Membantah Hujah Praktik Mut’ah

عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ: مَهْلًا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ, نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersikap lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pun menegur, “Hati-hati, wahai Ibnu Abbas! Sebab, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian juga, beliau melarang untuk mengonsumsi keledai peliharaan.”

 

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu Membolehkan Mut’ah?

Awalnya, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma memang memperbolehkan nikah mut’ah (HR. al-Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1407). Namun, beliau diingkari oleh para sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin az- Zubair, dan tentu saja Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana halnya riwayat di atas. Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa pendapat Ibnu Abbas itu pun hanya dalam keadaan darurat, sebagaimana halnya hukum darah, bangkai, dan daging babi. Hanya saja, sebagian orang bermudah-mudah dengan fatwa tersebut. Akhirnya, Ibnu Abbas pun rujuk dan mencabut fatwa tersebut.

Abu ‘Awanah (al-Mustakhraj, no. 4057) meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah, beliau berkata, “Sebelum meninggal dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa tersebut.” Lalu, apakah termasuk sikap adil, menisbatkan satu pendapat kepada seseorang, sementara ia sendiri telah rujuk dan mencabut pendapat tersebut?

 

Satu dari Dosa Syiah

Na’udzu billah minal hawa wal bida’! Benar-benar sebuah kejahatan dan kekejian besar! Agama diperalat sebagai alat pembenaran untuk melakukan sebuah dosa nista. Dengan iming-iming praktik mut’ah, sudah sekian banyak kaum  muda menjadi korban paham Syiah yang menyesatkan. Setumpuk hadits palsu tentang pahala dan derajat tinggi bagi pelaku mut’ah tanpa malu dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala disodorkan kepada kaum muda. Kejahilan akan hakikat Islam semakin memperparah kondisi mereka. Akhirnya? “Saya benar-benar menyesal! Lebih baik mati daripada hidup seperti ini. Saya menyangka praktik mut’ah adalah bagian dari syariat Islam. Ternyata, dusta kaum Syiah belaka!” sesal seorang pemuda.

Mut’ah sendiri artinya bentuk akad dengan seorang wanita untuk berhubungan suami istri, baik dalam jangka waktu tertentu maupun tidak, asalkan tidak lebih dari empat puluh lima hari, tanpa ada keharusan menafkahi, tidak menyebabkan saling mewarisi, tidak mengharuskan nasab, dan tanpa masa iddah. Bahkan, kalangan Syiah tidak mensyaratkan adanya wali dan saksi.

 

Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh al- Imam al-Bukhari (no. 1407), al-Imam Muslim (no. 4216), Ahmad (1/79), an-Nasa’i (6/125), at-Tirmidzi (no. 1121), dan Ibnu Majah (1961), lafadz hadits di atas adalah lafadz al-Imam Muslim rahimahumullah. Hadits di atas diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang dihormati, dimuliakan, dan dijunjung tinggi oleh seluruh kaum muslimin, termasuk oleh kaum Syiah. Bahkan, menurut Syiah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap sebagai junjungan tertinggi mereka. Lantas mengapa mereka tidak meneladani Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang menegaskan bahwa praktik mut’ah telah diharamkan sampai hari kiamat?

Kemudian, siapakah perawi yang menyambung mata rantai sanad hadits di atas? Tidak lain putra kandung Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sendiri yang bernama Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, yang lebih dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiyyah. Siapakah perawi yang berikutnya? Dua orang perawi. Kedua-duanya adalah putra kandung Muhammad bin al- Hanafiyyah, cucu Ali bin Abi Thalib. Pertama, Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib; yang kedua adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Bagi kaum Syiah yang mengaku cinta kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, buktikan kecintaan itu dengan meneladani beliau dan anak cucu beliau g yang telah melarang praktik mut’ah!

 

Hadits-Hadits tentang Mut’ah

Riwayat dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang praktik mut’ah memang berbeda-beda. Ada sebagian riwayat menunjukkan tentang haramnya praktik mut’ah, namun ada juga riwayat yang secara jelas menerangkan bolehnya praktik mut’ah. Di sini salah satu letak keanehan kaum Syiah! Mereka berargumen dengan hadits-hadits yang membolehkan praktik mut’ah, padahal mereka sendiri mencela dan menolak kitab-kitab hadits yang meriwayatkan tentang bolehnya praktik mut’ah. Bagi mereka dan yang sependapat, hanya hadits-hadits yang membolehkan praktik mut’ah saja yang diterima. Sementara itu, seorang muslim yang berusaha memahami hadits dengan bimbingan ulama, dengan mudahnya memahami riwayat-riwayat tersebut.

Jika riwayat-riwayat tersebut direkonstruksi dengan sejarah, kesimpulan akhirnya akan sejalan dengan keterangan al-Imam an Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. Beliau mengatakan, “Pendapat yang benar dan dipilih, pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah masing-masing terjadi sebanyak dua kali. Sebelum peristiwa Khaibar dihalalkan, kemudian pada saat perang Khaibar diharamkan. Lalu ketika terjadi Fathu Makkah—termasuk Perang Authas karena bersambung—, nikah mut’ah diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga hari kemudian, nikah mut’ah diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat.” Sahabat Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ  دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا

“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.” (HR. Muslim no. 1406)

Pada saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي ا سْالِْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

“Wahai manusia, sesungguhnya dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah atas kaum wanita. Sesungguhnya Allah telah Subhanahu wata’ala mengharamkan mut’ah sampai hari kiamat. Barang siapa masih terikat mut’ah dengan wanita, tinggalkanlah dia dan janganlah kalian mengambil kembali barang yang telah diberikan.”

 

Ijma’ Ulama

Selain itu, seluruh ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haramnya praktik mut’ah. Jadi, siapa pun yang berpendirian bolehnya praktik mut’ah, sama artinya dengan menyelisihi ijma’ kaum muslimin. Ibnu Hubairah rahimahullah menegaskan, “Alim ulama telah berijma’ bahwa nikah mut’ah hukumnya batil. Tidak ada sedikit pun perselisihan di antara mereka.” Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Seluruh riwayat bersepakat bahwa masa diperbolehkannya nikah mut’ah tidaklah terlalu lama. Kemudian, setelah itu nikah mut’ah diharamkan. Berikutnya, ulama salaf dan khalaf telah berijma’ tentang diharamkannya nikah mut’ah, kecuali kaum Rafidhah yang tidak perlu dianggap.” (Taudhihul Ahkam, karya Alu Bassam 5/294)

Selain beliau berdua, masih banyak lagi ulama yang menyatakan bahwa praktik mut’ah diharamkan secara ijma’, antara lain al-Jashash rahimahullah (Tafsir 2/153), Ibnul Mundzir rahimahullah (Majmu’ Syarhil Muhadzab, 16/254), Ibnu Abdil Barr rahimahullah (al-Istidzkar, 16/294), al-Maziri rahimahullah (al-Mu’lim, 2/131), al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah (Syarah Muslim 9/181), dan al-Hamadzani rahimahullah (al- I’tibar, hlm. 177).

 

Apakah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang Melarang Mut’ah?

Sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (no. 1405).

Beliau mengatakan,

فَعَلْنَاهُمَا مَعَ رَسُولِ اللهِ, ثُمَّ نَهَانَا عَنْهُمَا  عُمَرُ فَلَمْ نَعُدْ لَهُمَا

“Kami melakukan keduanya (mut’ah dan haji tamattu’) di masa Rasulullah. Kemudian Umar melarang kami untuk melakukannya. Sejak itu, kami tidak mengulanginya lagi.”

Kaum Syiah bersandar kepada riwayat Jabir di atas untuk mempertahankan praktik mut’ah. Alasan mereka, bukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang, melainkan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Lihatlah bagaimana mereka memaksakan pendapat! Padahal ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai Amirul Mukminin (Ibnu Majah, 1963), beliau menyampaikan khutbah, “Sesungguhnya, dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang mengizinkan kita selama tiga hari untuk melakukan mut’ah, tetapi setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkannya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahui ada seseorang yang melakukan mut’ah dalam keadaan dia muhshan kecuali pasti akan aku rajam dia dengan batu.

Kecuali jika dia mampu mendatangkan empat saksi yang memberikan kesaksian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghalalkannya setelah diharamkan.” Ath-Thahawi rahimahullah (Ma’anis Sunan, 2/258) mengatakan, “Inilah Umar yang telah melarang mut’ah untuk kaum wanita di hadapan para sahabat yang lain  dan beliau tidak diingkari. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sepakat dengan beliau untuk melarang mut’ah. Kesepakatan mereka ini—untuk melarang mut’ah—adalah dalil bahwa hukum diperbolehkannya mut’ah telah dihapus, sekaligus sebagai hujah.” Sebagian Ulama Membolehkan?

Di dalam beberapa referensi, memang disebutkan beberapa nama sahabat dan tabi’in yang memperbolehkan praktik mut’ah. Sebut saja Abdullah bin Mas’ud, Mu’awiyah, Abu Sa’id, Salamah dari kalangan sahabat, Amr bin Huraits, Thawus, dan Sa’id bin Jubair rahimahumullah dari kalangan tabi’in. Hanya saja, semua riwayat dari mereka tidak terlepas dari dua kemungkinan:

1. Mereka telah rujuk dan mencabut pendapat tersebut, atau

2. Diriwayatkan melalui sanad yang lemah. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membahas riwayat-riwayat tersebut secara rinci dalam kitab beliau Fathul Bari (10/216—218) dengan keterangan yang memuaskan. Walhamdulillah.

 

Ayat Mut’ah dalam Al-Qur’an?

Syiah masih juga memperjuangkan praktik mut’ah dengan menukil firman Allah Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nisa’ ayat 24,

فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ

“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mut’ahnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.”

Mayoritas ahli tafsir menerangkan bahwa ayat di atas berkenaan dengan akad nikah yang biasa dikenal, bukan praktik mut’ah. Maksudnya, jika salah seorang di antara kalian menikahi seorang wanita, hendaknya ia menyerahkan mahar untuknya. Memang ada beberapa ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini terkait dengan praktik mut’ah. Akan tetapi, mereka sendiri menegaskan bahwa hukum mut’ah telah mansukh (gugur) dengan hadits-hadits yang sahih. Wallahu a’lam.

Selain ayat di atas, kalangan Syiah juga menyebutkan beberapa ayat al- Qur’an yang diklaim sebagai landasan dari praktik mut’ah. Ayat-ayat tersebut antara lain; al-Baqarah: 236, al- Baqarah: 241, al-Ahzab: 28, dan al-Ahzab: 49.

Cukuplah sebagai jawaban untuk mereka, pernyataan tegas az-Zujjaj (Syarah an-Nasa’i karya al-Atyubi 28/), “Sesungguhnya, sebagian kalangan telah terjatuh dalam kesalahan fatal berkenaan ayat ini karena kebodohan mereka terhadap lughah (bahasa Arab).”

 

Seorang Pemuda dan Rasulullah

Sebagai bukti lain kejahatan kaum Syiah dalam praktik mut’ah, mereka sendiri—terutama kalangan tokoh dan pimpinan Syiah—akan merasa keberatan jika praktik mut’ah itu dilakukan terhadap keluarga mereka, baik ibu, istri, putri, saudara perempuan, maupun bibi mereka. Semakin jelaslah bahwa praktik mut’ah adalah praktik zina yang dilakukan atas nama agama. Na’udzu billah min dzalik. Simaklah hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, yang dikeluarkan oleh al- Imam Ahmad rahimahullah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani. Seorang pemuda datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta izin agar diperbolehkan melakukan perbuatan zina.

Dengan penuh kasih sayang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan cara berpikir pemuda tersebut. Beliau bertanya, “Relakah engkau jika hal itu terjadi pada ibumu? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada putrimu? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada saudara perempuanmu? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (dari jalur ayah)? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (dari jalur ibu)?” Setiap kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, pemuda itu pasti menjawab, “Tentu tidak! Demi Allah! Allah Subhanahu wata’ala menjadikanku sebagai tebusan Anda.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu, orang-orang pun tidak rela jika hal itu terjadi pada ibu, putri, saudara perempuan, dan bibi mereka!” Oleh karena itu, siapa pun yang berpendapat tentang bolehnya praktik mut’ah, apakah ia bisa menerima jika praktik mut’ah dilakukan kepada ibu, putri, atau saudara perempuannya??? Masih banyak lagi sisi-sisi buruk dan jahat dari praktik mut’ah yang tidak dapat diuraikan dalam pembahasan ringkas ini, baik secara sosial kemasyarakatan, kesehatan, tatanan keluarga, ekonomi, pelecehan kaum wanita, dan lain-lain. Namun, sedikit keterangan di atas sebenarnya telah lebih dari cukup untuk menegaskan haramnya praktik mut’ah. Bagi orang yang berakal, tentunya! Wallahul muwaffiq.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai