Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ كَانُوٓاْ أَشَدَّ مِنكُمۡ قُوَّةً وَأَكۡثَرَ أَمۡوَٰلًا وَأَوۡلَٰدًا فَٱسۡتَمۡتَعُواْ بِخَلَٰقِهِمۡ فَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِخَلَٰقِكُمۡ كَمَا ٱسۡتَمۡتَعَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُم بِخَلَٰقِهِمۡ
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya.” (at-Taubah: 69)
Maksudnya, mereka menikmati bagian mereka berupa dunia dan segala syahwatnya. Makna khalaaq dalam ayat di atas adalah bagian yang tertentu.
Baca juga:
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَخُضۡتُمۡ كَٱلَّذِي خَاضُوٓاْۚ
“Dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya.” (at-Taubah: 69)
Jadi, makna al-khaudh bil bathil (mempercakapkan yang batil) adalah syubhat.
Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan dalam ayat ini tentang sesuatu yang akan merusak kalbu dan agama. Hal itu adalah bersenang-senang dengan bagian dunia dan larut dalam kebatilan. Sebab, rusaknya agama bisa terjadi dengan sebab keyakinan yang batil dan mengungkapkannya, atau bisa jadi pula dengan sebab melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ilmu yang benar.
Yang pertama itu adalah bid’ah dan yang terkait dengannya, sedangkan yang kedua adalah amalan kefasikan. Yang pertama adalah kerusakan dari sisi syubhat (kerancuan pemahaman dan pemikiran), sedangkan yang kedua adalah kerusakan dari sisi syahwat (hawa nafsu).
Baca juga:
Oleh karena itu, dahulu ulama salaf mengatakan,
احْذَرُوا مِنَ النَّاسِ صِنْفَيْنِ: صَاحِبَ هَوًى قَدْ فَتَنَهُ هَوَاهُ، وَصَاحِبَ دُنْيَا أَعْمَتْهُ دُنْيَاهُ
“Hati-hatilah dari dua golongan manusia: pengekor hawa nafsu yang telah tergoda oleh nafsunya dan pengekor dunia yang telah terbutakan oleh dunianya.”
Dahulu mereka juga mengatakan,
احْذَرُوا فِتْنَةَ الْعَالِمِ الْفَاجِرِ وَالْعَابِدِ الْجَاهِلِ فَإِنَّ فِتْنَتَهُمَا فِتْنَةٌ لِكُلِّ مَفْتُونٍ
“Hati-hatilah dari godaan ulama yang jahat dan ahli ibadah (abid) yang bodoh, karena godaan keduanya benar-benar mengecoh setiap orang yang tergoda.”
Baca juga:
Asal-usul setiap godaan bermula dari mengedepankan pendapat akal daripada syariat dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal sehat. Yang pertama adalah asal-usul godaan syubhat, sedangkan yang kedua adalah asal-usul godaan syahwat. Godaan syubhat bisa ditolak dengan keyakinan (dalam memegangi kebenaran), sedangkan godaan syahwat bisa ditolak dengan kesabaran (dalam ketaatan).
Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada dua hal ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةً يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْۖ وَكَانُواْ بَِٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)
Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan akan diperoleh kepemimpinan dalam agama. Allah subhanahu wa ta’ala juga memadukan keduanya dalam firman-Nya,
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
“Dan mereka saling mewasiatkan dalam kebenaran dan mewasiatkan dalam kesabaran.” (al-Ashr: 3)
Baca juga:
Mereka saling mewasiati dengan kebenaran yang dapat mengusir syubhat dan mewasiati dengan kesabaran yang dapat menahan dari syahwat. Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala memadukan keduanya pula dalam ayat-Nya,
وَٱذۡكُرۡ عِبَٰدَنَآ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ أُوْلِي ٱلۡأَيۡدِي وَٱلۡأَبۡصَٰرِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang mempunyai al-aidi dan al-abshar.” (Shad: 45)
Al-aidi artinya kekuatan dan tekad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan al-abshar adalah pandangan dalam urusan agama Allah subhanahu wa ta’ala. Ungkapan salaf berkisar dalam dua hal ini.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata,
أُولِي الْقُوَّةِ فِي طَاعَةِ اللهِ وَالْمَعْرِفَةِ بِاللهِ
“Maksudnya, yang memiliki kekuatan dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala.”
Baca juga:
Al-Kalbi rahimahullah berkata, “Maksudnya, yang memiliki kekuatan dalam ibadah dan pandangan ilmu di dalamnya.”
Mujahid rahimahullah berkata,
الْأَيْدِي: الْقُوّةُ فِي طَاعَةِ اللهِ، وَالْأَبْصَارُ: الْبَصَرُ فِي الْحَقِّ
“Al-aidi adalah kekuatan dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun al-abshar adalah ilmu dalam kebenaran.”
Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Al-aidi adalah kekuatan dalam beramal, sedangkan al-abshar adalah pandangan ilmu dalam urusan agama yang mereka ada padanya.”
Baca juga:
Dalam hadits yang mursal disebutkan,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْبَصَرَ النَّافِذَ عِنْدَ وُرُودِ الشُّبُهَاتِ وَيُحِبُّ الْعَقْلَ الْكَامِلَ عِنْدَ حُلُولِ الشَّهَوَاتِ
“Sesungguhnya Allah menyukai pandangan yang tajam saat datangnya syubhat dan akal yang sempurna saat datangnya syahwat.”
Kesempurnaan akal dan kesabaran akan menepis godaan syahwat, sedangkan kesempurnaan ilmu dan keyakinan menepis godaan syubhat.
Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang dimintai pertolongan.