Menikah Dalam Lingkaran Fitnah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin)

Menikah, sebagaimana praktik ibadah lainnya dalam Islam, juga terkepung oleh pelbagai penyimpangan. Bagaimana sesungguhnya “menikah” dalam kacamata Islam?

‘Imran bin Hiththan bin Zhabyan, seorang tabiin. Sebelum badai fitnah menghantam, ia seorang yang masyhur dengan menuntut ilmu dan hadits. Lantas, petaka pun tiba. Berawal dari dorongan hasratnya untuk menyadarkan putri pamannya, Hamnah, dari kungkungan paham Khawarij yang menyelimutinya. Ia pun beranjak coba merajut angan. Ia melangkah, mengikat tali kasih dengan putri berparas ayu Kharijiyah. Namun, angan tinggal angan. Citanya semula yang hendak menyadarkan Hamnah dari pemahaman Khawarij, ternyata sirna. Dirinya terfitnah. Pemahaman Khawarij sang istri justru menggerus benaknya. Lunturlah pemahaman Ahlus Sunnah yang lekat padanya. Jadilah ia seorang Khawarij. Ibnu Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, semula termasuk orang yang dijuluki ‘mata para ulama’, akan tetapi kini ia berubah menjadi seorang tokoh papan atas Khawarij. (Lihat Siyar A’lamin Nubala`, Adz-Dzahabi, 4/114-115, Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 3/317-318)

Sesungguhnya hati manusia semuanya ada di antara dua jari jemari Ar-Rahman. Jika menghendaki, Allah l bisa memalingkan setiap hati manusia sesuai yang Dia kehendaki. Hendaknya setiap manusia merasa dirinya tidak aman dari fitnah. Ketergelinciran hati manusia bisa disebabkan dari arah manapun. Inilah yang harus diwaspadai. Tak menutup kemungkinan pula ketergelinciran hati seseorang disebabkan karena pernikahan. Berapa banyak orang yang terjatuh pada kesyirikan, lantaran pernikahan dan prosesi yang menyertainya. Berapa banyak pula, disadari atau tidak, mereka terjatuh pada kemaksiatan. Menyadari hati yang bisa berubah-ubah, lemah, mudah terwarnai keadaan dan perlu tiang pancang nan kokoh, hendaknya seorang yang beriman kembali pada apa yang telah dituntunkan Rasulullah n. Berdasar hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, ia pernah mendengar Rasulullah n bersabda:

إِنَّ قُلُوبَ بَـنـِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِـعِ الرَّحْمَنِ كَـقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَـشَاءُ. ثُمَّ قَـالَ رَسُولُ اللهِ n: اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Sesungguhnya hati Bani Adam semuanya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman, seperti hati satu orang, Dia palingkan kemana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah n bersabda: “Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)

Demikianlah yang dituntunkan Rasulullah n. Memohon diberi ketetapan hati untuk senantiasa kokoh ada dalam ketaatan pada-Nya. Taat dalam setiap keadaan, termasuk saat menginjak ke pelaminan. Hingga dengan pernikahan tersebut, seseorang bisa menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk meraup keteguhan iman. Pernikahan tersebut benar-benar menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah l. Karena, nikah itu adalah sepenggal bentuk ibadah, yang merupakan bentuk pengamalan Sunnah Rasulullah n. Kata Rasulullah n:

وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik z)

Becerminlah dari Ummu Sulaim x, seorang shahabiyah yang mulia. Ia menjadikan pernikahannya mampu mengantarkan kebaikan bagi dirinya, suaminya, kehidupan rumah tangganya, dan dakwah secara umum. Anas bin Malik z bertutur:

تَزَوَّجَ أَبُو طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَكَانَ صَدَاقُ مَا بَيْنَهُمَا الْإِسْلَامَ، أَسْلَمَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ قَبْلَ أَبِي طَلْحَةَ فَخَطَبَهَا فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، فَإِنْ أَسْلَمْتَ نَكَحْتُكَ. فَأَسْلَمَ فَكَانَ صَدَاقَ مَا بَيْنَهُمَا

“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Yang menjadi mahar bagi pernikahan keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim memeluk Islam sebelum Abu Thalhah. Maka, Abu Thalhah pun lantas melamar Ummu Sulaim. Kata Ummu Sulaim, ‘Sungguh aku telah memeluk Islam. Jika engkau hendak menikahiku, engkau harus memeluk Islam terlebih dulu.’ Kemudian Abu Thalhah pun memeluk Islam. Keislamannya itu menjadi mahar (dalam pernikahan) keduanya.” (HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya, no. 3340. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menshahihkan hadits ini)

Dalam riwayat lain dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: “Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim. Maka, Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang yang sepertimu, wahai Abu Thalhah, tidak layak ditolak. Tetapi engkau lelaki kafir, sedangkan aku seorang muslimah. Tak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika engkau mau memeluk Islam, maka (keislamanmu) itu sebagai maharku. Aku tidak meminta yang selainnya.’ Lantas Abu Thalhah pun memeluk Islam dan itulah yang menjadi maharnya.” Tsabit berkata: “Tidak pernah aku mendengar sama sekali tentang mahar yang lebih mulia dari yang diberikan kepada Ummu Sulaim, yakni Islam.” (Sunan An-Nasa`i, no. hadits 3341 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t)

Asy-Syaikh Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari hafizhahullah (salah seorang ulama terkemuka di Yaman), terkait kisah hadits di atas, memberikan nasihat yang laik dicamkan benar-benar oleh kaum muslimin. Kata beliau hafizhahullah, “Begitulah yang semestinya diucapkan seorang muslimah. Dia tidak tertipu dengan harta kekayaan yang dimiliki pihak lelaki. Padahal, Abu Thalhah tergolong orang Anshar yang kaya harta. (Namun demikian) Ummu Sulaim tidak meminta harta kekayaan yang banyak dari Abu Thalhah. Tidak meminta perhiasan emas, tidak juga yang lainnya. Yang diminta hanyalah dia (Abu Thalhah) memeluk Islam karena Allah Rabbul ‘alamin, sekaligus dijadikan mahar baginya. Abu Thalhah pun memeluk Islam. Allah l telah menjadikannya seorang laki-laki beriman, shalih dan membantu (perjuangan) agama hingga Allah l mewafatkannya dalam Islam. Dengan (kecerdasan) akal seorang wanita beriman ini dan dengan keimanannya (Ummu Sulaim), ia menjadi pria tangguh, kokoh, dan berserah diri.” (Ni’matuz Zawaj wa Shalahuz Zaujaini, Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari, hal. 9)

Adapun larangan seorang muslimah dinikahkan dengan seorang laki-laki musyrik telah nyata dalilnya. Terkait masalah ini, Asy-Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menyatakan bahwa pengharaman menikahkan muslimah dengan laki-laki musyrik, sama saja baik laki-laki tersebut mubtadi’ (melakukan bid’ah yang menjadikan dia musyrik, pen.) atau selainnya, maka hujjah dalam masalah ini jelas berdasar Al-Kitab dan ijma’ (kesepakatan) umat. Allah l berfirman:

“Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)

Allah l juga berfirman:

“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak pula halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)

Maka, sungguh telah nyata kedua ayat di atas mengharamkan pernikahan muslimah terhadap orang kafir dan musyrik secara mutlak. Sama saja, baik dia seorang ahli kitab atau paganis (penyembah berhala) yang tidak memiliki kitab (bukan ahli kitab), tetap haram.” (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 377)

Sedangkan pengharaman seorang muslim menikah dengan wanita kafir musyrikah, berdasar firman Allah l:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)

Juga firman Allah l:

“Dan janganlah kamu tetap berpegang kepada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10)

Dua ayat tersebut menjadi dalil atas pengharaman menikahi wanita musyrikah secara umum oleh kaum muslimin. Allah l mengecualikan yang demikian terhadap wanita-wanita ahli kitab, berdasar firman-Nya:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Ma`idah: 5)

Maka, selama Allah l berikan keringanan dalam masalah menikahi para wanita ahli kitab, hal itu menjadi boleh. Adapun selain mereka, dari kalangan wanita-wanita musyrikah, larangan menikahi mereka tetap berlaku berdasar keumumannya. Seperti, (larangan menikahi) wanita-wanita penyembah berhala, patung-patung, bintang-bintang, dan api. Termasuk dalam hal ini, menghukumi mereka dari kalangan wanita-wanita pelaku kesyirikan dari kalangan ahli bid’ah, dihukumi karena kekafiran mereka. Hal ini jika mengaitkan para wanita tersebut kepada Islam. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 374)

Diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, atsar yang dinukil dari para imam salaf menunjukkan keharaman menikahi ahli bid’ah yang telah sampai batas ambang kekafiran. Seperti, Jahmiyah dan Qadariyah… Maka tidak boleh menikahkan mereka kepada para wanita Ahlus Sunnah disebabkan kekufurannya. Apabila telah telanjur menikahkannya, maka wajib fasakh (membatalkan) pernikahannya ketika itu juga.

Terkait Syiah Rafidhah, beliau hafizhahullah menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (dalam Majmu’ Fatawa, 32/61) saat menjawab pertanyaan tentang hukum menikah dengan Rafidhi (penganut paham Rafidhah, ed.) dan orang yang mengatakan tidak wajib shalat lima waktu. Kata Syaikhul Islam: “Tidak boleh seseorang menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya kepada seorang Rafidhi dan yang meninggalkan shalat. (Bila) saat menikahkannya atas dasar (pengetahuan) sesungguhnya dia seorang Sunni, menunaikan shalat lima waktu, kemudian diketahui bahwa dia seorang Rafidhi dan meninggalkan shalat, maka mereka harus mem-fasakh pernikahan tersebut.” (Ibid, hal. 380)

Dalam masalah pernikahan, Syiah menganut pemahaman membolehkan nikah mut’ah. Terjadi nikah mut’ah manakala seorang lelaki menikahi wanita dalam jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tertentu itu habis, maka selesailah ikatan pernikahan tersebut. Tidak membutuhkan talak. Tidak ada nafkah bagi wanita itu. Tidak ada beban tanggung jawab pada laki-laki terhadap anak-anak yang dilahirkan wanita tersebut (karena hubungan keduanya). Tidak pula mewarisi (harta) dari laki-laki tersebut. Ini model pernikahan jahiliah. (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitabun Nikah, hal. 340)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Nabi n telah mengharamkan mut’ah pada perang Khaibar, yaitu tahun ketujuh dari hijrah. Setelah perjanjian Hudaibiyyah, sebelum Fathu Makkah. Kemudian saat perang Authas (nama tempat dekat kota Tha`if), disebut juga perang Hunain, tahun kedelapan hijrah, Nabi n membolehkan mut’ah selama tiga hari sebagai bentuk rukhshah (keringanan). At-Tarkhish (rukhshah) artinya dibolehkan sesuatu yang asalnya terlarang dengan disertai adanya sebab yang membahayakan. Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan ulama bahwa nikah mut’ah adalah batil. Dibolehkan saat diberlakukan rukhshah (pada masa Nabi n, pen.) dan setelah itu rukhshah itu dihapus. Yang masih memberlakukan nikah mut’ah ini hingga sekarang adalah Syiah Rafidhah.” (Tashilul Ilmam, hal. 340-341)

Rasulullah n telah secara tegas melarang nikah mut’ah. Dari Salamah bin Al-Akwa’ z, berkata:

رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ n عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

“Rasulullah n pernah memberi rukhshah (keringanan) pada tahun Authas dalam masalah mut’ah selama tiga hari, lalu melarangnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 1405)

Diriwayatkan dari Ali z, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

“Rasulullah n telah melarang mut’ah pada hari Khaibar. Beliau juga melarang makan daging keledai jinak pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 4216, dan Muslim dalam Shahih-nya, no. 1407)

 

Pernikahan dalam Adat Jawa

Pernikahan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Masyarakat Jawa meyakini bahwa saat peralihan dari tingkat sosial yang satu ke yang lain, merupakan saat-saat berbahaya. Karenanya, untuk mendapatkan keselamatan hidup, dilakukan upacara-upacara. Menjadi manten (pengantin) merupakan bagian dari peralihan itu sendiri. Tradisi yang berlangsung biasanya berupa petung, prosesi, dan sesaji.

Petung adalah musyawarah untuk memutuskan suatu acara penting dalam keluarga. Petung dina lazim dilakukan untuk menentukan hari baik pada acara hajatan, seperti hari penikahan. Selain melihat calon mempelai dari kriteria bibit (keturunan), bobot (berat, yakni dilihat dari harta bendanya), bebet (kedudukan sosialnya: priayi, rakyat biasa, atau status sosial lainnya), juga ditentukan melalui pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah pedoman menentukan jodoh berdasar nama, hari kelahiran, dan neptu (jumlah nilai hari kelahiran dan nilai pasarannya: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage). Melalui perhitungan-perhitungan yang didasarkan Primbon Betaljemur Adammakna, maka kedua mempelai akan ditentukan baik buruknya perjodohan.

Selain itu, dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa masih meyakini peristiwa kejugrugan gunung. Yaitu peristiwa kematian atau kecelakaan salah satu anggota keluarga dekat mempelai pengantin. Peristiwa itu diyakini sebagai isyarat buruk dari pernikahan yang akan dilakukan.

Termasuk kepercayaan baik-buruk dalam masalah pernikahan, dalam tradisi masyarakat Jawa masih ada yang meyakini bulan-bulan baik untuk pernikahan yaitu Rejeb dan Besar. Bulan-bulan buruk yaitu Jumadil Awal, Pasa, Sura, dan Sapar. (Lihat Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Dr. Purwadi, dkk, Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa, Vol. I, No. 2)

Bagaimana pandangan syariat terhadap keyakinan-keyakinan seperti di atas?

Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam, menyebutkan bahwa umat tertimpa malapetaka dengan tathayyur sejak menyimpang dari beribadah kepada Allah l. Tathayyur adalah (anggapan) kesialan. Sungguh, orang-orang sesat telah sampai kepada masalah penetapan kesialan hingga taraf yang membahayakan. Pada sebagian orang, nasib sial ditentukan karena waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, misal angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung, seperti dengan burung hantu, gagak, dan lainnya… Ketahuilah, tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) adalah termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah l. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)

Allah l berfirman:

“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 131)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z secara marfu’:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan tak seorangpun di antara kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya dengan tawakal (kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 3910, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdulwahhab menyatakan (terkait hadits di atas) bahwa hal ini menjadi penjelas perihal pengharaman thiyarah. Karena hal itu termasuk syirik, terkait dengan menggantungkan hati kepada selain Allah l. Dikatakan dalam Syarhus Sunnah, bahwa thiyarah dikategorikan sebagai syirik karena mereka meyakini, sesungguhnya thiyarah bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudarat pada mereka, jika mereka telah mengamalkan apa yang diharuskan. Maka, hal ini seperti mereka menyekutukan (sesuatu) bersama Allah l. Al-Imam Ahmad t meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr, (bahwa Rasulullah n bersabda yang artinya): “Barangsiapa yang mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah melakukan kesyirikan.” Para sahabat bertanya, “Maka, apa kaffarah (tebusan) untuk hal itu?” Beliau n menjawab:

اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tidak ada ilah (sesembahan yang berhak diibadahi) kecuali Engkau.” (Lihat Fathul Majid, hal. 287)

Mudah-mudahan dengan menjaga prosesi pernikahan dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, pernikahan pun jadi diberkahi Allah l. Biduk rumah tangga pun siap melaju dengan diiringi keikhlasan, kesabaran, dan tawakal kepada Allah l.

Wallahu a’lam. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.