Menikah Disyariatkan Ketika Dibutuhkan

Apakah ada batasan usia layak menikah bagi pemuda dan pemudi?

Apakah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum poligami?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab[1],

“Tidak ada batasan usia tertentu untuk menikah. Perkaranya kembali kepada kebutuhan untuk menikah. Bila seorang pemuda atau pemudi butuh untuk menikah dalam usia berapa saja, maka disyariatkan kepada keduanya untuk menikah, tanpa membatasi umur, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرَجِ

Wahai sekalian pemuda! Siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, hendaknyalah menikah. Sebab, menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Secara umum pernikahan dilakukan setelah seseorang baligh. Akan tetapi, seandainya seorang pemuda menikah sebelum usia baligh, atau pemudi dinikahkan sebelum baligh, maka tidak ada larangan dalam hal ini. Sebab, tidak ada batasan usia layak menikah yang jika seseorang belum mencapai usia tersebut maka belum boleh menikah. Namun, saat baligh, kebutuhan untuk menikah lebih kuat. Kesimpulannya, pernikahan disyariatkan ketika ada kebutuhan untuk melakukannya.

Adapun masalah poligami, kebolehannya disepakati oleh kaum muslimin tanpa ada perbedaan pendapat, berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), nikahilah perempuan-perempuan lain yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Namun, jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, nikahilah seorang perempuan saja atau budak-budak yang kalian miliki.” (an-Nisa: 3)

Poligami disepakati kebolehannya oleh ahlul ilmi, dengan syarat si lelaki menyakini dirinya dapat memenuhi kebutuhan para istri berupa nafkah belanja, pakaian, dan tempat tinggal.

Jika si lelaki dapat memenuhi kebutuhan para istri, dia boleh menikahi sampai empat wanita. Namun,apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan istri dan khawatir berbuat curang dalam hal pembagian di antara para istri, dalam hal pemberian nafkah belanja, dan dalam hal pergaulan, dia mencukupkan dirinya dengan satu istri.

فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً

Jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, nikahilah seorang perempuan saja…”

Yang dimaksud ‘adil’ dalam ayat di atas adalah adil dalam hal bergaul dengan istri, dalam hal pemberian nafkah belanja, tempat tinggal dan pakaian, serta halhal lain yang mampu diterapkan keadilan padanya.

Adapun kecondongan dan kecintaan hati, tidak ada seorang manusia pun yang sanggup mengaturnya (sehingga tidak mungkin seorang suami dituntut menyamakan cintanya kepada para istrinya –pent.).

Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang lebih kalian cintai sehingga membiarkan istri yang lain (yang tidak atau kurang dicintai) terkatung-katung (tidak dipergauli dengan baik, namun tidak juga diceraikan –pent.)….” (an-Nisa: 129)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi di antara istri-istrinya dan beliau berbuat adil. Beliau berkata,

اللَّهُمَّ هَذَا قِسْمِي فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمَّنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ

“Ya Allah, inilah pembagianku dalam apa yang aku mampu. Janganlah Engkau mencelaku dalam apa yang Engkau kuasa sementara aku tidak kuasa.” (HR. Ashabus Sunan yang empat, dinyatakan sanadnya jayyid oleh al-Albani, al-Misykat no. 3235)

Yang beliau maksud dengan ‘yang aku tidak mampu’ adalah kecondongan dan kecintaaan kalbu. Karena itu, seorang lelaki tidak berdosa apabila dia lebih mencintai sebagian istrinya. Sebab, urusan cinta di luar kemampuannya (dia tidak bisa menguasai dan mengaturnya).

Dia dihukumi berdosa hanyalah ketika berlaku curang dan tidak adil dalam hal pembagian di antara para istri (dalam urusan yang disanggupi untuk berlaku adil). Hal inilah yang membuat seseorang berdosa apabila tidak adil. Hal ini pula yang membuat seseorang tidak boleh berpoligami, yakni ketika tidak sanggup berbuat adil.

Batasan poligami dengan empat istri merupakan hal yang disepakati. Bila ada pendapat yang mengatakan boleh menikahi lebih dari empat istri, pendapat tersebut ganjil. Ijma’ (kesepakatan) ulama menyelisihi pendapat yang ganjil tersebut. (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh, 2/529530)

 


Nikah Paksa

Apa hukumnya seorang pemudi atau pemuda menikah dengan paksaan keluarganya? Boleh atau tidak, mendurhakai (tidak menurut) kedua orang tua dalam hal ini?

Jawab:

Yang pertama, tidak sepantasnya seseorang dipaksa untuk menikah, baik dia lelaki maupun perempuan. Semestinya seseorang menikah karena keinginannya sendiri.

Terkait dengan masalah tidak menuruti orang tua dalam hal ini, perlu dirinci.

Apabila wanita yang dijodohkan denganmu oleh ayahmu secara paksa itu atau lelaki yang dijodohkan oleh seorang ayah dengan putrinya secara paksa, tidak cocok dari sisi agama[2], orang tua tidak boleh ditaati dalam hal ini. Sebab, ini berarti urusan maksiat, padahal tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada al-Khaliq.

Apabila seseorang menolak pasangan yang dijodohkan dengannya oleh orang tua bukan karena alasan agama, melainkan alasan yang lain, bisa jadi karena perangai atau hal lain yang tidak terkait agama, sebaiknya engkau menaati orang tuamu. Bisa jadi, hal itu baik bagimu.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ

“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu padahal itu lebih baik bagi kalian.” (al-Baqarah: 216)

فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩

“Jika kalian tidak menyukai mereka (para istri), (bersabarlah) karena bisa jadi kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)

Bisa jadi, ayahmu memiliki pandangan yang lebih baik dan lebih jauh daripada dirimu untuk kebaikan di kemudian hari.

Jadi, apabila ketidaksukaanmu kepada istri atau ketidaksukaan istri kepada suami (karena nikah paksa) bukan karena alasan agama, yang lebih baik dia mematuhi ayahnya. Dia tetap melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan dalam pernikahan itu ada kebaikan, insya Allah.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh, 2/540541)

[1] Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikutnya juga dari fatwa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah.

[2] Maksudnya, orang yang akan dijodohkan itu tidak bagus agamanya, padahal syariat memerintahkan untuk memilih pasangan yang agamanya baik. (-pent.)