Mensyukuri Kebaikan Orang Lain

Mensyukuri Kebaikan Orang Lain

Seorang hamba yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan meyakini bahwa nikmat yang didapat, baik duniawi maupun ukhrawi, lahir maupun batin, adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan dalam Al-Qur’an,

وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيۡهِ تَجۡ‍َٔرُونَ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (an-Nahl: 53)

وَأَسۡبَغَ عَلَيۡكُمۡ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةًۗ

“Dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin….” (Luqman: 20)

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang melimpahkan kepada kalian (para hamba, -ed.) nikmat-nikmat-Nya lahir maupun batin, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui, baik nikmat dunia maupun agama, baik manfaat maupun hilangnya marabahaya. Kewajiban kalian adalah mensyukuri nikmat ini dengan cara mencintai Pemberi nikmat, tunduk terhadap-Nya, menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak menggunakannya untuk berbuat durhaka kepada-Nya. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 649)

Baca juga: Kewajiban Mensyukuri Nikmat

Demikian pula, tidak ada yang mengetahui jumlah dan jenis nikmat-nikmat itu kecuali Allah azza wa jalla. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلۡتُمُوهُۚ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)

Syukur, Kewajiban Hamba

Setelah kita meyakini dan menyadari bahwa semua kenikmatan yang ada pada diri kita adalah karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala, kewajiban kita adalah bersyukur kepada-Nya akan nikmat tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa perintah untuk orang-orang yang beriman secara khusus setelah perintah-Nya yang umum (al-Baqarah ayat 168, pent.), karena kaum mukminin akan mendapatkan manfaat secara hakiki dari perintah dan larangan (Allah) dengan sebab iman mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala memerintah mereka untuk memakan makanan yang baik dari rezeki-Nya dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat-Nya dengan menggunakannya dalam ketaatan dan untuk memperkuat diri supaya mampu mendekatkan diri kepada-Nya.

Baca juga: Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian

Di dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah mereka sebagaimana perintah-Nya terhadap para rasul alaihimus salam,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ

“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik dan beramallah dengan amalan saleh.” (al-Mu’minun: 51)

Makna syukur dalam ayat ini adalah beramal saleh… (sampai perkataan beliau):

Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Apabila kalian hanya beribadah kepada-Nya,” maknanya ‘bersyukurlah kalian kepada-Nya’. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala berarti tidak beribadah kepada-Nya semata. Sebagaimana orang yang bersyukur, berarti dia beribadah kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.

Demikian pula, firman Allah di atas menunjukkan bahwa memakan makanan yang baik akan menjadi sebab beramal dengan amalan saleh dan akan diterima.

Faedah lain, perintah untuk bersyukur setelah mendapatkan nikmat. Artinya, syukur akan menjaga nikmat yang sudah didapatkan dan akan mendatangkan nikmat lainnya. Sebagaimana halnya mengkufuri nikmat menyebabkan nikmat yang belum didapatkan akan menjauh dan menghilangkan nikmat yang sudah didapat.

Baca juga: Kisah Kaum Saba; Nikmat Berganti Petaka

Dia subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam firmanNya,

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Syaikh as-Sa’di menjelaskan makna surah Ibrahim ayat 7 di atas dalam tafsirnya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa di antara azab-Nya adalah Allah subhanahu wa ta’ala akan menghilangkan nikmat tersebut dari mereka. Sebab, makna syukur adalah pengakuan hati terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, memuji Allah subhanahu wa ta’ala karenanya, dan menggunakannya dalam urusan yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala; sedangkan kufur (nikmat) adalah sebaliknya.

Hakikat Syukur

Dari penjelasan di atas, apakah hakikat syukur?

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Madarijus Salikin (2/244),

“Hakikat syukur dalam peribadatan adalah tampaknya pengaruh baik dari nikmat Allah subhanahu wa ta’ala (1) pada lisan para hamba-Nya, dalam bentuk pujian dan pengakuan, (2) dalam hatinya berupa persaksian dan kecintaan, dan (3) pada anggota badannya berupa ketundukan dan ketaatan.”

Syukur itu dibangun atas lima kaidah:

  1. Ketundukan (hamba) yang bersyukur kepada Dzat yang disyukuri (Allah),
  2. Mencintai-Nya,
  3. Mengakui nikmat yang dikaruniakan-Nya,
  4. Memuji-Nya karena nikmat tersebut,
  5. Tidak menggunakan nikmat tersebut pada perkara yang Allah benci.

Inilah lima kaidah rasa syukur. Tatkala hilang salah satunya, akan rusak kaidah lainnya. Setiap orang yang berbicara tentang syukur dan pengertiannya, pasti akan kembali dan berkisar pada kaidah di atas.

Mensyukuri Orang yang Memberi Kebaikan, Konsekuensi Syukur kepada Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini dalam sebuah hadits,

لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad; dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)

Ibnu Muflih rahimahullah berkata tentang makna hadits ini, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan-Nya apabila hamba itu tidak mensyukuri (berterima kasih) kebaikan orang lain (kepadanya) dan justru mengkufurinya. Sebab, dua hal ini saling berkaitan.” (al-Adabu asy-Syar’iyah, hlm. 296)

Baca juga: Antara Syukur dan Kufur Nikmat

Di antara contoh perintah untuk bersyukur kepada pihak yang telah memberi kebaikan dalam urusan dunia dan agama.

  1. Perintah untuk bersyukur kepada kedua orang tua

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)

Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa bersyukur/berterima kasih (terhadap kebaikan kedua orangtua) ialah dengan berbuat baik kepada keduanya, baik dalam bentuk ucapan yang lemah lembut maupun perilaku yang baik dengan menaati, memuliakan, menghormati, membantu pekerjaannya, dan menjauhi segala sesuatu yang dapat menyakiti hati mereka berdua.

Baca juga: Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?’

Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu.’

Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’

Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu.’

Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’

Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu.’

Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’

Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ayahmu’.” (Muttafaqun alaih)

  1. Perintah kepada istri untuk bersyukur kepada suaminya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang sebagian hak suami-istri,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ

“Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).” (an-Nisa: 24)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ.

“Wahai sekalian para wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istigfar, karena sesungguhnya aku melihat kebanyakan para penghuni neraka dari kalangan kalian.”

فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ: وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟

Salah seorang wanita yang cerdas bertanya, “Mengapa kita menjadi mayoritas penghuni neraka?”

قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ.

Beliau menjawab, “(Karena) kalian banyak melaknati dan mengkufuri kebaikan para suami. Tidaklah aku melihat para wanita yang kurang akal dan agamanya tetapi bisa mengalahkan orang berakal dibandingkan kalian.”

Baca juga: Hak Suami dalam Islam

قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ؟

Dia kembali bertanya, “Apa yang dimaksud kurang akal dan agama?”

قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ: فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِيَ مَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ

Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Persaksian dua orang wanita sebanding dengan satu laki-laki; ini adalah kekurangan akal. Seorang wanita (yang sedang haid) melewati beberapa hari tanpa mengerjakan shalat dan puasa Ramadhan; ini adalah kekurangan agama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sisi pendalilan hadits yang mulia ini adalah salah satu sebab kebanyakan penghuni neraka itu para wanita adalah karena mereka mengkufuri kebaikan para suami. Karena itu, berdasarkan hadits di atas, para istri diperintah untuk banyak bersyukur kepada suami mereka.

  1. Perintah untuk bersyukur kepada guru karena Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang salah satu keutamaan para pendidik agama,

إنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأهْلَ السَّماوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ في جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الخَيْرَ

“Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi bahkan sampai semut-semut di liangnya dan ikan-ikan; sungguh mereka mendoakan kebaikan bagi para pengajar kebaikan terhadap umat manusia.”

Di dalam hadits lain,

وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِي الْمَاءِ

“Sungguh, seorang alim akan dimintakan ampun (kepada Allah) oleh seluruh penduduk langit dan bumi; sampaipun ikan-ikan di dalam air (juga memohonkan ampun baginya).” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari Abud Darda radhiallahu anhu)

Baca juga: Kemurnian Agama Terjaga dengan Peringatan Ulama

Para ulama salaf menjelaskan tentang perhatian, kepedulian, dan kasih sayang para ulama syariat terhadap umat manusia yang mengharuskan untuk bersyukur kepada mereka karena Allah azza wa jalla.

Di antaranya adalah ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah, “Para ulama itu lebih sayang terhadap umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam daripada kasih sayang bapak dan ibu mereka.”

Beliau ditanya, “Bagaimana itu?”

Beliau menjawab, “Karena bapak dan ibu mereka menjaga mereka dari api dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api akhirat (neraka).”

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang ternak (tidak dapat membedakan halal dan haram).”

Ucapan Syukur untuk Kerajaan Arab Saudi

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

“Barang siapa diberi kebaikan lalu dia mendoakan kebaikan bagi pemberinya, ‘Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang lebih baik,’ sungguh dia telah bersungguh-sungguh memujinya.” (HR. at-Tirmidzi)

Berkaitan hadits di atas, Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan, maknanya dia telah bersungguh-sungguh memujinya. Dia membalas orang lain dengan yang lebih baik daripada kebaikan yang telah diberikan kepadanya dengan cara dia menampakkan kelemahannya lalu dia menyerahkan (balasan itu) kepada Rabbnya. (Catatan kaki Syaikh berkaitan dengan hadits di atas)

Baca juga: Membalas Kebaikan Orang Lain

Berdasarkan hadits yang mulia dan hadits semisal ini, kita mengucapkan rasa syukur kita, bangsa Indonesia pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya, kepada Kerajaan Arab Saudi karena Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniai bangsa dan negara ini secara umum dan kaum muslimin secara khusus, melalui kerajaan pembela tauhid ini, baik dalam urusan dunia maupun agama, sebagaimana telah disebutkan dalam artikel “Kiprah Kerajaan Arab Saudi”.

Allah subhanahu wa ta’ala memerintah hamba-Nya untuk menceritakan nikmat-nikmat-Nya,

وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ

“Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (adh-Dhuha: 11)

Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, menyebut-nyebut (menceritakan) nikmat Allah subhanahu wa ta’ala itu akan mendorong seseorang untuk mensyukurinya dan mengharuskan hati untuk mencintai Dzat yang mengaruniakan nikmat tersebut. Hati sendiri memiliki tabiat mencintai pihak yang telah memberikan kebaikan kepadanya.

Dengan penjelasan ini, penulis mengajak seluruh kaum muslimin di Indonesia untuk bersyukur atas kebaikan dan kepedulian Kerajaan Arab Saudi karena Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Baca juga: Kepedulian Arab Saudi Terhadap Kaum Muslimin

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menjaga negara Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi dari seluruh kejelekan dan kejahatan para musuhnya.

Amin ya Rabbal ‘alamin.

 

Ditulis oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan