Membantu Anak Menghadapi Masalah

Sebagai orang tua, terkadang kita bertanya-tanya ketika anak kita tiba-tiba melakukan sebuah tindakan menyimpang, apa sebabnya? Ketika anak yang memasuki usia remaja mengalami problem, apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua? Berikut ini pemaparan asy-Syaikh Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari hafizhahullah tentang hak anak dalam masalah tersebut. Kami bawakan dari kitab beliau, Huquq al-Aulad ‘alal Aba wal Ummahat.

Bright-mixed-colors-bright-colors

Memerhatikan Kebutuhan Anak dan Duduk Bersama Mereka untuk Menyelesaikan Problem yang Mereka Hadapi

Tidak diragukan lagi, di antara sifat seorang manusia—terkhusus anak-anak kita, yang lelaki dan perempuan—adalah selalu menghadapi masalah dan kesulitan hidup. Apalagi jika mereka sudah beranjak dewasa. Perhatian yang mereka dapatkan tidak lagi sebagaimana ketika masih pada fase kanak-kanak.

Benar bahwa mereka memiliki hak-hak yang bahkan harus sudah ditunaikan oleh orang tua sejak sebelum dilahirkan ke dunia, ketika masih berada dalam perut sang ibu, ketika menjadi bayi yang menyusu, memasuki masa kanak-kanak, fase setelahnya, kemudian memasuki masa remaja dan pemuda, lalu masa dewasa. Pada setiap fase tersebut, mereka memiliki hak yang harus dipenuhi. Hak itu pun tidak lantas berhenti ditunaikan ketika mereka memasuki fase berikutnya. Setiap fase memiliki hal-hal spesifik yang terkait dengannya. Selain itu, setiap fase juga memiliki penanganan dan metode tersendiri.

Penumbuhan yang baik sejak kecil akan bermanfaat bagi seseorang ketika dewasa. Barang siapa yang melalaikan sisi ini—yakni tarbiyah anak semasa kecil—, perilaku anak menjadi jelek ketika dewasa. Jelek pula sikapnya terhadap ayah ibunya, dan akan muncul sejenis pembangkangan. Bisa jadi, saat itu orang tua akan bertanya-tanya, apa sebabnya? Padahal, sebabnya bisa jadi terletak pada diri orang tua: mereka melalaikan tarbiyah anaknya.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya, belahan jiwanya, di dunia dan di akhirat, dengan sebab tidak memberi anak pendidikan adab. Ia justru membantu anak mewujudkan segala keinginan syahwatnya. Dia menyangka bahwa dengan demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal justru menghinakannya. Dia sangka bahwa dia telah memberi kasih sayang kepada anak, padahal justru menzaliminya. Akibatnya, dia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anak. Dia pun menyebabkan sang anak tidak mendapat bagian di dunia dan di akhirat. Apabila memerhatikan kerusakan yang terjadi pada anak-anak, engkau akan melihat bahwa mayoritas penyebabnya berasal dari orang tuanya.” (Tuhfatul Maudud biAhkamil Maulud, hlm. 351)

Oleh karena itu, saya (asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari, -pent.) katakan, di antara hak anak yang wajib ditunaikan oleh ayah dan ibunya ialah memberi perhatian terhadap masalah yang dihadapi oleh anak, mencari solusinya dengan akal yang bagus dan mencermatinya dengan hikmah yang sempurna.

Sebagian masalah perlu diperketat, sebagian lain perlu dibiarkan, sesuai dengan kadar masalah dan kesulitan yang dihadapi. Bisa jadi, sebenarnya tidak ada masalah, tetapi bagi si remaja hal itu menjadi urusan mengkhawatirkan yang perlu dimusyawarahkan. Dan orang terbaik yang bisa dia ajak bermusyawarah ialah kedua orang tua.

Apabila hubungan dengan orang tua telah terjalin dengan baik dan “jembatan” telah terbentang, di atas rasa percaya penuh kepada Allah ‘azza wa jalla dan kejujuran kepada-Nya ketika mendidik anak dengan baik, tentu hal ini akan sangat meringankan masalah yang dihadapi oleh anak dan membantu dirinya untuk melaluinya—dengan izin Allah. Berbeda halnya jika ternyata ada dinding penghalang dan penolakan, tentu orang tua tidak bisa ikut menyelesaikan masalah seperti itu.

Walhasil, pada masa kita ini banyak sekali hal-hal yang memalingkan dari kebenaran. Demikian pula hal-hal yang menyibukkan, lebih banyak. Hal-hal yang melalaikan pun sangat banyak. Anak-anak kita—yang lelaki dan perempuan—membutuhkan bantuan dan perhatian penuh. Mereka perlu dibiasakan merasa takut, berharap, cinta kepada Allah ‘azza wa jalla, memasrahkan diri di hadapan-Nya, dan menanamkan hal itu dalam jiwa mereka. Semua ini adalah hal penting yang wajib ditanamkan kepada anak-anak.

Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah beberapa hari dan malam yang akan terhenti. Barang siapa mempersiapkan kebaikan, dia pun akan mendapat kebaikan. Sebaliknya, siapa yang mempersiapkan keburukan, dia pun akan mendapatkan keburukan. Hendaknya seseorang tidak mencela selain dirinya sendiri.

Apabila dia telah menunaikan kewajibannya dan melakukan tanggung jawabnya di hadapan Allah ‘azza wa jalla, sungguh dia telah terbebas dari beban yang menjadi tanggung jawabnya. Allah tidak membebani sebuah jiwa selain apa yang telah Dia berikan kepadanya.

 

Menyibukkan Waktu Luang Mereka dengan Hal yang Bermanfaat

Tidak tersembunyi bagi orang yang berakal dan cerdik tentang pentingnya waktu dalam kehidupan manusia. AlImam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Menyia-nyiakan waktu lebih dahsyat daripada kematian. Sebab, menyia-nyiakan waktu akan memutus Anda dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutus Anda dari dunia dan penghuninya.” (al-Fawaid hlm. 33)

Oleh karena itu, apabila tidak diisi dengan hal yang bermanfaat, waktu akan terisi dengan hal-hal yang berbahaya dan buruk. Kita memohon perlindungan kepada Allah. Orang yang memerhatikan perjalanan hidup para salaf—semoga Allah meridhai mereka dan membuat mereka ridha—akan mendapati bahwa mereka tidak menyia-nyiakan waktu atau hari mereka dengan sesuatu yang berbahaya atau buruk.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua nikmat yang banyak manusia teperdaya padanya, kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari no. 6412 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)

Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Aku pernah mendapati beberapa kaum, yang semuanya sangat pelit terhadap umur mereka daripada dirham mereka.” (Syarhus Sunnah, al-Baghawi, 14/225)

Al-‘Allamah Muhammad bin Abdil Baqi as-Sulami rahimahullah, “Aku tidak pernah mengetahui bahwa aku menyia-nyiakan sepotong waktu dari umurku dalam hal yang sia-sia dan main-main.” (Siyar A’lam an-Nubala, adz-Dzahabi, 20/26; al-Adab asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih, 3/467)

Disebutkan dalam biografi Abdul Wahhab bin Abdil Wahhab bin al-Amin dalam Ma’rifat al-Qurra’ al-Kibar (2/283) karya adz-Dzahabi bahwa seluruh waktunya terjaga. Tidak berlalu sesaat pun kecuali beliau dalam keadaan membaca, berzikir, tahajud, atau tasmi’ (memperdengarkan hafalan al-Qur’an).

Dahulu, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, seorang ulama bahasa Arab yang masyhur mengatakan, “Waktu yang paling berat aku lalui ialah waktu untuk makan.” (al-Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilmi, Abu Hilal al-‘Askari hlm. 87)

Intinya, hendaknya waktu sang anak diisi dengan hal yang bermanfaat yang faedahnya akan kembali kepada kebaikan diri mereka di dunia dan di akhirat; berupa ilmu yang bermanfaat dan mengajari mereka urusan yang agama dan akhirat.

Tidak mengapa orang tua memberi waktu khusus dan mengaturnya. Dia bisa membuat waktu-waktu—atau bisa Anda sebut jadwal—yang mengatur kegiatan mereka: kegiatan yang terkait dengan ilmu (baca: belajar), hiburan, wawasan, makan, dan seterusnya. Kegiatan-kegiatan yang mengisi waktu mereka akan bermanfaat bagi mereka, mereka pun bisa bermanfaat kelak bagi masyarakatnya. Mereka bisa menjadi batu bata yang baik dalam bangunan masyarakat ini.

Demikian pula, berbagai metode yang beragam bisa dipakai untuk mengisi waktu anak dengan hal yang bermanfaat.

Apabila kita memandang sebagian anak kita yang pikirannya menyeleweng, baik pikiran syahwat dan kebebasan maupun pikiran syubhat dan penyimpangan (dalam hal agama), kita dapati sebab terbesarnya ialah tidak adanya perhatian keluarga dari kedua orang tua dan tidak ditunaikannya hak-hak anak.

Penjelasannya mudah. Sebabnya ialah tidak adanya kesibukan untuk mengisi waktu mereka dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Atau bisa jadi, justru orang tualah yang berada dalam penyimpangan sehingga anak-anak tumbuh sebagaimana keadaan orang tuanya.

وَيَنْشَأُ نَاشِئُ الْفِتْيَانِ مِنَّا

 عَلَى مَا كَانَ عَوَّدَهُ أَبُوهُ            

Pemuda yang baru tumbuh di antara kami

               Tumbuh di atas apa yang dibiasakan oleh ayahnya

Karena teladan yang baik tidak ada, dia pun menyimpang, baik ke arah syahwat maupun syubhat. Karena itu, kita dapati sebagian ahli bid’ah mencuri waktu luang para penuntut ilmu dan pemuda di antara anak-anak kita, lalu dia mengumpulkan dan memalingkan mereka dari jalan yang lurus. Ini terjadi ketika kedua orang tua tidak menemukan atau tidak mengetahui metode untuk mengisi waktu anak-anak mereka.

Setelah beberapa waktu, tiba-tiba dia dapati anaknya menentangnya dan mendurhakainya dari sisi yang lain. Anaknya, misalnya, terpengaruh oleh pemikiran dari luar yang menyimpang dan sesat atau satu bentuk penyimpangan dalam hal akidah dan manhaj. Bisa jadi pula, si remaja menyimpang dalam hal perilaku (akhlak).

Ketika itu, sang ayah pun menjerit. Akan tetapi, (sudah terlambat), itu bukan saatnya menyesal! Jeritan ini tidak lagi bermanfaat. Tidak pula ratapan ini (bermanfaat) setelah lewat waktunya! Bisa jadi, sebabnya ada pada kedua orang tua, yaitu mereka berdua memang menyimpang. Atau bisa jadi pula tidak seperti itu, yaitu hal itu memang semata-mata ujian, namun keduanya tidak menyempatkan diri untuk berdoa secara sembunyi-sembunyi dan tidak jujur mengembalikan urusan kepada Allah ‘azza wa jalla.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya, belahan jiwanya, di dunia dan di akhirat, dengan sebab tidak memberi anak pendidikan adab. Ia justru membantu anak mewujudkan segala keinginan syahwatnya. Dia menyangka bahwa dengan demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal justru menghinakannya. Dia sangka bahwa dia telah memberi kasih sayang kepada anak, padahal justru menzaliminya. Akibatnya, dia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anak. Dia pun menyebabkan sang anak tidak mendapat bagian di dunia dan di akhirat. Apabila engkau memerhatikan kerusakan yang terjadi pada anak-anak, engkau akan melihat bahwa mayoritas penyebabnya berasal dari orang tuanya.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 351)

Beliau mengatakan pula, “Kerusakan mayoritas anak disebabkan oleh orang tua dan kelalaian mereka terhadap anak. Mereka tidak mengajari urusan agama yang wajib dan yang sunnah. Mereka menyia-nyiakan anak semasa kecilnya. Anak pun tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan tidak bermanfaat bagi orang tuanya ketika lanjut usia. Sebagaimana ketika sebagian mereka mencela anaknya karena durhaka, anaknya menjawab, ‘Wahai ayahku, engkau telah mendurhakaiku semasa aku kecil. Maka, sekarang aku mendurhakaimu ketika engkau lanjut usia. Engkau menyia-nyiakanku sewaktu anak-anak, sekarang aku menyia-nyiakanmu saat engkau tua renta’.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 337)

Oleh karena itu, teladan yang baik adalah sangat penting dalam hal mendidik anak. Hal ini wajib diperhatikan oleh orang tua. Orang tua hendaknya selalu berhias dengan akhlak yang baik dan perilaku yang lurus. Seseorang tidak boleh menyuruh anak lelaki atau perempuannya melakukan sesuatu sementara ia sendiri meremehkannya. Hal ini diketahui secara teori dan akal.

وَغَيرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ باِلتُّقَى

طَبِيْبٌ يُدَاوِي وَالطَّبِيبُ عَلِيلُ             

Orang yang tidak bertakwa menyuruh manusia untuk bertakwa

       (layaknya) dokter yang mengobati, namun dia sendiri berpenyakit

Hal ini tidak mungkin. Sebab, anak-anak memiliki tabiat meniru orang tua, baik dia ingin maupun tidak. Karena itu, kita dapati bahwa penyimpangan terkadang disebabkan (pergaulan) di rumah. Si pemuda atau pemudi melihat ayah atau ibunya melakukan sesuatu, maka dia menyerapnya, baik dia tahu maupun tidak, sadar maupun tidak. Setelah itu, dia meniru perkara yang dilakukan kedua orang tuanya tersebut.

Jadi, perhatian terhadap hal ini (teladan yang baik) sangat besar pengaruhnya. Teladan yang baik merupakan suatu hal yang dituntut dan dianjurkan oleh agama kita. Agama kita memosisikan keteladanan yang baik sebagai sebab kebahagiaan bagi yang menginginkan keselamatan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)

Jadi, barang siapa menginginkan keselamatan bagi anak-anaknya, hendaknya dia menjadi teladan yang baik, mengadakan perbaikan, lurus, menegakkan perintah Allah ‘azza wa jalla, tidak melanggar batasan-batasan Allah dan melampauinya.

“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.” (al-Baqarah: 229)

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (al-Baqarah: 187)

“Dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri.” (ath-Thalaq: 1)

Ringkasnya, pendidikan anak adalah urusan yang penting, agung, besar, dan berat. Akan tetapi, hal itu menjadi mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Karena itu, sepantasnya seorang hamba berdoa kepada Allah di awal dan di akhir, serta memohon pertolongan kepada-Nya agar memberinya petunjuk ke jalan yang lurus, memberinya karunia berupa keturunan yang baik, dan memperbaiki keadaan dirinya dan semuanya, sekarang dan masa yang akan datang.

Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar memberikan karunia kepada kita dan Anda berupa keturunan yang baik, memberi manfaat, dan mengadakan perbaikan. Sesungguhnya Dia Maha Memberi dan Mahadermawan.

(diterjemahkan dari Huququl Aulad ‘alal Aba wal Ummahat, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari hafizhahullah, hlm. 44—50)