Memegang dan Membaca al-Qur’an Saat Junub

Edisi lalu telah membahas sebagian hal yang berkaitan dengan orang junub. Berikut ini beberapa permasalahan yang masih tersisa tentang janabah.

 

  1. Membaca al-Qur’an

Ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya seorang yang junub membaca al-Qur’an. Mayoritas ulama dari empat mazhab (jumhur ulama) berpendapat tidak boleh. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, dan selain keduanya. Diriwayatkan pula pendapat ini dari al-Hasan al-Bashri, Qatadah, an-Nakha’i, dan selain mereka.

Al-Imam Malik berpendapat, wanita haid boleh membaca al-Qur’an sesuai keinginannya, dan orang yang junub dibolehkan membaca dua ayat dan semisalnya.

Sementara itu, Abu Hanifah berpandangan hanya dibolehkan apabila membacanya tidak sempurna satu ayat.[i] (al-Muhalla, 1/95, al-Majmu’ 2/182, al-Mughni Kitab “ath-Thaharah”, Fashl “Yuhramu ‘alal Junub Qira‘ah Ayah”, Nailul Authar 1/317, Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 4/106—108, Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibni Baz 10/208—211)

Adapun mereka yang sama sekali melarang orang junub membaca al-Qur’an berdalil dengan hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنَ الْخَلاَءِ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari WC, lalu beliau membaca al-Qur’an dan makan bersama kami. Tidak ada sesuatu yang menghalangi beliau dari al-Qur’an kecuali janabah.”[ii]

Namun, hadits ini dha’if (lemah). Al-Imam asy-Syaukani menyatakan hadits ini diperbincangkan kesahihannya, demikian juga dari sisi marfu’ atau mauquf-nya. (Nailul Authar 1/317)

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menghukumi hadits ini dha’if dalam Dha’if Kutubis Sunan dan Irwaul Ghalil no. 485.

Mereka yang melarang juga berdalil dengan hadits,

لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

“Orang yang haid dan junub tidak boleh membaca sedikit pun dari al-Qur’an.”[iii]

Namun, hadits ini juga lemah. Asy-Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil (no. 192) dan al-Misykat (no. 461) menilai hadits ini lemah. Bahkan, dalam Dha’if Sunan at-Tirmidzi dan Dha’if Sunan Ibni Majah beliau mengatakan bahwa hadits ini mungkar.

Dengan demikian, tidak ada dalil yang sahih lagi jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang orang junub membaca al-Qur’an.

Al-Imam Ibnu Hazm berkata, “Membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf, dan berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, semuanya boleh dilakukan dengan berwudhu dan tanpa berwudhu terlebih dahulu, serta boleh dilakukan oleh orang yang junub dan haid. Dalil tentang hal ini adalah bahwa membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf, dan berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan amalan-amalan kebaikan yang disenangi (mandub) dan pelakunya diberi pahala. Dengan demikian, siapa saja yang mengklaim bahwa perbuatan tersebut dilarang pada keadaan tertentu, ia punya tanggung jawab untuk mendatangkan dalil/keterangan.”

Beliau juga menyatakan, “Terdapat atsar yang berisi larangan membaca al-Qur’an bagi orang junub dan orang yang tidak berwudhu. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang sahih. Kami telah menerangkan kelemahan sanad-sanadnya pada lebih dari satu tempat.” (al-Muhalla, 1/94—95)

Di antara ulama yang berpendapat bolehnya orang junub membaca al-Qur’an adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah membaca surat al-Baqarah dalam keadaan junub. Demikian pula pendapat Sa’id ibnul Musayyab, Sa’id bin Jubair. Ini juga merupakan pendapat Dawud azh-Zhahiri dan seluruh pengikutnya. (Syarhus Sunnah 2/43, al-Muhalla 1/96).

Pendapat inilah yang penulis pegangi. Wallahu ta’ala ‘alam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

 

Faedah: Lebih Utama Berwudhu Dahulu

Lebih utama seorang yang junub berwudhu terlebih dahulu. Ketika menerangkan hadits,

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ

“Sungguh, aku tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci/berwudhu.”[iv]

dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (2/489), asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakruhkan (tidak suka) berzikir pada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dalam keadaan beliau telah bersuci. Hal ini menunjukkan bahwa membaca al-Qur’an tanpa bersuci lebih besar lagi kemakruhannya. Maka dari itu, tidak sepantasnya pendapat yang membolehkan orang yang berhadats membaca al-Qur’an itu dimutlakkan (dibiarkan tanpa batasan tertentu) begitu saja, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian saudara kita dari kalangan ahlul hadits.”

 

  1. Menyentuh mushaf

Jumhur ulama termasuk mazhab imam yang empat melarang orang yang junub menyentuh al-Qur’an. Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bolehnya orang yang junub menyentuh mushaf al-Qur’an. (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid hlm. 45, al-Mulakhkhash al-Fiqhiyah 1/23)

Sebab perselisihan pendapat ini adalah perbedaan dalam menafsirkan ayat ke-79 dari Surah al-Waqi’ah,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ

“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali al-muthahharun.”

Al-Muthahharun dalam ayat di atas, menurut ulama yang melarang orang junub menyentuh al-Qur’an, maknanya adalah orang-orang yang suci dari hadats. Sementara itu, orang yang junub tengah menanggung hadats besar sehingga tidak diperkenankan menyentuh mushaf al-Qur’an.

Akan tetapi, mayoritas ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dhamir (kata ganti ه bentuk nashab dari هو) yang terdapat dalam firman Allah لاَ يَمَسُّهُ adalah kitab yang terjaga/terpelihara (kitabun maknun di Lauh Mahfuzh) yang berada di langit, sedangkan الْمُطَهَّرُونَ adalah para malaikat. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an 11/659—660, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 17/146, Ma’alimut Tanzil 4/262, al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hlm. 1358—1359, dll.)

Hal ini dipahami dari ayat sebelumnya,

إِنَّهُۥ لَقُرۡءَانٌ كَرِيمٞ ٧٧ فِي كِتَٰبٍ مَّكۡنُونٍ ٧٨ لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ ٧٩

“Sesungguhnya dia adalah qur’an/bacaan yang mulia dalam kitab yang terjaga/terpelihara, tidak ada yang menyentuhnya kecuali al-muthahharun.” (al-Waqi’ah: 77—79)

Dikuatkan lagi oleh ayat Allah subhanahu wa ta’ala,

فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ ١٣ مَّرۡفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍۢ ١٤ بِأَيۡدِي سَفَرَةٍ ١٥ كِرَامٍۢ بَرَرَةٍ ١٦

“Di dalam kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para malaikat yang mulia lagi berbakti.” (‘Abasa: 13—16)

Adapula yang memaknai al-muthahharun sebagai “kaum mukminin”, dengan dalil firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٌ

“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (at-Taubah: 28)

Apabila orang musyrik dan kafir itu najis, berarti kaum mukminin suci, dan tidak ada yang boleh menyentuh al-Qur’an kecuali mukminin, yaitu orang-orang yang beriman. Kesucian mukminin ini juga ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menghindar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena sedang ditimpa janabah,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

“Sesungguhnya mukmin itu tidaklah najis.”[v]

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam tafsirnya terhadap ayat Surah al-Waqi’ah di atas menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah shuhuf (lembaran) yang ada di tangan para malaikat. Beliau menolak pendapat yang memaknakan al-muthahharun sebagai “kaum mukminin”.

Alasannya, apabila yang dimaksud dalam ayat adalah kaum mukminin yang telah berwudhu (bersuci), niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menyatakan dengan lafadz

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُتَطَهِّرُونَ

sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri/berthaharah.” (al-Baqarah: 222) (at-Tafsirul Qayyim, hlm. 482—483)

Mereka yang melarang orang yang junub menyentuh mushaf juga berdalil dengan hadits,

لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali thahir.”[vi]

Akan tetapi, kata thahir pada hadits di atas adalah lafadz yang berserikat. Selain bisa dimaknai sebagai orang yang thahir/suci dari hadats besar, bisa pula suci dari hadats kecil, juga bisa dimaknai seorang mukmin dan orang yang tidak ada najis pada tubuhnya. (Nailul Authar 1/292)

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Yang lebih dekat maknanya—wallahu a’lam—yang dimaksud dengan thahir dalam hadits ini adalah seorang mukmin, baik ia berhadats besar, kecil, atau haid, atau pada tubuhnya ada najis. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ

yang disepakati kesahihannya.

Yang dimaksud (oleh hadits)

لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

adalah tidak diperkenankannya seorang musyrik menyentuh mushaf. Sama halnya dengan hadits yang juga disepakati kesahihahnya,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُسَافِرَ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang safar/bepergian ke negeri musuh dengan membawa al-Qur’an.”[vii] (Tamamul Minnah hlm. 107)

Lebih utama bagi seseorang yang ingin menyentuh mushaf—apabila mudah baginya—untuk berwudhu terlebih dahulu. Wallahu a’lam. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, 1/117)

Al-Imam Ishaq al-Marwazi berkata dalam Masa’il al-Imam Ahmad,

Aku pernah bertanya kepada al-Imam Ahmad, “Apakah seseorang boleh membaca al-Qur’an dalam keadaan tidak berwudhu?”

Beliau menjawab, “Boleh, tetapi ia tidak boleh membaca dari mushaf selama ia tidak berwudhu.”

Al-Imam Ishaq bin Rahawaih pun berkata sebagaimana yang dikatakan al-Imam Ahmad. Demikian pula perbuatan sahabat Nabi dan tabi’in, sebagaimana riwayat yang sahih dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata,

“Aku memegang mushaf di sisi Sa’d, lalu aku menggaruk tubuhku. Melihat hal itu Sa’d berkata, ‘Barangkali engkau menyentuh kemaluanmu?’

Aku jawab, ‘Ya.’

Sa’d berkata, ‘Bangkit dan berwudhulah.’

Aku pun bangkit dan berwudhu, lalu aku kembali.” (Tentang riwayat ini, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan oleh Malik dan al-Baihaqi dengan sanad sahih.”; dinukil dari al-Irwa, 1/161]

 

Faedah

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Tentang menyentuh mushaf, atsar/hadits yang dijadikan hujah oleh pihak yang tidak membolehkan orang yang junub menyentuhnya, tidak ada satu pun yang sahih. Sebab, haditsnya ada yang mursal, atau shahifah (lembaran yang berisi hadits-hadits) yang tidak bisa dijadikan sandaran, atau diriwayatkan dari rawi yang majhul atau dha’if.” (al-Muhalla 1/97)

 

 

[i] Al-Imam Ibnu Hazm menyatakan bahwa semua pendapat ini salah karena tidak didukung oleh dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, baik yang sahih maupun yang dhaif. Tidak ada pula ijma’ ataupun ucapan sahabat ataupun qiyas.

Karena sebagian atau satu ayat adalah bagian dari al-Qur’an juga tanpa diragukan, lantas mengapa ada pembedaan bahwa membaca satu ayat boleh sedangkan lebih dari satu ayat tidak boleh?

Demikian pula pembedaan yang mereka lakukan antara wanita haid dan orang junub. Wanita haid boleh membaca al-Qur’an dengan alasan masa haid itu panjang. Hal ini mustahil karena apabila membaca al-Qur’an itu haram bagi wanita haid, artinya dia tidak boleh membacanya sepanjang masa haidnya. Adapun apabila membaca al-Qur’an halal baginya, tidak ada maknanya berhujah dengan panjangnya masa haid. (al-Muhalla 1/95)

[ii] HR. an-Nasai no. 260, Abu Dawud no. 229, dan yang lainnya.

[iii] HR. at-Tirmidzi no. 131 dan Ibnu Majah no. 595 & 596

[iv] HR. Abu Dawud no. 17, dihukumi sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 834

[v] Telah disebutkan haditsnya secara lengkap.

[vi] HR. al-Atsram dan ad-Daraquthni secara muttashil, dan al-Imam Malik dalam al-Muwaththa secara mursal; dinilai sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa no. 122.

[vii] HR. al-Bukhari no. 2990 dan Muslim no. 4816

 

Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq