar Dua Jenis Riba

  1. Perkara yang secara syar’i diharuskan adanya tamatsul, maka tidak boleh terdapat unsur tafadhul padanya. Sebab, ia bisa jadi akan terjatuh pada riba fadhl.

Contoh: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan harga 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.

  1. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul, maka diharamkan adanya nasi’ah (tempo) karena ia bisa menjerumuskan seseorang pada riba nasi’ah dan fadhl, jika barangnya satu jenis.

Contoh: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi’ah.

  1. Apabila barangnya dari jenis yang berbeda, ketika itu yang disyaratkan hanyalah taqabudh (serah-terima di tempat). Boleh tafadhul, tetapi tidak boleh nasi’ah.

Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi semacam ini boleh diberlakukan padanya tafadhul, tetapi tidak boleh nasi’ah.

Ringkasan

  1. Ketika seseorang membeli emas dengan emas secara tafadhul, berarti terjadi padanya riba fadhl.
  2. Seseorang membeli emas dengan emas secara tamatsul, tetapi dengan nasi’ah (tempo); maka terjadilah riba nasi’ah.
  3. Seseorang membeli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi’ah, maka terjadilah dua jenis riba, yaitu fadhl dan nasi’ah.

Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenisnya, maka hanya terjadi riba nasi’ah. Sebab, pada hal itu (barang yang berbeda jenis) tidak disyaratkan adanya tamatsul, hanya taqabudh yang disyariatkan. Wallahu a’lam.

Baca juga: Investasi Emas Sistem Online

Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu mengelompokkan barang-barang riba, yaitu emas, perak (termasuk mata uang), kurma, burr, sya’ir, dan garam menjadi dua bagian:

Bagian pertama: emas dan perak (termasuk mata uang).

Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.

Keterangan

  1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis: jenis emas sendiri, jenis perak sendiri, jenis mata uang, jenis kurma, dan seterusnya.

Kaidahnya, apabila terjadi transaksi jual-beli barang sejenis (seperti emas dengan emas, kurma dengan kurma, dst.) diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.

  1. Terjadinya transaksi jual-beli yang berbeda jenis, pada bagian pertama atau bagian kedua, yang disyaratkan hanyalah taqabudh, dan boleh terjadi tafadhul.

Misalnya, jual-beli emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, dan perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.

Untuk bagian kedua, seperti jual-beli kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, dan kurma dengan garam atau sebaliknya.

Dalil untuk dua keterangan ini adalah hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam; harus setara (tamatsul) dan kontan (taqabudh). Namun, apabila jenisnya berbeda, kalian boleh menjualnya sekehendak kalian (dengan syarat) jika tangan dengan tangan (kontan).” (HR. Muslim no. 1587)

Baca juga: Hukum Tukar-Menukar Mata Uang
  1. Jual-beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, maka diperbolehkan adanya tafadhul dan nasi’ah (tempo).

Misalnya, ketika seseorang membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr al-Maqdisi, Imam an-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem “salam”, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu, dan diserahkan pada tempo tertentu.

Kita telah mengetahui pula bahwa alat pembayaran di masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma, sya’ir, atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).

Di antara dalilnya juga adalah hadits Aisyah radhiallahu anha,

إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٌّ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju besinya kepadanya.” (Muttafaqun alaih)

Baca juga: Dari Gadai Kita Belajar Akhlak Nabi

Makanan yang dibeli Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits ini adalah sya’ir (ia termasuk barang yang terkena hukum riba), sebagaimana yang disebutkan pada lafaz selain riwayat di atas; dalam keadaan beliau saat itu tidak memiliki uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang (sya’ir) itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Muhammad Afifuddin