Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman; bagian ke-1

Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

WALL

Pertempuran antara Thalut dan Jalut berakhir dengan kemenangan kaum muslimin yang dipimpin Thalut (Saul). Jalut yang terkenal lalim dan ahli dalam peperangan tewas di tangan seorang prajurit muda, yaitu Dawud.

Sebagian ahli sejarah mengisahkan, ketika menghasung Bani Israil berperang dan menghadapi pasukan Jalut, Raja Thalut menjanjikan, siapa saja yang berhasil membunuh Jalut akan dinikahkannya dengan putrinya dan akan diberi separuh dari kerajaannya. Setelah perang selesai, Raja Thalut menepati janji dan menikahkan Dawud dengan putrinya serta membagi dua kerajaan Bani Israil.

Para ahli sejarah berbeda-beda dalam menguraikan kisah yang terjadi sejak Bani Israil yang dipimpin oleh Thalut menyeberangi sungai sampai berkecamuknya pertempuran hingga terbunuhnya Jalut yang lalim dan berkuasanya Dawud sebagai Raja Bani Israil. Kisah tersebut telah dipaparkan pada beberapa edisi yang lalu.

Yang jelas, Nabi Dawud ‘alaihissalam akhirnya menjadi raja Bani Israil dan memimpin serta membimbing mereka di jalan Allah.

Sebelum menjadi raja, Nabi Dawud ‘alaihissalam hanya seseorang di antara rakyat jelata di kalangan Bani Israil. Di masa kecil dan remajanya, beliau bekerja menggembala kambing, tetapi Allah ‘azza wa jalla menganugerahkan kekuatan yang sangat besar pada tubuh beliau.

Sebagian ahli sejarah menyebutkan nasab beliau adalah Dawud bin Isya bin ‘Uwaid bin ‘Abir bin Salmun bin Nahsyun bin ‘Uwainadib bin Iram bin Hashrun bin Faridh bin Yahuda bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam.

Beliau diberi suara yang merdu oleh Allah ‘azza wa jalla, hingga burung-burung berhenti terbang untuk mengiringi beliau bertasbih memuji Allah ‘azza wa jalla. Beliaulah yang pertama kali membuat perisai dan pakaian perang dari besi.

Beliau diberi karunia usia yang panjang, sampai seratus tahun, yang diambil dari usia bapaknya, Adam ‘alaihissalam, sebagaimana diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَمَّا خَلَقَ اللهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ جَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصاً مِنْ نُورٍ ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هؤُلاَءِ؟ قالَ: هؤُلاَءِ ذُرِّيَّتُكَ. فَرَأَى رَجُلاً مِنْهُمْ أَعْجَبَهُ نُورُ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَذَا؟ قَالَ: رَجُلٌ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ فِي آخِرِ الْأُمَمِ يُقَالُ لَهُ دَاوُدُ. قاَلَ: أَيْ رَبِّ، كَمْ عُمْرُهُ؟ قَالَ: سِتُّونَ سَنَةً. قالَ: فَزِدْهُ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعِينَ سَنَةً. قَالَ: إِذَنْ يُكْتَبُ وَيُخْتَمُ وَلاَ يُبَدَّلُ. فَلَمَّا انْقَضَى عُمْرُ آدَمَ جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ فَقَالَ: أَوَلَمْ يَبْقَ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أَوَلَمْ تُعْطِهَا ابْنَكَ دَاوُدَ؟ فَجَحَدَ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ وَنَسِيَ آدَمُ فَنَسِيَتْ ذُرِّيَّتُهُ وَخَطِىءَ آدَمَ فَخَطِئَتْ ذُرِّيَّتُهُ

Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengusap punggung Adam, maka bertaburanlah semua ruh yang Allahlah Yang menciptakannya sampai hari kiamat. Kemudian Dia letakkan di antara kedua mata masing-masing mereka itu seberkas cahaya, lalu Dia tunjukkan kepada Adam.

Adam pun bertanya, “Duhai Rabbku, siapakah mereka ini?”

Kata Allah, “Mereka ini adalah anak cucumu.”

Lalu dia melihat salah seorang dari mereka yang cahaya orang itu menakjubkannya, katanya, “Duhai Rabbku, siapakah dia ini?”

Kata Allah, “Dia salah seorang anak cucumu di kalangan umat belakangan, namanya Dawud.”

“Duhai Rabbku, berapakah panjang umurnya?”

“Enam puluh tahun.”

“Tambahkanlah untuk dia dari umurku sebanyak empat puluh tahun.”

“Kalau begitu, akan ditulis dan ditetapkan serta tidak akan diubah lagi.”

Ketika habis usia Adam, datanglah Malakul Maut. Beliau pun berkata, “Bukankah masih tersisa usiaku ini empat puluh tahun?”

“Bukankah telah engkau berikan untuk putramu Dawud?” jawab Malakul Maut.

Adam mengingkari, anak cucunya juga demikian. Adam lupa, maka lupa pula anak cucunya. Adam bersalah, maka anak cucunya juga bersalah.[1]

Demikianlah, Nabi Dawud ‘alaihissalam hidup di dunia selama seratus tahun. Sebagian besarnya adalah sebagai seorang nabi sekaligus raja Bani Israil dengan kekuasaan yang sangat luas.

Akan tetapi, kehidupan sebagai seorang raja, bahkan nabi sekalipun, tidak membuat beliau berbeda dengan kebanyakan manusia. Beliau tetap sebagai manusia biasa, yang kadang sedih, marah, dan gembira. Beliau juga bisa lupa dan keliru. Begitulah sunnatullah dalam hidup manusia.

Tidak ada satupun yang lolos dari sunnatullah. Itulah kebaikan dan keburukan yang diberikan Allah ‘azza wa jalla kepada hamba-hamba-Nya, sebagai ujian bagi mereka.

Memang demikianlah. Tiada satupun makhluk yang lepas dari ujian. Namun, ujian itu berbeda-beda tingkatannya, sesuai dengan keadaan iman dalam diri masing-masing. Itulah yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, ketika ditanya, “Siapakah yang sangat berat cobaan yang menimpanya?”

الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“(Yang paling berat ujiannya ialah) para nabi, kemudian yang lebih mulia setelah mereka, lalu yang lebih utama di bawahnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila agamanya kokoh, beratlah ujian yang dirasakannya. Kalau dalam agamanya ada kelemahan, dia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Tidak henti-hentinya ujian itu menimpa seorang hamba sampai meninggalkannya berjalan di muka bumi dalam keadaan (hamba itu) tidak lagi mempunyai kesalahan.”[2]

Ada beberapa kejadian di masa pemerintahan beliau, seperti kisah petani dan penggembala kambing, juga tentang dua orang wanita yang memperebutkan seorang bayi. Semua ini telah dikisahkan dalam edisi-edisi yang lalu bersama putranya Sulaiman ‘alaihissalam.

Karena itu, dalam edisi kali ini, kami paparkan sebuah kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tentang ujian yang beliau terima.

 

Dua Orang yang Bertikai

Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya,

Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar?

Ketika mereka masuk (menemui) Dawud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”

“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata, ‘Serahkanlah kambingmu itu kepadaku,’ dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.”

Dawud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.”

Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud dan bertobat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.

Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Shad: 21—26)

Demikianlah kisah yang diceritakan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya. Memang benarlah sebuah berita yang menakjubkan.

Seperti biasa, Nabi Dawud ‘alaihissalam tidak lupa beribadah kepada Rabbnya. Pada waktu itu, tidak ada seorangpun boleh mengganggu. Namun, di luar istana, dua orang dengan tenang memanjat pagar tembok istana tanpa diketahui oleh siapapun. Dengan cepat keduanya menuju ruangan tempat Nabi Dawud ‘alaihissalam biasa beribadah.

Nabi Dawud yang sedang khusyuk beribadah tersentak kaget. Rasa takut mulai merayapi hati beliau, karena tiba-tiba melihat dua orang telah berada di mihrab tempat beliau beribadah.

Melihat kekagetan dan rasa takut Nabi Dawud ‘alaihissalam, dua orang ini berkata, “Jangan takut, kami adalah dua orang yang sedang bertikai. Salah satu dari kami berbuat zalim kepada yang lain, maka berilah keputusan antara kami dengan adil tanpa berpihak kepada salah satu dari kami. Jangan pula menyimpang dan tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.”

Mendengar keterangan mereka, bahwa mereka menginginkan kebenaran, Nabi Dawud tidak lagi marah dan takut. Kemudian salah satu dari mereka berkata (sebagaimana dalam ayat),

“Sesungguhnya saudaraku ini,” yang seiman dan satu manhaj, bukan senasab, sehingga apabila muncul sikap bermusuhan dari saudara tentu lebih besar urusannya. Dia melanjutkan (sebagaimana dalam ayat),

“Mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina,” yakni istri, sebagaimana kebiasaan orang Arab. Tentu saja keadaan itu merupakan kebaikan dan mengharuskan dia merasa cukup serta bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla kepadanya.

Orang itu melanjutkan, “Sedangkan aku hanya mempunyai seekor kambing betina,” yakni hanya seorang istri.

Lalu dia menginginkannya dan mengatakan, “Serahkanlah kambing itu (istrimu) untukku agar menjadi tanggunganku dan dia mengalahkan alasan-alasanku,” bahkan kalaupun aku memukul, dia lebih keras memukulku sampai dia berhasil memperolehnya.

Sebelum mendengarkan dari pihak yang lain, Nabi Dawud sudah mendahului berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu, ketika memaksa meminta kambingmu untuk menjadi milik dan tanggungannya. Sungguh, kebanyakan orang yang bekerja sama itu sebagin mereka berbuat zalim kepada yang lain. Kecuali, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, karena iman dan amal saleh itu akan mencegah mereka berbuat zalim. Akan tetapi, alangkah sedikitnya jumlah mereka di tengah-tengah manusia.”

Namun, seketika itu juga Nabi Dawud memahami, ketika memutuskan perkara di antara kedua orang tersebut, bahwa itu adalah ujian dari Allah. Segera saja, Nabi Dawud meminta ampunan dan tobat dengan sebenar-benarnya kepada Rabbnya dan menyungkur sujud sambil menangis.

Allah ‘azza wa jalla mengampuni dan menerima tobat Nabi Dawud. Sungguh, beliau memiliki kedudukan sangat dekat lagi mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla serta tempat kembali yang baik.

Kata asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, Allah tidak memaparkan dosa apa yang diperbuat oleh Nabi Dawud sehingga mendorong beliau meminta ampun dan bertobat, karena memang tidak ada gunanya diterangkan. Mencoba menguraikan hanya memberat-beratkan diri.

Yang jelas, faedah kisah ini ialah apa yang diterangkan Allah kepada kita ini, yaitu kelembutan-Nya kepada Nabi Dawud, tobat dan inabah (sikap kembali) beliau, serta terangkatnya kedudukan beliau. Bahkan, setelah bertobat, keadaan beliau lebih baik daripada sebelumnya. Kemudian, Allah ‘azza wa jalla mewahyukan kepada beliau,

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,” memberlakukan padanya ketetapan agama dan dunia,

“Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan haq,” yakni adil. Tentu saja, hal ini tidak mungkin beliau mampu melaksanakannya kecuali dengan mempunyai ilmu yang wajib dan ilmu-ilmu tentang persoalan kekinian (di masa itu), serta kemampuan untuk memberlakukan yang haq;

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu.” Janganlah berjalan di belakang hawa nafsu dalam hal memberi keputusan, lalu berpihak kepada salah satu pihak, apakah karena dia kerabat, teman, orang yang dicintai, atau karena membenci pihak lain, karena hal itu akan membuatmu menyimpang dari jalan Allah dan menyebabkanmu tersesat dari jalan yang lurus.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla memperingatkan, “Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah,” terutama orang-orang yang sengaja di antara mereka;

“Akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Sebab, andaikata mereka mengingatnya, lalu tumbuh rasa takut dalam hati mereka, niscaya mereka tidak akan menyimpang bersama hawa nafsu yang menyesatkan.

Begitu hebat tobat Nabi Dawud, hingga dalam sebagian riwayat yang sampai kepada Wahb bin Munabbih disebutkan, akibat tangis beliau begitu pilu dan panjangnya sujud beliau sambil menangis, tumbuhlah lumut di tempat sujud itu.

Demikianlah, seorang Nabi dan raja besar, yang tentu saja maksum, merasakan betapa dia memiliki kesalahan yang sangat besar, hingga mendorongnya menjatuhkan diri sujud kepada Rabbnya.

(insya Allah bersambung)


[1] HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 5208).

[2] HR. Ahmad (no. 1607), at-Tirmidzi (no. 2400) dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 992).