Penyatuan Agama Dakwah kepada Kekafiran

Berbagai aliran sesat mengancam akidah umat. Sebagian paham sesat tersebut tampak jelas di kalangan umat Islam, seperti al-Qiyadah al-Islamiyah, Gafatar, Ahmadiyah, dan lainnya.

Di sisi lain, tidak sedikit dari paham sesat tersebut yang tidak kentara namun menipu dan memakan banyak korban. Lebih-lebih apabila kesesatan tersebut diserukan oleh orang-orang yang dianggap sebagai kaum intelektual dan cendekiawan, padahal jauh dari ilmu agama.

Ini adalah satu bukti ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ. قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada kalian tahun-tahun yang menipu. Ketika itu seorang pendusta akan dianggap benar dan seorang yang jujur akan didustakan, pengkhianat akan diberi amanat, seorang yang amanah dianggap khianat, dan akan berbicara ketika itu Ruwaibidhah.”

Para sahabat bertanya, “Siapa Ruwaibidhah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Seseorang yang rendah dan kurang akal, berbicara tentang urusan orang banyak.” (HR. Ahmad dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’)

 

Di antara paham sesat yang terus bergulir di masyarakat kita dan menipu sebagian muslimin adalah pluralisme agama. Padahal pada 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa yang melarang paham pluralisme dalam agama Islam.

Dalam fatwa tersebut, Pluralisme didefinisikan sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim hanya agamanya saja yang benar….” (Keputusan Fatwa MUI Nomor 7/Munas VII/MUI/II/2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme)

Paham ini meruntuhkan fondasi agama kita yang paling utama, yakni al-wala’ wal bara’. Para pengusung paham ini menyerukan seruan sesat “persamaan agama” atau “penyatuan agama”.

Di Indonesia, pendukung dan corong pluralisme ini adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Di halaman utama situs mereka tertulis slogan mereka, “Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan Segala Agama”.

 

Maka dari itu, sangatlah penting bagi kita untuk terus menggali ilmu agama dalam rangka menjaga akidah kita dan mengingat kembali prinsip-prinsip agama kita: akidah Islam. Dengan mengetahui akidah dan prinsip Islam, kita akan tahu kesesatan dan kekafiran paham pluralisme tersebut.

Berikut adalah ringkasan beberapa poin dari fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daimah. Poin-poin ini menerangkan prinsip-prinsip mendasar dalam Islam.

 

  1. Di antara pokok akidah Islam yang pasti diketahui setiap muslim dan kaum muslimin telah berijma’ tentangnya adalah bahwa agama yang benar di muka bumi ini hanyalah Islam, Islam adalah penutup agama yang telah ada dan menghapus semua agama dan syariat yang telah ada.

Beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sekarang ini hanyalah dengan Islam, tidak boleh dengan agama lainnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)

 

Dalam ayat yang lain,

          ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ

        “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kalian, dan aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)

 

Dalam ayat yang lain,

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥

        “Barang siapa menginginkan agama selain Islam, tidak akan diterima darinya, dan di akhirat nanti dia termasuk seorang yang merugi.” (Ali Imran: 85)

 

  1. Di antara prinsip pokok akidah Islam; Kitabullah al-Qur’anul Karim adalah kitab yang terakhir diturunkan, memansukh (menghapus) kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya: Taurat, Zabur, Injil, dan lainnya.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ

        “Kami turunkan kepadamu kitab (al-Qur’an) dengan haq sebagai pembenar kitab-kitab yang sebelumnya dan menghapus kitab-kitab sebelumnya….” (al-Maidah: 48)

 

  1. Di antara pokok akidah Islam: Taurat dan Injil telah dimansukh (dihapus) oleh al-Qur’an; keduanya telah mengalami penyelewengan dan perubahan, yaitu ditambah dan dikurangi.

Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat,

        فَبِمَا نَقۡضِهِم مِّيثَٰقَهُمۡ لَعَنَّٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَٰسِيَةٗۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَنَسُواْ حَظّٗا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami laknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka menyelewangkan firman-firman Allah dari makna yang sebenarnya dan mereka lupa bagian yang telah diingatkan kepada mereka….” (al-Maidah: 13)

 

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          فَوَيۡلٞ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنٗا قَلِيلٗاۖ فَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ ٧٩

        Maka kebinasaan bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Kebinasaan bagi mereka akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kebinasaan bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 79)

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَإِنَّ مِنۡهُمۡ لَفَرِيقٗا يَلۡوُۥنَ أَلۡسِنَتَهُم بِٱلۡكِتَٰبِ لِتَحۡسَبُوهُ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمَا هُوَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَمَا هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ٧٨

        “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari al-Kitab, padahal ia bukan dari al-Kitab dan mereka mengatakan, ‘Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, Padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 78)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika melihat Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu memegang secarik kertas Taurat,

“Apakah engkau ragu, wahai Ibnul Khaththab? Seandainya saudaraku Musa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan untuknya kecuali harus mengikutiku.”

 

  1. Di antara pokok akidah Islam: Nabi kita dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup nabi dan rasul, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

          مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٖ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ٤٠

        “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzab: 40)

Tidak ada lagi nabi selain beliau yang wajib diikuti. Seandainya ada nabi yang masih hidup, tidak ada kelapangan baginya kecuali mengikuti Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Termasuk prinsip yang pokok dalam Islam adalah meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada seluruh umat manusia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٨

        “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba: 28)

Dalam ayat yang lain,

          قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُمۡ جَمِيعًا

        Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua….” (al-A’raf: 158)

 

  1. Di antara pokok prinsip Islamyang penting adalah kewajiban meyakini kafirnya orang-orang yang tidak masuk Islam, baik orang Yahudi, Nasrani, dan selain mereka.

Mereka adalah orang kafir, musuh Allah ‘azza wa jalla dan rasul-Nya, dan mereka adalah penghuni neraka. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          لَمۡ يَكُنِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأۡتِيَهُمُ ٱلۡبَيِّنَةُ ١

        “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (al-Bayyinah: 1)

 

Dalam ayat lain,

          إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ ٦

        “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (al-Bayyinah: 6)

 

Dalam riwayat al-Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ل يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang aku (dakwah Islam) kemudian mati dalam keadaan tidak beriman kepada (syariat) yang aku bawa, kecuali dia adalah penghuni neraka.” (HR . Muslim no. 153)

 

Apa yang disebutkan di atas adalah ringkasan dari sebagian fatwa al-Lajnah ad-Daimah (12/275 no. fatwa 19402).

Poin-poin di atas penting untuk kita pahami. Ketika seorang muslim memahaminya, niscaya dia akan yakin tentang sesatnya para penyeru persatuan agama. Bahkan, al-Lajnah ad-Daimah dalam fatwa yang penulis isyaratkan di atas dengan tegas menyatakan,

Dakwah pada penyatuan agama, kalau muncul dari seorang muslim, itu teranggap sebagai bentuk kemurtadan yang jelas….

Pada poin keenam dalam fatwa tersebut, al-Lajnah ad-Daimah menegaskan,

“Seruan penyatuan agama adalah dakwah yang busuk dan penuh makar. Tujuannya adalah mencampuradukkan al-haq dengan kebatilan, merobohkan dan meruntuhkan tonggak-tonggak Islam, serta menyeret umat Islam kepada kemurtadan. Ini adalah bukti firman Allah,

          وَلَا يَزَالُونَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمۡ عَن دِينِكُمۡ

        “Mereka akan terus memerangi kalian hingga memurtadkan kalian dari agama kalian.” (al-Baqarah: 217)

 

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَدُّواْ لَوۡ تَكۡفُرُونَ كَمَا كَفَرُواْ فَتَكُونُونَ سَوَآءٗۖ

“Mereka menginginkan kalian kafir sebagaimana mereka telah kafir, hingga kalian pun sama.” (an-Nisa: 89)

 

Pernyataan Ulama tentang Para Penyeru Persamaan dan Penyatuan Agama

Ulama Ahlus Sunnah sangat keras mengingkari paham sesat ini. Ketika muncul paham sesat ini, ulama Ahlus Sunnah tampil mengingkari dan menjelaskan kesesatannya kepada umat.

Berikut ini adalah nukilan ucapan sebagian ulama kita; ulama Ahlus Sunnah yang hidup di zaman kita ini.

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi berkata, “Seruan penyatuan agama, persaudaraan agama, persamaan agama adalah dakwah yang bertentangan dengan Islam; bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, dan dakwah seluruh rasul.” (Bantahan terhadap Adnan ‘Ar’ur)

 

Di antara bukti yang menunjukkan batilnya seruan penyatuan agama:

Al-Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ فَغَضِبَ فَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِ أَنْ يَتَّبِعَنِي

Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kitab yang beliau dapat dari ahlul kitab. Beliau membacakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun marah dan berkata, “Apakah engkau ragu, wahai Ibnul Khaththab? Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, aku telah membawa (syariat ini) untuk kalian dalam keadaan putih bersih. Jangan kalian bertanya tentang sesuatu kepada Ahlul Kitab, sehingga mereka mengabarkan yang benar lantas kalian (bisa jadi) mendustakannya, atau mengabarkan yang dusta lantas kalian membenarkannya.

Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, tidak ada kelapangan baginya selain mengikutiku.” (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ta’liq kitab as-Sunnah Ibnu Abi Ashim [50] dan dalam ta’liq Misykah no. 177)

 

Al-Qur’an telah menegaskan tahrif[1] yang mereka lakukan.

Sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Bagaimana bisa kalian (sudi) bertanya kepada ahlul kitab padahal kitab kalian yang diturunkan Allah ‘azza wa jalla kepada Rasul-Nya lebih baru? Kalian membacanya masih murni, belum tercampur yang lain. Al-Qur’an telah memberitakan bahwa ahlul kitab telah mengganti Kitabullah dan mengubahnya. Mereka menulis kitab dengan tangan-tangan mereka kemudian berkata, ‘Ini dari Allah’ untuk menukarnya dengan harga yang murah.

Ketahuilah, ilmu yang telah datang kepada kalian telah melarang kalian bertanya kepada mereka. Demi Allah, kami tidak pernah melihat seorang pun dari mereka (ada yang mau) bertanya kepada kalian tentang (kitab) yang diturunkan kepada kalian.”

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang ahlul kitab, “Allah ‘azza wa jalla telah mengabarkan kepada kita bahwa mereka telah mengganti kitab Allah dan menulis kitab dengan tangan mereka kemudian berkata, ‘Ini dari Allah ‘azza wa jalla’ untuk mendapatkan sesuatu yang berharga murah.” (as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi)

 

Kaum mukminin diperintahkan untuk berjihad menghadapi seluruh agama

kafir baik Yahudi, Nasrani, Hindu, dan Majusi sampai mereka mau bersyahadat; bersaksi tidak ada sesembahan yang haq selain Allah ‘azza wa jalla dan Muhammad adalah utusan Allah ‘azza wa jalla.

Kaum mukminin diperintahkan untuk mendakwahi mereka kepada Islam, bukan bersatu dengan mereka. (dinukil dari bantahan asy-Syaikh Rabi’ kepada Adnan ‘Ar‘ur)

 

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, Kesimpulan jawaban: Barang siapa meyakini bolehnya seorang memilih agama yang dia inginkan, bebas memilih agama yang dia mau; orang yang memiliki keyakinan seperti telah kafir kepada Allah ‘azza wa jalla. Sebab, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ

        “Barang siapa menginginkan agama selain Islam, tidak akan diterima darinya.” (Ali Imran: 85)

 

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)

Seorang tidak boleh berkeyakinan ada agama selain Islam yang boleh digunakan untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla. Barang siapa memiliki keyakinan demikian, para ulama telah menegaskan bahwa dia telah kafir keluar dari Islam. (Majmu’ Fatawa no. 459 3/99)

 

Asy-Syaikh Ahmad an-Najmi menerangkan, Barang siapa menyatakan Islam sama dengan agama lainnya yang telah mansukh dan diubah-ubah, dia telah kafir. Demikian juga seorang yang menyatakan ada kelapangan untuk keluar dari agama Islam dan memeluk agama yang lain, dia pun telah kafir.

 

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata tentang pembatal-pembatal keislaman. Barang siapa meyakini adanya keluasan bagi sebagian orang untuk keluar dari syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥

Barang siapa menginginkan agama selain Islam, tidak akan diterima darinya dan di akhirat nanti termasuk orang merugi.” (Ali Imran: 85) (Fatawa Jaliyah Anil Manahij ad-Da’awiyah 2/91—92)

 

Maka dari itu, kita harus berbuat untuk menjaga akidah kita, akidah anak-anak dan karib kerabat kita, bahkan akidah kaum muslimin secara umum.

Sampaikan dan terangkanlah ucapan-ucapan ulama kita, penjelasan bahwa seruan pluralisme agama adalah dakwah kepada kesesatan yang harus dijauhi kaum muslimin.

Mari banyak berdoa agar Allah ‘azza wa jalla memberikan keistiqamahan kepada kita di atas Islam dan memberi bimbingan kepada para penguasa (pemerintah) kaum muslimin.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abdur Rahman Mubarak

[1] Tahrif adalah memalingkan makna lafadz al-Qur’an kepada makna yang batil, baik dengan mengubah bentuk lafadznya maupun tidak. (–pen.)