Menemani Hijrah Rasulullah (bagian 3)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Semakin berat tekanan kaum musyrikin Quraisy terhadap kaum muslimin, lebih-lebih orang-orang yang lemah di antara mereka. Orang-orang kaya dan para pemuka Quraisy tak segan-segan menangkapi dan menyiksa budak-budak mereka yang masuk Islam. Mereka dengan bengis menyeret budaknya di atas pasir dan kerikil yang sedang membara di siang hari. Bahkan sebagiannya mereka tindih dengan batu besar lalu dijemur di bawah terik matahari.
Kejadian itu tentu saja membuat pilu hati Rasulullah n dan sahabat lainnya. Tetapi Allah l menyayangi mereka. Dia menggerakkan hati Abu Bakr membelanjakan hartanya membeli budak-budak yang sudah masuk Islam dan disiksa oleh majikannya. Seperti yang dialami oleh Bilal bin Rabah, ‘Amir bin Fuhairah, Zinnir, an-Nahdiyah, dan kedua putrinya, serta Ummu ‘Abis g.
Itulah yang sering dilakukan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq z. Bahkan semua itu dilakukannya hanya mengharap Wajah Allah l dan negeri akhirat.
“Aku ingin berbuat apa yang aku mau,” demikian jawabnya ketika ditegur oleh Abu Quhafah, ayahandanya agar tidak sembarangan membebaskan budak yang lemah.
Allah l menurunkan pula firman-Nya memuji ash-Shiddiq,
“Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mengharap Wajah Rabbnya Yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail: 14—21)

Hijrah
Tekanan kaum musyrikin Quraisy semakin berat dirasakan oleh kaum muslimin. Akhirnya, datanglah perintah hijrah dari Rasulullah n. Beliau mengarahkan kaum muslimin ke Habasyah, karena di sana berkuasa seorang raja yang adil dan berbudi, Najasyi.
Abu Bakr pun tergerak untuk berangkat hijrah mencari tempat agar leluasa beribadah kepada Allah l. Beliau pun bersiap-siap.
Akhirnya berangkatlah Abu Bakr z hingga tiba di Barkilghamad. Di sana Abu Bakr bertemu dengan Ibnu Daghinah, pemuka al-Qarah. Ibnu Daghinah bertanya, “Hendak ke mana Anda, wahai Abu Bakr?”
“Masyarakatku mengusirku. Aku ingin berkelana mencari tempat untuk menyembah Rabbku.”
“Orang seperti Anda tidak layak diusir dan tidak boleh keluar. Anda suka menolong orang yang kesulitan, menyambung silaturahmi, membantu yang lemah, dan menjamu tamu. Aku akan memberi perlindungan untukmu. Kembalilah, sembahlah Rabbmu di negerimu sendiri.”
Akhirnya, Abu Bakr kembali bersama Ibnu Daghinah.
Ibnu Daghinah segera berkeliling menemui para pemuka Quraisy dan menyebutkan kebaikan Abu Bakr. Ternyata, tidak seorang pun yang mengingkari perkataannya. Tetapi, mereka meminta, “Suruh Abu Bakr beribadah di rumahnya saja. Jangan mengganggu kami dan jangan menampakkannya kepada kami, supaya anak dan istri kami tidak terpengaruh.”
Permintaan ini disampaikan oleh Ibnu Daghinah kepada Abu Bakr dan diterima oleh beliau.
Mulailah Abu Bakr mengerjakan ibadah dan membaca al-Qur’an di dalam rumahnya. Tetapi itu tidak lama, karena suatu kali tergerak hati Abu Bakr membuat tempat ibadah di halaman rumahnya.
Sejak itu, mulailah Abu Bakr shalat dan membaca al-Qur’an di masjid halaman rumahnya.
Adalah Abu Bakr seorang yang lembut dan perasa. Dia tidak dapat menahan air matanya setiap kali membaca ayat-ayat Allah l. Hal itu sering terjadi dan menarik perhatian beberapa wanita dan anak-anak kaum musyrikin. Mereka semakin tertarik dan suka menunggu-nunggu, kapan Abu Bakr akan shalat dan membaca lagi?
Akan tetapi, peristiwa ini segera diketahui oleh para pembesar Quraisy. Mereka menemui Ibnu Daghinah dan meminta agar dia mengingatkan Abu Bakr, karena Abu Bakr tidak beribadah di dalam rumahnya, tetapi justru membuat masjid di halaman rumahnya sehingga membuat goncang anak-anak dan wanita musyrikin.
Ibnu Daghinah segera menemui Abu Bakr z dan mengingatkan, “Anda sudah tahu kesepakatan saya dengan Anda. Terserah Anda, apakah Anda mengembalikan jaminan itu kepada saya atau menuruti permintaan saya. Saya tidak ingin orang-orang Arab mengatakan bahwa saya mengkhianati orang yang saya beri jaminan.” Mendengar permintaannya, Abu Bakr malah mengatakan, “Saya kembalikan jaminanmu. Saya ridha dengan jaminan dari Allah.”
Sejak saat itu Abu Bakr kembali diganggu dan disakiti di jalan Allah l.

Ke Madinah Bersama Nabi n
Sebetulnya, sejak ada perintah hijrah ke Madinah, Abu Bakr sudah bersiap untuk berangkat. Akan tetapi, Rasulullah n menahannya. Abu Bakr berpikir bahwa mungkin Rasulullah n ingin dia menemani beliau hijrah ke Madinah. Kalau benar demikian, alangkah senang hatinya.
Siang itu, sinar matahari demikian panas menyengat. Hampir tidak ada seorang pun yang keluar saat itu. Mereka lebih suka berdiam di rumah.
Biasanya, Rasulullah n datang berkunjung ke rumah Abu Bakr, kalau tidak pagi hari, tentu petang harinya. Akan tetapi, saat itu, Abu Bakr melihat Rasulullah n sudah di depan rumahnya. Segera saja Abu Bakr beranjak dari tempat duduknya mempersilakan beliau duduk.
“Suruh keluar siapa saja yang ada di rumahmu,” kata Rasulullah n kepadanya.
“Mereka hanya putri-putriku. Ayah ibuku tebusanmu, ada apa, ya Rasulullah?”
“Saya sudah diizinkan untuk hijrah.”
“Saya temani, ya Rasulullah?”
“Ya, engkau temani.” Abu Bakr menangis karena gembira dapat menemani Rasulullah n hijrah ke Madinah.
“Ya Nabi Allah, ini dua kendaraan yang sudah saya persiapkan untuk hijrah, ambillah.”
“Baik, dengan harga,” lalu Rasulullah n memilih salah satu dari unta tersebut.
Abu Bakr juga menyewa penunjuk jalan bernama ‘Abdullah bin Uraiqith yang masih musyrik. Kemudian beliau menyerahkan kedua unta itu agar dipelihara dan dibawa pada hari yang sudah disepakati.
Mulailah ‘Aisyah dan Asma’ mempersiapkan bekal Rasulullah n dan Abu Bakr. Asma’ memotong kain pengikat pinggangnya menjadi dua, yang satu untuk membawa bekal, yang lain untuk membelit pinggangnya. Sejak saat itulah dia dikenal sebagai Dzatu Nithaqain (wanita pemilik dua ikat pinggang).
Sebelumnya, para pemuka Quraisy sudah merencanakan untuk membunuh Nabi n. Mereka menyewa dari setiap kabilah seorang pemuda yang kekar dan kuat, lengkap dengan pedang yang tajam. Para pemuda itu diminta mengepung rumah Nabi n dan membunuh beliau dengan satu kali tebasan atau tikaman, sehingga darah suci beliau menjadi tanggungan masing-masing kabilah. Menurut mereka, dengan cara ini, Bani Hasyim tentu tidak akan sanggup menuntut balas dan bersedia menerima tebusan.
Sampai jauh malam, para pemuda itu masih mengintai rumah Nabi n.
Setelah tiba waktunya, Rasulullah n menyuruh ‘Ali tidur di pembaringan beliau dengan selimut yang biasa digunakan beliau. Adapun para pemuda yang mengepung rumah beliau sudah dibuat tertidur oleh Allah k.
Akhirnya, Rasulullah n keluar dengan aman menuju Gua Tsur. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan Abu Bakr. Dalam perjalanan itu, sesekali Abu Bakr berjalan di depan Rasulullah n, kadang dia berjalan di belakang beliau.
Rasulullah n menanyakan hal itu kepadanya dan kata Abu Bakr, “Ya Rasulullah, kalau saya teringat para pengejar, saya berjalan di belakang Anda, dan kalau teringat akan pengintai, saya berjalan di depan Anda.”
Semua itu menunjukkan kecintaan Abu Bakr terhadap Rasulullah n, dan dia tidak ingin Rasulullah n terkena bahaya. Oleh sebab itulah, dia menyiapkan diri menjadi perisai bagi Rasulullah n.
Sesampainya di pintu gua, Abu Bakr meminta izin mendahului Rasulullah n untuk memeriksa keadaan gua. Abu Bakr khawatir ada bahaya yang mengancam keselamatan Rasulullah n.
Dengan cepat, Abu Bakr membersihkan gua itu dari binatang berbisa dan menyiapkan tempat agar Rasulullah n beristirahat.
Setelah selesai, Rasulullah n memasuki gua itu lalu tertidur.
Sebagian ahli sejarah menyebutkan, pada waktu itu, Rasulullah n tidur di atas paha Abu Bakr. Tiba-tiba Rasulullah n terbangun karena wajah beliau terkena tetesan air (air mata Abu Bakr, red.).
Rasulullah n bertanya, kepada Abu Bakr apa yang menyebabkan dia menangis. Abu Bakr mengatakan bahwa dia kesakitan menahan gigitan ular dari lubang yang belum sempat dibersihkannya. Dia tidak ingin mengganggu istirahat Rasulullah n, sehingga membiarkan nyeri itu menyerangnya.
Akhirnya, Rasulullah n melihat kaki Abu Bakr dan mengobatinya lalu mendoakannya agar segera sembuh.
Sementara itu, di Makkah, para pemuda yang mengepung rumah Rasulullah n segera terbangun dan masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, mereka hanya menemukan ‘Ali yang tidur di atas pembaringan Rasulullah n.
Penduduk Makkah mulai heboh dan menyebar para pencari jejak untuk menangkap Rasulullah n dan Abu Bakr. Bahkan, mereka menjanjikan hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang dapat membawa Rasulullah n dan Abu Bakr, hidup atau mati.
Rasulullah n dan Abu Bakr pun bersembunyi di dalam gua itu selama tiga hari tiga malam. Setiap hari, ‘Abdullah putra Abu Bakr, sengaja menggembalakan kambing-kambingnya di sekitar gua itu di siang hari. Malamnya, ‘Abdullah sengaja bergabung dengan orang-orang Quraisy untuk mendapatkan berita rencana mereka terhadap Rasulullah n dan ayahnya. Setelah menyampaikan berita kepada Rasulullah n dan Abu Bakr, menjelang pagi, ‘Abdullah kembali ke tengah-tengah penduduk Makkah.
Begitulah yang dilakukannya selama tiga hari.
Orang-orang Quraisy tidak berhenti mencari keduanya. Bahkan, para pencari jejak, sudah pula tiba di mulut gua. Melihat hal ini, Abu Bakr semakin khawatir, bukan terhadap dirinya, melainkan pribadi Rasulullah n. Dengan cemas, dia berbisik kepada Rasulullah n, “Seandainya mereka melihat ke arah kaki mereka, pasti mereka melihat kita, ya Rasulullah.”
“Apa dugaanmu, hai Abu Bakr dengan dua orang, sedangkan Allah yang ketiganya? Jangan sedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Itulah yang disebutkan Allah l dalam firman-Nya,
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedangkan Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu Dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah, dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 40)
Akhirnya para pencari itu kembali ke Makkah dengan tangan hampa.
Abu Jahl yang saat itu menjadi tokoh masyarakat Makkah segera mendatangi rumah Abu Bakr.
Asma’ yang kebetulan di rumah menemui mereka. Abu Jahl dengan garang menanyakan di mana Abu Bakr. Asma’ hanya menjawab tidak tahu. Abu Jahl semakin marah dan menampar pipi Asma’. Dengan sengit Asma’ membalasnya dengan cercaan.
Karena tak mendapatkan jawaban, Abu Jahl meninggalkan tempat itu.
Seluruh pelosok kota Makkah sampai ke arah dataran tinggi sekitarnya, telah dijelajahi, bahkan mereka sudah tiba di depan Gua Tsur, tetapi jejak Rasulullah n dan Abu Bakr bagai hilang ditelan bumi.
Akhirnya, mereka sepakat menjanjikan hadiah seratus ekor unta bagi yang membawa Muhammad n dan Abu Bakr, hidup atau mati.
Setelah tiga hari tiga malam bersembunyi di gua Tsur, Rasulullah n dan Abu Bakr pun keluar lalu berangkat dengan pembantunya, ‘Amir bin Fuhairah, dan dipandu oleh ‘Abdullah bin Uraiqith yang membawa mereka mengambil jalan dekat pantai melewati perkampungan Bani Mudlij, tempat Suraqah bin Malik bin Ju’syum.
Sebelum bertolak meninggalkan Makkah, Rasulullah n berdiri sambil memandang kota Makkah, kata beliau, “Demi Allah. Sungguh, engkau adalah bumi Allah yang paling baik dan paling dicintai oleh Allah, seandainya aku tidak dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”
Dalam perjalanan itu, mereka singgah di tenda Ummu Ma’bad, sebagaimana telah diceritakan dalam episode Hijrah ke Madinah.
Sementara itu, kaum muslimin di Madinah sudah mendengar kabar keberangkatan Rasulullah n menuju negeri mereka. Setiap hari, mereka keluar dari rumah-rumah mereka menuju perbatasan menjemput rombongan Rasulullah n. Akan tetapi, sampai tengah hari yang panas, belum juga terlihat tanda-tanda Rasulullah n akan tiba.
Akhirnya, mereka kembali ke rumah masing-masing. Keesokan harinya mereka kembali menuju gerbang kota Madinah untuk menyongsong rombongan Rasulullah n, tetapi kembali mereka dihalau oleh panas matahari yang menyengat. Mereka terpaksa pulang kembali.
Senin bulan Rabi’ul Awwal, di saat mereka sudah berada di bawah terik matahari menyongsong Rasulullah n dan rombongannya, kemudian bersiap hendak pulang, seorang Yahudi yang sedang berada di atas lotengnya tak mampu menahan diri. Dengan suara keras Yahudi itu berteriak, “Hai orang-orang Arab, itu orang yang kalian tunggu-tunggu sudah datang.”
Mendengar teriakan itu, kaum muslimin segera mengambil senjata mereka lalu keluar menuju sahara menyambut rombongan Rasulullah n dan Abu Bakr. Kemudian, rombongan berbelok menuju perkampungan Bani ‘Auf dan singgah di sana serta menetap di rumah Abu Ayyub al-Anshari. Abu Bakr sendiri singgah di tempat Kharijah bin Zaid dari suku Khazraj.
Sebagian sahabat dari kalangan Anshar yang belum mengenal Rasulullah n memberi salam kepada Abu Bakr. Melihat hal ini, Abu Bakr berdiri menaungi Rasulullah n dari panas matahari, akhirnya mereka mengenali beliau.
Hari itu adalah hari bahagia penduduk Madinah. Sejak hari itu mulailah babak baru perjuangan Islam. Adapun Abu Bakr tetap setia menjadi pembantu utama Rasulullah n dalam setiap keadaan sampai Rasulullah n wafat.
Suka duka selama mendampingi Rasulullah n telah berlalu. Kini, dengan bekal keteladanan yang dipetiknya dari kehidupan pribadi Rasulullah n, Abu Bakr mulai menatap masa depan. Bukan bagi dirinya, melainkan bagi Islam dan kaum muslimin. Apa yang harus dilakukannya agar warisan utama Rasulullah n ini semakin berkembang.
Wallahu a’lam.