Muslihat Wanita

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Wanita, diakui atau tidak, sarat dengan muslihat. Meski kaum pria juga tidak lepas dari yang demikian, perilaku ini lebih lekat kepada kaum hawa. Suka melemparkan kesalahan kepada orang lain, pintar berdalih, dan susah diajak antre adalah contoh sederhana yang banyak kita jumpai.

Mengetahui dan memahami sifat pasangan hidup termasuk perkara yang sudah sepantasnya. Suami mengetahui dan memahami sifat istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri mengerti dan memahami sifat suaminya. Selain sifat dan tabiat yang bersifat individu, perlu pula masing-masing pihak mengetahui sifat atau tabiat umumnya seorang lelaki ataupun umumnya seorang wanita. Tujuannya tentu agar masing-masingnya dapat mengambil sikap yang tepat dan semestinya.

Seorang suami harus mengerti bahwa wanita umumnya memiliki muslihat. Walaupun laki-laki juga demikian namun wanitalah yang lebih dominan dalam hal ini. Yang dimaukan dengan muslihat di sini adalah si wanita menampakkan satu perkara namun sebenarnya ia menyembunyikan perkara lain yang justru diinginkannya. Terkadang ia melakukan suatu kesalahan namun ia melemparkannya kepada orang lain. Hal ini tampak jelas pada kisah Nabi Yusuf q dengan istri Al-Aziz seperti yang diceritakan dalam Al-Qur`anul Karim. Kita baca bagaimana istri Al-Aziz berbuat kesalahan besar namun Nabi Yusuf q yang menjadi “kambing hitam.” Allah k berfirman:

“Dan wanita (istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan ia menutup pintu-pintu, seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (suami si wanita) telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud melakukan perbuatan itu dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud demikian dengan wanita itu andaikan ia tidak melihat tanda dari Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami wanita itu di depan pintu. Wanita itu berkata, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu, kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih?’.” (Yusuf: 23-25)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata dalam tafsirnya, “Allah l mengabarkan tentang keadaan Yusuf dan istri Al-Aziz tatkala keduanya berlomba-lomba menuju pintu. Yusuf hendak lari menghindarkan diri dari si wanita sementara si wanita mengejar meminta Yusuf agar kembali ke ruangan itu. Maka si wanita berhasil menyusul Yusuf lalu menarik gamis Yusuf dari belakang hingga koyak besar. Yusuf terus lari meninggalkan si wanita sementara wanita tersebut menyusul di belakangnya. Keduanya pun mendapati suami si wanita di sisi pintu. Ketika itu keluarlah makar dan tipu daya si wanita, ia berkata kepada suaminya untuk menimpakan tuduhan dusta kepada Yusuf, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu’, yaitu berbuat fahisyah/zina, ‘kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih’, yaitu dipukul dengan pukulan keras yang menyakitkan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 4/266)
Demikianlah muslihat yang dilakukan istri Al-Aziz untuk menimpakan kesalahan kepada Yusuf q.
Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya mengeluarkan sebuah hadits dari Aisyah x. Aisyah x berkata:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ فِي مَرَضِهِ: مُرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ. قَالَتْ عَائِشَةُ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ للنَّاسِ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ لِحَفْصَةَ: قُوْلِي لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ لنَّاسِ. فَفَعَلَتْ حَفْصَةُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَهْ إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوْسُفَ، مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ. فَقَالَتْ حَفْصَةُ لِعَائِشَةَ: مَا كُنْتُ لِأُصِيْبَ مِنْكِ خَيْرًا.
Rasulullah n berkata saat sakitnya, “Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya, perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Aku berkata kepada Hafshah, ‘Katakanlah kepada Rasulullah: ‘Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.’ Hafshah melakukan permintaan Aisyah, maka Rasulullah n pun bersabda, “Diamlah, sungguh kalian ini adalah shawahib Yusuf. Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Hafshah berkata kepada Aisyah, “Tidaklah aku pernah mendapat kebaikan darimu1.” (HR. Al-Bukhari no. 679 dan Muslim no. 940)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t menerangkan, “Shawahib adalah bentuk jamak dari shahibah (teman wanita). Yang dimaksudkan adalah mereka itu sama dengan shawahib Yusuf dalam menzahirkan perkara yang sebenarnya berbeda dengan apa yang di dalam batin. Kemudian yang menjadi sasaran pembicaraan Rasulullah dengan kata ‘Kalian ini (antunna)’ walaupun lafaznya jamak adalah satu orang saja yaitu Aisyah x. Sebagaimana lafadz shawahib dengan bentuk jamak namun yang dimaukan hanya Zulaikha saja (istri Al-Aziz). Sisi persamaan antara keduanya2 adalah Zulaikha mengundang para wanita dan menampakkan pada mereka bahwa ia ingin memuliakan mereka dengan perjamuan, namun yang menjadi tujuannya lebih dari itu yakni agar mereka dapat menyaksikan ketampanan Yusuf sehingga mereka dapat memaklumi kenapa ia mencintai Yusuf3. Sementara Aisyah x menampakkan pada Rasulullah n, ia ingin ayahnya jangan dijadikan sebagai imam karena ayahnya tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada makmum disebabkan tangisnya. Namun sebenarnya maksud Aisyah x lebih dari perkara tersebut, yaitu agar orang-orang tidak menganggap sial terhadap ayahnya.” (Fathul Bari, 2/199)
Hal ini dinyatakan sendiri oleh Aisyah x:
لَقَدْ رَاجَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فِي ذَلِكَ وَمَا حَمَلَنِي عَلىَ كَثْرَةِ مُرَاجَعَتِهِ إِلاَّ أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ فِي قَلْبِي أَنْ يُحِبَّ النَّاسُ بَعْدَهُ رَجُلاً قَامَ مَقَامَهُ أَبَدًا، وَلاَ كُنْتُ أَرَى أَنَّهُ لَنْ يَقُوْمَ أَحَدٌ مَقَامَهُ إِلاَّ تَشَاءَمَ النَّاسُ بِهِ، فَأَرَدْتُ أَنْ يَعْدِلَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ n عَنْ أَبِي بَكْر
“Sungguh aku menyanggah Rasulullah n dalam masalah itu (dengan mengusulkan yang lain dari apa yang diinginkan beliau, pent.) dan tidak ada yang mendorongku untuk berulang kali menyanggah beliau, kecuali bahwa tidak terbetik di hatiku orang-orang akan mencintai seseorang setelah beliau yang berdiri pada tempat beliau selama-lamanya. Tidak pula aku memandang tidak akan ada seseorang yang berdiri pada tempat beliau, kecuali orang-orang akan menganggap sial/tidak baik dengan orang (yang menggantikan tempat beliau) itu. Maka aku ingin Rasulullah n memalingkan hal itu dari Abu Bakr.” (HR. Al-Bukhari no. 4445 dan Muslim no. 938)
Dalam riwayat Muslim (no. 939) disebutkan ucapan Aisyah x:
وَاللهِ، مَا بِي إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ يَتَشَاءَمَ النَّاسُ بِأَوَّلِ مَنْ يَقُوْمُ فِي مَقَامِ رَسُوْلِ اللهِ n
“Demi Allah, tidak ada alasan bagiku (untuk menyanggah keinginan Rasulullah agar ayahku, Abu Bakr, menggantikan posisi beliau sebagai imam, pent.) kecuali aku tidak suka manusia menganggap sial dengan orang yang pertama kali menempati tempat Rasulullah n (di dalam shalat sebagai imam, pen.).”
Masih berita dari Aisyah x:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقَرْعَ بَيْنَ نِسَائِهِ، فَطَارَتِ الْقُرْعَةُ لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ n إِذَا كَانَ بِاللَّيْلِ سَارَ مَعَ عَائِشَةَ يَتَحَدَّثُ، فَقَالَتْ حَفْصَةُ: أَلاَ تَرْكَبِيْنَ اللَّيْلَةَ بَعِيْرِيْ وَأَرْكَبُ بَعِيْرَكِ تَنْظُرِيْنَ وَأَنْظُرُ؟ فَقَالَتْ: بَلى. فَرَكِبَتْ فَجَاءَ النَّبِيُّ n إِلَى جَمَلِ عَائِشَةَ وَعَلَيْهَا حَفْصَةُ، فَسَلَّمَ عَلَيْهَا ثُمَّ سَارَ حَتَّى نَزَلُوْا وَافْتَقَدَتْهُ عَائِشَةُ، فَلَمَّا نَزَلُوا جَعَلَتْ رِجْلَيْهَا بَيْنَ الْإِذخِرِ وَتَقُوْلُ، رَبِّ سَلِّطْ عَلَيَّ عَقْرَبًا أَوْ حَيَّةً تَدْلُغُنِي وَلاَ أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقُوْلَ لَهُ شَيْئًا
Nabi n biasanya bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Dalam satu safar, undian jatuh pada Aisyah dan Hafshah. Bila tiba malam hari dalam safar tersebut, Nabi n berjalan mengiringi unta Aisyah dan berbincang dengan Aisyah. Maka berkatalah Hafshah kepada Aisyah, “Tidakkah malam ini engkau ingin menunggangi untaku dan aku gantian menunggangi untamu, hingga engkau dan aku bisa melihat pemandangan yang lain.” Menanggapi tawaran tersebut, Aisyah berkata, “Tentu aku mau.” Aisyah pun menunggangi unta Hafshah. Pada malam hari, datanglah Nabi n ke unta Aisyah sementara di atasnya (dalam sekedup) Hafshah. Nabi mengucapkan salam kepadanya, kemudian berjalan mengiringi unta Aisyah tersebut hingga rombongan singgah di suatu tempat. Aisyah merasa kehilangan Nabi n. Maka ketika mereka telah singgah di suatu tempat, Aisyah turun dari unta yang ditungganginya dan memasukkan kedua kakinya di antara semak-semak seraya berkata, “Wahai Rabbku, kuasakanlah seekor kalajengking atau ular agar menyengatku dan aku tidak kuasa mengatakan apa-apa kepada Nabi-Mu.” (HR. Al-Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 6248)
Hafshah x memperdaya Aisyah x agar dapat jalan beriringan di malam hari bersama suami yang sama-sama mereka cintai, Rasulullah n. Ketika menyadari kekeliruannya mengiyakan usulan Hafshah, Aisyah menyesali dirinya sendiri. Karena kecemburuan yang sangat, ia melakukan apa yang dilakukannya dan mendoakan kematian untuk dirinya. (Fathul Bari 9/387, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 15/206)
Ada kalanya muslihat yang dilakukan wanita untuk perkara kebaikan sebagaimana kisah Asma` bintu Abi Bakr x yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya (no. 5657). Dalam hadits itu disebutkan setelah Asma` menceritakan khidmatnya kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam z, Asma` x berkata:
فَجَاءَنِي رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ فَقِيْرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيْعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ. قَالَتْ: إِنِّي إِنْ رَخَصْتُ لَكَ، أَبَى ذَاكَ الزُّبَيْرُ، فَتَعَالْ، فَاطْلُبْ إِلَيَّ وَالزُّبَيْرُ شَاهِدٌ. فَجَاءَ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ فَقِيْرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيْعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ. فَقَالَتْ: مَا لَكَ بِالْمَدِيْنَةِ إِلاَّ دَارِي؟ فَقَالَ لَهَا الزُّبَيْرُ، مَا لَكِ أَنْ تَمْنَعِيْ رَجُلاً فَقِيْرًا يَبِيْعُ؟ فَكاَنَ يَبِيْعُ إِلَى أَنْ كَسَبَ، فَبِعْتُهُ الْجَارِيَةَ، فَدَخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ وَثَمَنُهَا فِي حَجْرِيْ فَقَالَ: هَبِيْهَا لِي. قَالَتْ: إِنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهَا.
Maka datanglah kepadaku seorang lelaki yang fakir, ia berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma` menjawab, “Kalau aku memberi keringanan bagimu (mengizinkanmu), biasanya Zubair keberatan. Karenanya, marilah engkau minta kepadaku dalam keadaan Zubair menyaksikan.” Laki-laki itu pun datang seraya berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma menjawab, “Apakah tidak ada rumah lain bagimu di Madinah ini selain rumahku?” Zubair menegur istrinya, “Kenapa engkau melarang seorang yang fakir untuk berjualan?” Dengan izin tersebut, lelaki itu mulai berjualan hingga ia memperoleh penghasilan/keuntungan. Maka aku menjual seorang budak perempuan kepadanya. Masuklah Zubair dalam keadaan harga/uang penjualan budak tersebut masih berada dalam pangkuanku. Zubair berkata, “Hibahkanlah kepadaku.” Asma` berkata, “Aku sungguh telah menyedekahkannya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Hafshah x mengucapkan demikian karena ia mendapati pengingkaran Rasulullah n hingga ia marah kepada Aisyah x disebabkan Aisyah-lah yang menyuruhnya berkata demikian kepada Rasulullah n. Dan mungkin pula Hafshah teringat dengan perkaranya bersama Aisyah juga dalam peristiwa Rasulullah n minum madu yang dikatakan oleh Aisyah berbau maghafir. (Fathul Bari, 2/200)
2 Hingga Rasulullah n sampai mengatakan, “Sungguh kalian ini shawahib Yusuf.”
3 Sebagaimana Allah l kisahkan untuk kita dalam ayat-ayat-Nya:
“Dan wanita-wanita di kota tersebut berkata, ‘Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya kepadanya. Sungguh cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam. Sungguh kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata’. Maka tatkala istri Al-Aziz mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan). (Ketika para wanita itu telah hadir dan menghadapi jamuan yang telah disiapkan), istri Al-Aziz berkata kepada Yusuf, ‘Keluarlah, nampakkan dirimu kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu melihat Yusuf, mereka terkagum-kagum dengan keelokan rupanya sehingga mereka tidak sadar telah melukai jari-jari tangan mereka (dengan pisau hidangan), dan mereka berkata, ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.’ Istri Al-Aziz berkata, ‘Itulah dia orangnya yang kalian mencelaku karena tertarik kepadanya….’ (Yusuf: 30-32)