Makna ulama

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Di negeri muslim terbesar di dunia ini, kata ulama banyak diinterpretasikan sebagai sosok tua yang memiliki banyak pengikut, memiliki “kelebihan” tertentu, dan bila menjelang pemilu ia banyak di-sowani tokoh-tokoh politik untuk minta restu dan dukungan. Bila datang ke suatu tempat, berbondong-bondong orang datang untuk melihatnya, mencium tangannya, dan minta “berkah” darinya. Apa yang dikatakan selalu diikuti tanpa sedikitpun ada pertanyaan apalagi bantahan.

Bagi sebagian muslimin lainnya, yaitu dari kalangan yang merasa dirinya terpelajar, kemunculan orang-orang yang mengusung dakwah Islamiyah dengan metode yang sedikit lebih ‘ilmiah’ dan retorika menawan –terlebih bila banyak diselipi lelucon–, akan dengan mudah diterima oleh mereka. Sang da’i pun langsung ditahbiskan sebagai ulama.

Kritikan yang muncul kepada tokoh ini akan ditanggapi oleh pengikutnya sebagai sikap mau menang sendiri dan iri hati terhadap keberhasilan tokoh tersebut. Meski di belakang hari diketahui sang “ulama” tersebut telah meniti karir baru sebagai seorang politikus, bahkan ada yang terang-terangan menyatakan dirinya ingin menjadi presiden.

Ulama, dalam sebuah ayat diterangkan, mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mengapa? Karena mereka adalah orang yang paling paham tentang Allah subhanahu wa ta’ala, paling paham tentang kebesaran kekuasaan-Nya, tentang al-jannah (surga), dan an-naar (neraka), tentang balasan yang akan diterima dari tiap amal seseorang, dan hal-hal lain yang tidak dipahami oleh kebanyakan manusia. Lantas, apa jadinya umat ini bila memiliki ulama seorang politikus atau seorang yang berambisi menjadi presiden?

Inilah realita yang banyak muncul di sekeliling kita. Ketidaktahuan umat akan makna ulama yang benar banyak menggiring manusia ke jalan kesesatan. Akibatnya, banyak perilaku umat yang sebenarnya telah keluar dari koridor syariat dianggap sebagai sebuah amal ibadah, bahkan dianggap sebagai jihad. Sebabnya karena mereka mengikuti orang yang tidak pantas untuk diikuti, namun oleh mereka dianggap sebagai ulama.

Pembaca, inilah kajian utama majalah kita edisi ini, yaitu pembahasan seputar ulama menurut pandangan Ahlus Sunnah. Apa ciri-ciri ulama yang hakiki itu? Tentunya dari pembahasan ini nantinya tidak ada lagi pembaca yang dengan mudah memberi gelar ulama kepada seseorang hanya semata disebabkan aktivitas dakwah yang dilakukannya.

Berikutnya ingin kami sampaikan kepada segenap pembaca sebuah berita yang sebenarnya kami pun merasa berat untuk menyampaikan. Berkaitan dengan rencana pemerintah yang dalam waktu dekat akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), berimbas pada kenaikan harga barang-barang lain, termasuk juga harga kertas.

Kami telah mendapat kabar dari pihak percetakan bahwa mereka telah menetapkan kepastian kenaikan harga cetak majalah. Kemungkinan kenaikan tersebut mulai berlaku awal tahun 2005. Selain kenaikan biaya cetak, kami juga harus menghadapi kenaikan-kenaikan di bidang lain, di antaranya adalah biaya pengiriman majalah. Karenanya, mau tidak mau kami pun berencana menaikkan harga Asy Syariah menjadi Rp 6.000,00 (Jawa) dan Rp 7.000,00 (luar Jawa). Kami harap pembaca memakluminya.

Kami beritahukan pula, untuk edisi kali ini kami terpaksa menghilangkan halaman berwarna agar biaya cetak bisa sedikit berkurang, sehingga sisa biaya yang ada bisa untuk mengantisipasi harga-harga di bidang lain yang sudah mulai naik. Insya Allah setelah harga Asy Syariah benar-benar naik, halaman berwarna akan kembali kami munculkan.

Harapan kami, kenaikan harga itu tidak semata untuk menyesuaikan dengan tuntutan biaya produksi semata. Namun kami ingin kenaikan harga itu juga diiringi dengan makin bagusnya pelayanan kami kepada pembaca, sehingga kenaikan harga itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang memberatkan. Mudah-mudahan demikian. Wallahu a’lam.

والسلام عليكم و رحمة الله و بركاته