Merasa Cukup

merasa cukup

Tak ada satu makhluk melata pun melainkan Allah subhanahu wa ta’ala telah menanggung dan memberi rezekinya. Dia nyatakan hal ini dalam Tanzil-Nya,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلٌّ فِي كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Hud: 6)

Dia Yang Maha Pemberi Rezeki dengan nama-Nya yang husna, ar-Razzaq, telah membagi-bagikan rezeki tersebut kepada para hamba-Nya. Dia juga telah mencatatnya sejak mereka masih dalam kandungan sang ibu. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berikut ini.

حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ، قَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللهُ مَلَكًا يُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ ورِزْقَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. ثُمَّ يُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ …

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, dan beliau adalah orang yang jujur/benar lagi dibenarkan[1]. Beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya dalam tempo 40 hari. Kemudian 40 hari berikutnya menjadi segumpal darah. Lalu 40 hari berikutnya menjadi segumpal daging. Setelah itu Allah subhanahu wa ta’ala mengutus malaikat kepada bakal anak manusia tersebut dan diperintahkan kepadanya empat kata. Dikatakan kepada malaikat tersebut, ‘Catatlah amalnya, rezekinya, dan apakah ia orang yang sengsara ataukah orang yang berbahagia.’ Kemudian ditiupkanlah roh pada janin tersebut….” (HR. al-Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 6665)

Baca juga:

Iman Kepada Takdir Tidak Meniadakan Ikhtiar

Ada hamba yang diberi sedikit sesuai dengan keadilan Allah subhanahu wa ta’ala dan ilmu-Nya. Ada pula yang diberi banyak. Karena itu, ada yang kaya dan ada yang miskin dengan berbagai tingkatannya.

Sebagai hamba yang beriman, kita dituntut untuk ridha terhadap ketetapan Dzat Yang Mahaadil dan menerima pembagian-Nya dengan penuh kerelaan. Inilah sifat qanaah, salah satu akhlak mulia yang harus dimiliki seorang mukmin.

Akhlak ini termasuk sifat yang patut dimiliki oleh seorang istri yang salihah. Apabila seorang istri bisa bersifat qanaah, ia akan selalu bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala kemudian berterima kasih terhadap pemberian suaminya walaupun sedikit.

Sifat qanaah ini akan melahirkan sifat ‘iffah, yaitu tidak berambisi mendapatkan apa yang ada di tangan orang lain serta tidak mengeluhkan keadaan yang dialami selain kepada Allah.

Baca juga:

Iffah, Sebuah Kehormatan Diri

Alangkah berbahagia sebuah keluarga yang anggotanya memiliki sifat qanaah ini. Seorang suami merasa cukup dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala rezekikan kepadanya dan keluarganya sehingga ia senantiasa bersyukur kepada-Nya. Seorang istri merasa cukup dengan pemberian suaminya sehingga ia selalu bersyukur kepada Allah kemudian kepada suaminya.

Istri yang qanaah ini akan terbentengi dari kufrul ‘asyir, mengingkari kebaikan suami. Ini merupakan salah satu sebab banyaknya wanita menjadi penghuni neraka. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada para sahabatnya seusai menunaikan shalat Gerhana (Kusuf).

أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur[2]. Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah mereka kufur kepada Allah?”

“Tidak,” jawab beliau, “Mereka kufur kepada suami dan kufur terhadap kebaikan suami. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang tahun, lalu ia melihat padamu sesuatu (yang tidak disukainya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku belum pernah sama sekali melihat kebaikan darimu’.” (HR. al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)

Baca juga:

Hak Suami dalam Islam

Anak-anak yang tumbuh dalam asuhan dan didikan orang tua yang bersifat qanaah tentu akan terbiasa pula dengan sifat ini. Hal ini karena anak itu tumbuh sesuai dengan kebiasaan yang ditanamkan kepadanya. Sebagaimana kata orang Arab,

وَيَنْشَأُ نَاشِئُ الْفِتْيَانِ مِنَّا عَلَى مَا كَانَ عَوَّدَهُ أَبُوْهُ

“Tumbuhnya pemuda di kalangan kami adalah di atas apa yang dibiasakan oleh ayahnya.”

Sungguh, banyak suami yang terjatuh dalam kejahatan, berbuat curang, dan menipu karena tuntutan istrinya. Ketika melihat tetangganya memiliki perabot yang bagus dan baru, si istri pun merengek minta yang sama kepada suaminya. “Si Fulanah punya ini dan itu…, masak kita ndak punya?!”

Atau mencak-mencak kepada suaminya, “Si Allanah suaminya baik banget. Semua keinginannya dipenuhi. Minta mebel baru, dibelikan. Minta kulkas, dibelikan. Minta rice cooker, dibawain…. sementara kamu pelit banget sama aku! Aku minta ganti perabot baru, nggak pernah dipenuhi!”

Akhirnya, karena uang di tangan tidak mencukupi sementara hati tak enak apabila tidak memenuhi keinginan istri tercinta atau takut dengan omelan si istri, sang suami pun menggelapkan uang di kantornya, korupsi, dan sebagainya.

Orang yang tidak pernah merasa cukup dan selalu menuruti tuntutan hawa nafsunya, tidak akan merasakan ketenangan dan ketenteraman. Selalu saja ia merasa kurang dan kurang….

Baca juga:

Godaan Hawa Nafsu

Sebaliknya, dengan memiliki sifat qanaah, ia akan merasa tenteram dengan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Sungguh, siapa yang meyakini sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu di atas, ia akan merasa tenang dan cukup/qanaah dalam masalah rezeki. Dia juga akan menempuh sebab yang bisa mengantarkannya kepada rezekinya. Di samping itu, ia tidak rakus terhadap harta, apalagi sampai menjual agama karenanya.

Apabila seorang istri ingin memiliki jiwa yang lapang, hendaklah ia berupaya bersifat qanaah, niscaya ia tidak akan merasa sempit karena dunia. Inilah orang kaya yang sesungguhnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta; kekayaan yang sebenarnya ialah kaya hati.” (HR. al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 2417)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu,

وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

“Siapa yang menampakkan kecukupan, niscaya Allah akan membuatnya kaya.” (HR. al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 1745)

Ibnu Baththal rahimahullah menerangkan makna hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,

“Hakikat kekayaan bukanlah banyaknya harta yang dimiliki. Sebab, kebanyakan orang yang diberi kelapangan harta oleh Allah subhanahu wa ta’ala justru tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya. Ia malah berupaya sekuat tenaga menambah hartanya, tanpa peduli dari mana harta tersebut diperoleh. Orang yang demikian berarti seperti seorang yang fakir karena ambisinya sangat kuat. Hakikat kekayaan adalah kaya hati, yaitu merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya, qanaah dengannya, merasa ridha, dan tidak rakus menambah harta, serta tidak memaksa ketika meminta. Orang seperti ini seakan-akan orang kaya.” (Fathul Bari, 11/328—329)

Baca juga:

Kekayaan dan Kemiskinan yang Hakiki

Apabila jiwa merasa tidak membutuhkan apa yang ada di tangan manusia dan merasa cukup dengan pembagian Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepadanya, niscaya dia akan terjaga dari ketamakan. Pemiliknya akan terangkat ke kedudukan yang tinggi dan akhlak yang mulia. Beda halnya dengan kekayaan berupa harta dunia yang disertai miskin jiwa, seringnya membuahkan ambisi duniawi, kekikiran, dan ketamakan. Akibatnya, pelakunya tersungkur ke tempat yang rendah dan akhlak rendahan karena rendahnya selera pemiliknya. (Fathul Bari, 11/329)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan keberuntungan bagi orang yang diberikan rezeki secukupnya dan dianugerahkan sifat qanaah ini. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh beruntung seorang yang berislam, diberi rezeki yang cukup (tidak berlebih, sesuai dengan kadar hajatnya dan tidak kurang), dan Allah menganugerahinya sifat qanaah dengan apa yang Dia berikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 2423)

Mengapa demikian? Karena rezeki yang pas sekadar hajat akan menjaga dan membentengi seseorang dari kehinaan. Ia tidak perlu meminta-minta kepada manusia sebagaimana orang yang kekurangan. Di samping itu, karena miliknya cuma sebatas kebutuhannya dan keluarganya, ia akan terhalang dari sikap melampaui batas berupa sombong dan takabur, atau berbuat zalim kepada orang yang lemah. Sikap ini biasa dilakukan oleh orang yang kaya-raya. Orang yang beroleh rezeki melimpah ruah melebihi kebutuhannya, tetapi tidak memiliki takwa.

Baca juga:

Harta, Antara Nikmat dan Fitnah

Sifat qanaah yang dimiliki oleh pemilik rezeki sekadar hajatnya ini, menyebabkan dia tidak merasa kurang. Ia justru merasa berkecukupan karena qanaah adalah hakikat kekayaan. Ini seperti ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang telah lalu.

Tentu saja, keberuntungan hanya akan diraih apabila orang tersebut adalah seorang muslim yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir. Tidak pernah keberuntungan itu menyertai orang kafir, siapa pun dia.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan istri-istri beliau—semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semua—telah memberikan teladan kepada kita dalam masalah qanaah ini. Hal ini tampak dalam gambaran kehidupan beliau dan keluarganya. Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata,

رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَهُ بِشَعِيْرٍ وَمَشَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيْرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَا أَصْبَحَ لِآلِ مُحَمَّدٍ صَاعٌ وَلاَ أَمْسَى. وَإِنَّهُمْ لَتِسْعَةُ أَبْيَاتٍ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan gandum (bahan makanan untuk keluarganya). Aku pernah berjalan menuju Nabi membawa roti gandum dan lemak cair[3]. Sungguh, aku mendengar beliau bersabda, “Tidaklah keluarga Muhammad berpagi hari dan bersore hari selain dengan satu sha makanan.”

Kata Anas, “(Padahal ketika itu) keluarga Rasulullah ada sembilan rumah.”[4] (HR. al-Bukhari no. 2508)

Baca juga:

Meneladani Akhlak Nabi

Anas radhiallahu anhu menyebutkan hal ini sebagai isyarat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan demikan bukan karena berkeluh kesah. Sungguh, beliau shallallahu alaihi wa sallam jauh dari yang demikian. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan demikian tidak lain untuk meminta uzur tidak memenuhi undangan si Yahudi dan sebagai alasan beliau menggadaikan baju besinya. (Fathul Bari, 5/175)

Hadits di atas menunjukkan kepada kita sifat tawadhu dan zuhud beliau shallallahu alaihi wa sallam terhadap dunia padahal beliau sangat mampu untuk beroleh dunia. Tentu Allah subhanahu wa ta’ala memilihkan yang terbaik untuk kekasih-Nya, hamba pilihan-Nya.

Di samping itu, hadits ini memberi pelajaran kepada kita tentang kesabaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan kehidupan yang sekadarnya dan sifat qanaah beliau.

Hadits ini juga menunjukkan keutamaan istri-istri beliau. Mereka bersabar di atas kesempitan dan kesulitan hidup bersama suami mereka yang mulia, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga:

Hak Istri dalam Islam

Karena kekurangan yang ada, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak sempat menebus baju besi tersebut sampai beliau meninggal dunia. Demikian yang diberitakan oleh istri beliau yang thahirah (suci), Aisyah radhiallahu anha.

تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُوْنَةً عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ فِي ثَلاَثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadai pada seorang Yahudi karena beliau mengambil tiga puluh sha gandum.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Istri salihah yang qanaah ini pernah pula memberitakan kepada keponakannya, Urwah ibnuz Zubair rahimahullah,

وَاللهِ يَا ابْنَ أُخْتِيْ، إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلاَلِ ثُمَّ الْهِلاَلِ ثُمَّ الْهِلاَلِ؛ ثَلاَثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ، وَمَا أُوْقِدَ فِي أَبْيَاتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ. قُلْتُ: يَا خَالَةُ، فَمَا كَانَ يُعِيْشُكُمْ؟ قَالَتِ: الْأَسْوَدَانِ؛ التَّمْرُ وَالْمَاءُ، إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيْرَانٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، وَكاَنَتْ لَهُمْ مَنَايِحُ وَكَانُوْا يُرْسِلُوْنَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهَا فَيُسْقِيْنَا.

“Demi Allah, wahai putra saudariku! Sungguh, kami (istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) melihat hilal (bulan tanggal satu), kemudian melihat hilal bulan berikutnya, lalu hilal berikutnya lagi (masuk bulan ketiga), tiga hilal dalam dua bulan, dalam keadaan tidak pernah dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (untuk memasak makanan).”

Urwah bertanya, “Wahai bibi, lalu apa yang menghidupi kalian?”

Aisyah menjawab, “Al-Aswadan, yaitu kurma dan air. Hanya saja, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki tetangga-tetangga dari kalangan Anshar. Mereka memiliki kambing atau unta yang biasa dipinjamkan kepada orang lain untuk diambil susunya dan setelahnya dikembalikan lagi kepada mereka. Mereka biasa mengirimkan susu hewan tersebut kepada Rasulullah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memberi minum kami dengan susu tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 2567 dan Muslim no. 7378)

Baca juga:

Istri Salihah, Keutamaan dan Sifat-Sifatnya

Tidak ada maksud Aisyah radhiallahu anhu memberitakan keadaan rumah tangganya bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain memberi nasihat dan pelajaran kepada keponakannya, juga kepada kita.

Dalam sebuah hadits, Aisyah radhiallahu anha juga mengabarkan,

مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ

“Sejak datang ke Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah memakan roti gandum sampai kenyang selama tiga malam berturut-turut hingga beliau wafat.” (HR. al-Bukhari no. 5416 dan Muslim no. 7369)

Sabar dengan kekurangan dan kesempitan hidup serta qanaah dengan yang sedikit. Itulah teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan istri-istri beliau.

Sebagai penutup, ingin kami bawakan satu peristiwa yang pernah terjadi dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu, istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuntut nafkah kepada beliau hingga menyempitkan beliau karena di luar kesanggupan beliau. Karena marah kepada istri-istrinya, beliau pun mengasingkan diri dari mereka hingga tersiar kabar bahwa beliau menceraikan istri-istrinya.

Datanglah Abu Bakr dan Umar radhiallahu anhuma menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam guna menanyakan kebenaran berita itu. Keduanya masuk dalam keadaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk membisu. Di sekitar beliau ada istri-istri beliau.

Umar radhiallahu anhu berusaha memancing tawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar beliau mau berbicara. Umar pun berhasil.

Baca juga:

Berkhidmah Pada Suami

“Istri-istriku yang ada di sekitarku ini menuntut nafkah kepadaku,” ujar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Bangkitlah Abu Bakr radhiallahu anhu menuju putrinya, Aisyah, lalu memukulnya. Demikian pula Umar radhiallahu anhu menuju putrinya, Hafshah. Keduanya berkata, “Apakah kamu meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam apa yang tidak ada pada beliau?”

Akhirnya, istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyadari perbuatan mereka. Mereka berjanji, “Demi Allah, setelah majelis ini kami tidak akan meminta kepada Rasulullah apa yang tidak ada pada beliau.”

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala turunkan ayat khiyar (tawaran untuk memilih).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ َأُسَرِّحۡكُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلًا ٢٨ وَإِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنَٰتِ مِنكُنَّ أَجۡرًا عَظِيمًا ٢٩

Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Apabila kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka kemarilah, kuberikan kepada kalian mut’ah[5] dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Namun, jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian.” (al-Ahzab: 28—29)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajukan pilihan tersebut kepada istri-istri beliau. Dimulai dari istri yang paling beliau cintai, Aisyah radhiallahu anha. Kata beliau, “Aku akan menyebutkan kepadamu satu hal yang aku tidak suka kamu terburu-buru memutuskannya sampai kamu mengajak musyawarah kedua orang tuamu.”

“Apa itu?” tanya Aisyah. Rasulullah lalu membacakan ayat di atas.

Aisyah radhiallahu anha berkata setelah itu, “Apakah dalam urusan yang berhubungan denganmu aku harus bermusyawarah dengan kedua orang tuaku? Aku memilih Allah dan Rasul-Nya.”

Sebagaimana pilihan Aisyah radhiallahu anha, demikian pula yang dipilih oleh istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya. (HR. al-Bukhari dan Muslim. Lihat ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, hlm. 184—187)

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Istri-istri yang mulia ini memilih hidup dalam kesempitan dan qanaah dengan yang sedikit, demi beroleh kebaikan di dunia dan kebahagiaan di negeri yang kekal abadi berdampingan dengan suami yang mulia, Khalilullah shallallahu alaihi wa sallam.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kehidupan mereka….

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki:

[1] Jujur dan benar ucapan beliau, serta dibenarkan oleh wahyu yang mulia yang diturunkan kepada beliau. (Syarhul Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id, hlm. 22)

[2] Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar atau kufur kecil, yaitu kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun, karena dosa yang diperbuatnya, apabila ia tidak bertobat sebelum meninggal dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengampuninya, ia pantas beroleh siksa di dalam neraka walau tidak kekal di dalamnya seperti pelaku kufur akbar/kufur besar. Kufur kecil ini diistilahkan dengan kufrun duna kufrin.

An-Nawawi rahimahullah menyatakan bolehnya memberikan sebutan kufur kepada orang yang mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya sebagai bentuk celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (al-Minhaj, 6/213)

[3] Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam diundang untuk menyantap roti gandum dengan lauk berupa lemak yang dicairkan. Sepertinya, Yahudi itu yang mengundang beliau melalui Anas radhiallahu anhu. (Fathul Bari, 5/174)

[4] Istri beliau shallallahu alaihi wa sallam ketika itu ada sembilan orang. Lima dari Quraisy: Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Saudah, dan Ummu Salamah; empat yang lain adalah Shafiyah bintu Huyai an-Nadhiriyah, Maimunah bintul Harits al-Hilaliyah, Zainab bintu Jahsyin al-Asadiyah, dan Juwairiyah bintul Harits al-Musthaliqiyah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya. (Tafsir Ibni Katsir, 6/244)

[5] Pemberian kepada istri yang dicerai sesuai dengan kesanggupan suami.

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

 

Comments are closed.