Masyarakat Madinah

Kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah menimbulkan ketidaksenangan kalangan Yahudi yang tinggal di negeri tersebut. Masuk Islamnya tokoh mereka Abdullah bin Salam dan turunnya syariat tentang perpindahan kiblat adalah sebagian persoalan yang memicu gesekan dengan kaum muslimin. Puncaknya, beberapa kabilah besar mereka seperti bani Nadhir, bani Qainuqa’, dan bani Quraizhah menyatakan perang dengan umat Islam setelah sebelumnya mengkhianati perjanjian damai yang telah dibuat.

 

Setibanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, Abdullah bin Salam datang menemui beliau dan bertanya kepada beliau. al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,

قَالَ بَلَغَ عَبْدَاللهِ بْنَ سَلامٍ مَقْدَمُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنِّي سَائِلُكَ عَنْ ثَلاثٍ لا يَعْلَمُهُنَّ إِلا نَبِيٌّ قَالَ مَا أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ وَمَا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ وَمِنْ أَيِّ شَيْءٍ يَنْزِعُ الْوَلَدُ إِلَى أَبِيهِ وَمِنْ أَيِّ شَيْءٍ يَنْزِعُ إِلَى أَخْوَالِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَّرَنِي بِهِنَّ آنِفًا جِبْرِيلُ قَالَ فَقَالَ عَبْدُاللهِ ذَاكَ عَدُوُّ الْيَهُودِ مِنَ الْمَلائِكَةِ

فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلَى الْمَغْرِبِ وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبِدِ حُوتٍ وَأَمَّا الشَّبَهُ فِي الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشِيَ الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشَّبَهُ لَهُ وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشَّبَهُ لَهَا قَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللهِ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الْيَهُودَ قَوْمٌ بُهُتٌ إِنْ عَلِمُوا بِإِسْلامِي قَبْلَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ بَهَتُونِي عِنْدَكَ

فَجَاءَتِ الْيَهُودُ وَدَخَلَ عَبْدُاللهِ الْبَيْتَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ رَجُلٍ فِيكُمْ عَبْدُاللهِ بْنُ سَلامٍ قَالُوا أَعْلَمُنَا وَابْنُ أَعْلَمِنَا وَأَخْيرُنَا وَابْنُ أَخْيَرِنَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَرَأَيْتُمْ إِنْ أَسْلَمَ عَبْدُاللهِ قَالُوا أَعَاذَهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ فَخَرَجَ عَبْدُاللهِ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فَقَالُوا شَرُّنَا وَابْنُ شَرِّنَا وَوَقَعُوا فِيهِ

“Sampai kepada Abdullah bin Salam berita tentang kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Iapun menemui beliau dan berkata, ‘Saya bertanya kepada Anda tiga hal yang tidak diketahui siapa pun kecuali oleh seorang nabi. (Pertama): Apa tanda kiamat yang pertama; (kedua) apa yang dimakan pertama kali oleh penduduk jannah (surga); (terakhir), bagaimana terjadinya kemiripan anak dengan ayahnya atau dengan akhwal (paman dari pihak ibu)-nya.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Baru saja Jibril menerangkan kepada saya.’

Abdullah menukas, ‘Jibril itu musuh orang-orang Yahudi dari kalangan malaikat.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan, ‘Adapun tanda kiamat yang pertama adalah munculnya api yang menggiring manusia dari timur ke barat. Yang pertama kali dimakan penduduk jannah adalah ziyadah kabid hut[1]. Adapun kemiripan itu terjadi jika mani seorang laki-laki lebih dahulu naik daripada mani wanita, maka terjadi kemiripan dengan ayahnya. Jika mani wanita lebih dahulu, akan terjadi kemiripan dengan akhwalnya.[2]

Abdullah bin Salam berkata, ‘Saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah. Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi adalah pendusta besar. Jika mereka mengetahui keislamanku sebelum Anda tanyakan kepada mereka, tentu mereka mendustakanku di sisimu.’

Beliau memanggil orang Yahudi, dan mereka pun datang. Sementara Abdullah masuk bersembunyi di dalam salah satu rumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kedudukan Abdullah bin Salam di tengah-tengah kalian?’

Kata mereka, ‘Ia orang yang paling alim di antara kami, putra orang alim kami. Dia orang terbaik di kalangan kami dan putra orang terbaik kami.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian jika Abdullah masuk Islam?’

Kata mereka, ‘Semoga Allah melindunginya dari hal itu.’

Lalu keluarlah Abdullah menemui mereka dan berkata, ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah.’

Serta-merta mereka berkata, ‘Dia adalah orang paling jahat di antara kami, putra penjahat kami’.”

Ibnu Hajar mengatakan (al-Fath, 7/344): Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai dengan (ketiga kabilah) Yahudi ketika tiba di Madinah, dalam keadaan mereka menolak untuk mengikuti beliau. Beliau pun membuat kesepakatan di antara mereka. Namun di kemudian hari, ketiga kabilah itu satu per satu melanggar perjanjian itu. Mereka diperangi. Bani Qainuqa’ masih diberi kesempatan tinggal di Madinah, bani Nadhir diusir keluar Madinah, dan bani Quraizhah ditumpas, harta mereka dijadikan ghanimah, anak istri mereka dijadikan budak dan tawanan. (Tentang mereka Insya Allah akan dikisahkan pada edisi selanjutnya –pen)

 

Kembali Menghadap Baitul Haram (Ka’bah)

kabah

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari al-Barra bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu,

قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللهُ ) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ( فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ وَهُمُ الْيَهُودُ )مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ( فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الأَنْصَارِ فِي صَلاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الْكَعْبَةِ

“Pada mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha di Palestina) selama enam atau tujuh belas bulan. Beliau sangat suka jika diperintah menghadap ke arah Ka’bah sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ

(Sungguh kami sering melihat mukamu menengadah ke langit).[3]

Kemudian beliau pun berbalik menghadap Ka’bah. Lalu berkomentarlah orang-orang yang lemah akalnya di antara manusia, yakni orang-orang Yahudi, seperti disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ للهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

‘Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?’ Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki- Nya ke jalan yang lurus’).[4]

Ada seorang sahabat yang shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai, pulanglah ia dari masjid dan melewati sekelompok muslimin dari kalangan Anshar yang sedang melakukan shalat ‘Ashar menghadap Baitul Maqdis. Kemudian dia mengatakan bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau telah menghadap ke arah Ka’bah. Serentak, orang-orang tersebut berpaling menghadap ke arah Ka’bah.”

masjid-al-qiblatain

Permasalahan ini kemudian memicu perdebatan di kalangan orang-orang yang lemah akalnya. Ini seperti yang diterangkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ

“Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.” (al-Baqarah: 143)

Dalam perubahan arah kiblat yang tadinya menghadap Baitul Maqdis kemudian bergeser ke arah Ka’bah ini, terkandung hikmah yang sangat besar. Sekaligus juga merupakan ujian bagi kaum muslimin, orang-orang musyrik, Yahudi, dan orang-orang munafik.

Adapun kaum muslimin, mereka akan mengatakan (terhadap semua yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala), seperti yang diterangkan Allah subhanahu wa ta’ala,

ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ

“Kami beriman dengannya, semua itu adalah dari sisi Rabb kami.” (Ali ‘Imran: 7)

Merekalah yang diberi petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang berat bagi mereka.

Adapun orang-orang musyrik, mereka akan berkata, “Sebagaimana dia telah kembali kepada kiblat kita, boleh jadi nanti dia juga akan kembali kepada agama kita. Dan sesuatu yang dia kembali kepadanya tentulah suatu kebenaran.”

Orang-orang Yahudi mengatakan, “Dia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah menyelisihi kiblat para nabi sebelumnya. Kalau dia memang seorang nabi, tentulah dia shalat menghadap ke arah kiblat para nabi.”

Orang-orang munafik berkata, “Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak tahu ke mana dia harus menghadap. Jika yang pertama itu yang benar, berarti dia telah meninggalkannya. Dan seandainya yang kedua yang benar, berarti selama ini dia di atas kebatilan.”

Ketika permasalahan kiblat ini menjadi persoalan yang besar, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan sebelumnya masalah nasikh mansukh dan kodrat-Nya terhadap hal tersebut. Dikatakan oleh para ulama bahwa perpindahan kiblat ini merupakan masalah nasikh mansukh pertama dalam Islam.

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, berkaitan dengan perpindahan kiblat ini, dalam tafsirnya (hlm. 70) menerangkan, “Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan akan munculnya ejekan dari orang-orang yang kurang akalnya, mereka yang tidak mengerti kemaslahatan diri mereka sendiri, bahkan menelantarkan dan menjualnya dengan harga jual yang sangat rendah. Yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam menentang hukum-hukum dan syariat Allah subhanahu wa ta’ala….

Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan, sudah tentu orang-orang yang kurang akalnya ini akan mempertanyakan,

مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا

“Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”

Yakni, apa yang menyebabkan mereka berpindah dari Baitul Maqdis?

Sikap seperti ini merupakan sikap tidak setuju (protes) terhadap ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala, syariat, karunia dan kebaikan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala menghibur Rasul-Nya dan kaum mukminin. Dia menjelaskan bahwa hal itu pasti terjadi dan munculnya justru datang dari orang-orang yang kurang akalnya sehingga janganlah memedulikan mereka.

Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala tidak membiarkan syubhat (berupa pertanyaan-pertanyaan) yang muncul sehubungan dengan perpindahan tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menguraikan dan membantah syubhat tersebut dengan menyatakan,

          قُل لِّلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ١٤٢

“Katakanlah (Ya Muhammad, sebagai jawaban atas komentar mereka). Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (al-Baqarah: 142)

Artinya, jika timur dan barat itu jelas-jelas milik Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada satu arah pun yang keluar dari kekuasaan dan kepemilikan Allah subhanahu wa ta’ala. Di samping itu, Dia pula yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Dari-Nya pula, hidayah untuk menghadap kiblat yang merupakan peninggalan dari ajaran bapak kalian Ibrahim ‘alaihissalam.

Atas dasar apa orang-orang yang kurang akalnya itu mencemooh kalian ketika kalian berpindah menghadap kiblat yang jelas-jelas berada di bawah kekuasaan dan kepemilikan Allah subhanahu wa ta’ala?

Hal ini seharusnya mendorong terwujudnya sikap tunduk menerima perintah Allah subhanahu wa ta’ala meski hanya dengan berita atau dalil ini saja….

Artinya, karena semua ini adalah hidayah dan kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada kalian, maka mereka yang memprotes atau mencemooh kalian itu berarti menentang turunnya karunia dan kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada kalian karena dengki dan dendam terhadap kalian.”

Semua ini ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah untuk menyempurnakan nikmat-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin.

Wallahu a’lam.

(Bersambung)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits


[1] Yakni potongan yang menempel di hati, dikatakan sebagai makanan paling lezat. (Fathul Bari, 7/341)

[2] Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menerangkan, ada enam hal tentang masalah ini:

  1. Jika mani laki-laki lebih banyak dan lebih dahulu, anak itu laki-laki dan mirip dengan ayahnya.
  2. Sebaliknya,
  3. Jika mani perempuan lebih banyak tetapi mani pria lebih dahulu, anak laki-lakinya mirip dengan ibunya.
  4. Sebaliknya,
  5. Jika mani laki-laki sama banyak dengan mani wanita tetapi lebih dahulu, anaknya laki-laki.
  6. Wallahu a’lam. (Fathul Bari 7/342)

[3] Al-Baqarah: 144

[4] Al-Baqarah: 142