Menumpas Musailamah al-Kadzdzab (2)

Awal Pertempuran

Pasukan muslimin akhirnya bertemu dengan pasukan Musailamah di Aqriba’. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah pasukan muslimin ketika itu sekitar belasan ribu orang, sedangkan pengikut Musailamah al-Kadzdzab hampir seratus ribu orang. Bendera Muhajirin dipegang oleh Salim, maula Abu Hudzaifah. Sebelum itu, bendera ada di tangan ‘Abdullah bin Hafsh bin Ghanim hingga beliau gugur. Kaum muslimin juga mengkhawatirkan keselamatan Salim, tetapi kata Salim, “Kalau begitu (kalau aku mencari selamat) aku adalah pembawa al-Qur’an yang paling buruk.”

Bendera Anshar dibawa oleh Tsabit bin Qais bin Syammas. Demikianlah suku-suku Arab lainnya, mereka berada di bawah bendera masing-masing bersama pemimpin mereka.

Setelah kedua pasukan saling berhadapan, Musailamah berkata di hadapan pengikutnya, “Hari ini adalah hari kecemburuan. Hari, yang kalau kalian kalah, istri-istri kalian akan dinikahi sebagai tawanan, tanpa mahar. Karena itu, bertempurlah demi kehormatan kalian dan belalah istri-istri kalian.”

Peperangan mulai berkobar, beberapa kabilah Arab kocar-kacir menerima serangan pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Mereka melarikan diri dari gelanggang pertempuran.

Denting pedang dan tombak masih menggema di tanah Yamamah. Ringkik kuda yang menari-nari di tengah-tengah kedua pasukan dan jerit kematian mengoyak cakrawala siang itu. Bumi Yamamah mulai dibasahi darah kedua pasukan, yang satu demi membela harga diri, yang lain demi menegakkan Kalam Ilahi.

Orang-orang Arab pengikut Musailamah terus menyerang sampai mendekati kemah Khalid, bahkan hampir membunuh istrinya, Ummu Tamim. Tetapi, wanita itu diselamatkan oleh Majja’ah, katanya, “Sebaik-baik wanita merdeka adalah wanita ini.”

Melihat kepanikan di barisan muslimin, sebagian sahabat saling menegur. Tsabit berkata, “Alangkah buruknya yang dibiasakan teman kalian. Bukan begini kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Tsabit segera menyiapkan dirinya dengan perlengkapan jenazah dan menggali lubang hingga betisnya, lalu berdiri di dalamnya sambil tetap memegang bendera Anshar. Tidak ada satu pun prajurit musuh yang mendekat kecuali terkena sabetan pedangnya.

Satu per satu musuh berjatuhan di tangan Tsabit, hingga Allah Subhanahu wata’ala menjalankan ketetapan-Nya, bahwa Tsabit harus pulang menghadap, meraih janji yang sudah disediakan. Bertiuplah angin surga menyambar tubuh kasar Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Jasad kasar itu pun ambruk ke bumi, tetapi ruhnya dengan cepat menembus petala langit menghadap penciptanya, Allah ‘azza wa jalla. Semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhainya.

Dialah yang dahulu ketika mendengar firman Allah Subhanahu wata’ala,

يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآ لَاتَرْفَعُوآ اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْطِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَا لُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ۝

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (al-Hujurat: 2)

mengurung diri di rumahnya selama berhari-hari hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan. Kemudian, beliau menanyakan perihal Tsabit kepada sebagian sahabat.

Salah seorang sahabat (Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu) menyanggupi akan mencari keterangan tentang Tsabit. Sahabat itu menemui Tsabit yang ternyata sedang menangis sambil menundukkan kepalanya di dalam rumah. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Sa’d kepada Tsabit.

“Buruk,” kata Tsabit, “Kalian tahu, akulah yang paling keras suaranya melebihi suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan akulah yang selalu berbicara lantang kepada beliau. Sekarang amalanku gugur dan menjadi penduduk neraka.”

Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan ucapan Tsabit radhiyallahu ‘anhu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, “Tidak. Bahkan, sebetulnya dia termasuk penghuni surga.”1

Allahu Akbar.

Itulah hasil gemblengan wahyu melalui tangan mahaguru yang paling ahli mendidik jiwa manusia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adakah kita meyakini bahwa ayat-ayat itu ditujukan juga kepada kita, walaupun berkisah tentang orang-orang Yahudi, atau yang lainnya?

Duhai, kiranya kita merasakan pula apa yang dirasakan oleh Tsabit ketika melewati ayat demi ayat Kitab Suci al-Qur’an. Wallahul Musta’an.

Duhai, sangatlah pantas, Allah Subhanahu wata’ala memuliakan mereka dan menjadikan mereka sebagai anutan dan teladan bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik, niscaya memperoleh keridhaan sebagaimana pendahulu mereka yang saleh ini.

Kebun Maut2

Bani Hanifah semakin hebat menyerang kaum muslimin, hingga membuat kaum muslimin kepayahan. Satu demi satu para penghafal al-Qur’an di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berguguran sebagai kembang syuhada. Namun, pasukan musuh juga mulai kocar-kacir.

Musailamah al-Kadzdzab masih memompa semangat tempur para pengikutnya. “Maju terus, bela dan pertahankanlah kehormatan kalian, hai bani Hanifah!” teriaknya.

Sementara itu, para pengikut Musailamah mulai bertanya-tanya, “Mana yang kau janjikan kepada kami?”

Musailamah al-Kadzdzab hanya menjawab dengan dorongan untuk terus berperang membela harga diri mereka, jangan kalah dari Quraisy.

Perlahan tapi pasti, barisan muslimin yang tadi sempat kocar-kacir, mulai merapat. Di sana-sini terdengar seruan, “Hai para penghafal surat al-Baqarah, wahai penghafal al-Qur’an. Hari ini hancurlah sihir!”

Abu Hudzaifah pun berseru, “Hai para ahli al-Qur’an, hiasilah al-Qur’an dengan perbuatan kalian!”

Zaid bin al-Khaththab, saudara ‘Umar juga mengingatkan para pembawa al-Qur’an, agar bertempur dengan penuh semangat.

Sementara itu, Khalid sang panglima mulai maju ke kancah pertempuran. Khalid mencari keberadaan Musailamah. Beberapa saat belum menemukannya, Khalid mengatur barisan, dan mulai menantang duel satu lawan satu. Tidak ada musuh yang maju selain binasa di tangannya.

Perang semakin seru, sedangkan Khalid tetap menawarkan agar musuh kembali kepada al-haq. Namun, setan yang bercokol dalam diri Musailamah tidak menerima sedikit pun. Dia terus berusaha memutar leher Musailamah agar tetap dalam kekafiran.

Akhirnya, Khalid mengalihkan perhatian memisahkan orang-orang Arab dari Muhajirin dan Anshar. Para sahabat masih bertahan dengan kesabaran luar biasa dalam pertempuran itu. Mereka terus maju seolah-olah mengantarkan nyawa kepada musuh-musuh mereka sampai Allah Subhanahu wata’ala memberi kemenangan.

Perlahan tetapi pasti, kekalahan mulai membayangi pasukan si nabi palsu. Kaum muslimin terus mendesak lawan mereka. Pedang di tangan kaum muslimin menebas tanpa rintangan semaunya, hingga musuh masuk ke dalam kebun milik Musailamah al-Kadzdzab.

Kebun ini dinamai Hadiqatu Rahman, karena Musailamah mengangkat dirinya sebagai Rahmanul Yamamah. Gelar ini dikenal oleh bangsa Arab ketika itu. Namun, karena kelancangannya mencatut salah satu nama yang khusus bagi Allah Subhanahu wata’ala, Allah Subhanahu wata’ala pun menghinakannya dengan serendah-rendahnya.

Pengikut Musailamah al-Kadzdzab berlarian menuju kebun tersebut. Terdengar pula suara Muhkam bin Thufail memberi komando bani Hanifah agar segera menuju kebun itu. Adapun dia sendiri menghadang pasukan muslimin yang mengejar.

‘Abdurrahman bin Abi Bakr mendekati Muhkam, lalu melesatkan panahnya. Dengan deras panah itu meluncur hingga menembus leher Muhkam. Tubuh Muhkam ambruk, pengikutnya pun melarikan diri dan mengunci pintu kebun itu dari dalam.

Kaum muslimin tidak tinggal diam. Mereka maju mengepung benteng kebun itu.

Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu, saudara Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berseru, “Wahai kaum muslimin, lemparkan aku ke dalam kebun itu!”

Mereka pun dengan cekatan mengangkat tubuh Barra’ dalam alat pelempar, hingga melewati tembok kebun tersebut.

Sesampainya di dalam, Barra’ disambut oleh pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Namun, Barra’ tidak gentar. Ratusan orang itu dihadapinya seorang diri sampai dia berhasil membuka pintu gerbang kebun tersebut.

Dengan suara gegap gempita, kaum muslimin menerobos kebun itu. Tubuh-tubuh pengikut Musailamah al-Kadzdzab mulai bertumbangan. Musailamah al-Kadzdzab sendiri mencoba bersandar di dinding kebun itu sambil menutupi dirinya, bagai unta hijau. Saking marah dan kecewanya melihat kekalahan mulai membayang di depan matanya, Musailamah kehilangan akal.

Dengan cepat pula, Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu, yang dahulu pernah membunuh Hamzah radhiyallahu ‘anhu dalam Perang Uhud, melemparkan tombak yang dipakainya membunuh Hamzah. Tombak itu dengan telak bersarang di tubuh Musailamah al-Kadzdzab. Beberapa saat kemudian, seorang prajurit muslim lainnya, Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu, menebas tubuh nabi palsu itu sampai tersungkur ke tanah.

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari atas rumah Musailamah al-Kadzdzab, “Tolong! Amirul Mukminin dibunuh oleh budak hitam itu!”

Setelah peperangan agak reda, Khalid membawa Majja’ah yang terbelenggu ke medan pertempuran untuk menunjukkan mana Musailamah al-Kadzdzab. Ketika melewati Rajjal, Khalid bertanya, “Inikah Musailamah?”

“Bukan. Demi Allah, dia ini lebih baik daripada Musailamah. Ini Rajjal bin ‘Unfuwah.”

Kemudian mereka melewati satu tubuh yang ditembus tombak dan kepala putus, berkulit kuning dan bermuka buruk.

“Inilah dia,” kata Majja’ah.

“Semoga Allah memburukkan muka kalian. Manusia sejelek ini yang kalian ikuti?”

Setelah itu, Khalid mengirim pasukan berkuda mengambil yang tercecer dalam pertempuran itu, baik tawanan maupun perlengkapan. Beliau sendiri bertekad untuk menyerang benteng yang ada di Yamamah. Padahal, yang ada di sana hanya wanita, anak-anak, dan orang-orang yang sudah tua.

Majja’ah yang ingin menyelamatkan sisa-sisa kabilahnya berusaha mengecoh Khalid, “Di sana masih banyak prajurit, marilah buat perdamaian dengan saya dalam urusan mereka.”

Melihat keadaan kaum muslimin yang juga cukup payah, Khalid menerima tawaran tersebut.

“Biarkan saya ke sana untuk berunding.”

Sesampainya di sana, Majja’ah menyuruh kaum wanita mengenakan baju besi dan berdiri di puncak benteng, seolah-olah pasukan yang siap tempur.

Panglima Khalid melihat ke atas benteng, ternyata masih banyak ‘pasukan’ yang siap melanjutkan pertempuran, seperti yang diberitakan Majja’ah. Akhirnya Khalid menerima usul gencatan senjata dan berdamai, serta menawarkan Islam kepada mereka. Ternyata, mereka menerima dan semua kembali kepada al-haq. Sebagian tawanan yang telah dikuasai kaum muslimin pun dikembalikan. Adapun sisanya, dikirim kepada Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq di Madinah.

Dari salah seorang tawanan itu pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengambil seorang wanita yang kemudian melahirkan putranya Muhammad, yang dikenal dengan Muhammad ibnul Hanafiah. (insyaAllah bersambung)

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits

—————————————————

  1. HR. al-Bukhari (4846) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
  2. Tajul ‘Arus (6/310).
Kisah sahabatMusailamah