Peran Ibu dalam Tarbiyah Anak

Sebelum ini sudah panjang kita berbicara tentang peran wanita dalam kehidupan berumah tangga yang dimainkannya dalam istananya. Tersisa satu peran yang belum kita sebutkan, sementara ia amatlah penting, yaitu peran dalam mendidik anak-anak.

Mengapa dikatakan peran yang penting? Karena tarbiyah diarahkan kepada anak-anak, sementara mereka adalah umat masa depan. Bagaimana kondisi anak-anak tersebut dan pendidikannya pada hari ini, demikianlah gambaran umat pada masa mendatang.

Apabila mereka terdidik dengan baik, berarti disiapkan sebuah umat yang baik di masa mendatang. Sebaliknya, apabila pendidikan mereka disia-siakan, niscaya pada masa depan nanti yang muncul adalah umat yang buruk. Wallahul musta’an.

Sebenarnya, pendidikan anak bukan hanya tugas seorang ibu, melainkan tanggung jawab bersama dengan ayah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي بَيْتِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam lembaran al-Qur’an yang mulia termaktub ayat Allah subhanahu wa ta’ala,

          يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (at-Tahrim: 6)

 

Tanggung jawab mendidik anak berada pada pundak ayah dan ibu. Hanya saja, bila melihat praktik kesehariannya, kita dapati waktu seorang ayah bersama anak-anaknya di rumah tidak sebanyak waktu yang dihabiskan seorang ibu bersama anak-anaknya. Sebab, ayah harus keluar rumah untuk bekerja guna menanggung biaya kehidupan istri dan anak-anaknya atau untuk tugas-tugas lain yang lazim dipikul oleh seorang lelaki.

Memang ada saatnya seorang ayah berada seharian di rumahnya karena hari libur kerja atau tidak ada aktivitas di luar rumah. Namun, biasanya lelaki ingin memanfaatkannya untuk beristirahat dari kelelahan di hari-hari kerja.

Oleh karena itulah, seorang ibu mengambil porsi yang lebih besar dalam hal tarbiyah anak-anaknya daripada ayah, tanpa menampik kenyataan bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab bersama.

Satu pelajaran dapat kita petik dari hadits Jabir bin Abdilah radhiallahu ‘anhuma berikut ini. Beliau radhiallahu ‘anhuma memberitakan tentang keadaannya,

هَلَكَ أَبِي وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعَ بَنَاتٍ، : فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً ثَيِّبًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ تَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا؟ قُلْتُ: بَلْ ثَيِّبًا. قَالَ: فَهَلَّا جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ وَتُضَاحِكُهَا وَتُضَاحِكُكَ. قَالَ: قُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَتَرَكَ بَنَاتٍ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ-أَوْ قَالَ: خَيْرًا

Ayahku meninggal dunia dan beliau meninggalkan tujuh atau sembilan putri. Aku pun menikahi seorang janda.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”

“Ya,” jawabku.

Beliau bertanya lagi, “Dengan gadis atau janda?”

Aku jawab, “Dengan janda.”

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis saja sehingga engkau bisa mula’abah dengannya dan dia bisa mula’abah denganmu? Engkau bisa bercanda dengannya dan dia bisa bercanda denganmu?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi.

Aku menerangkan kepada beliau, “Sungguh, ayahku, Abdullah, meninggal dunia dan meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka perempuan yang semisal mereka (masih muda/belum dewasa). Aku pun menikahi seorang perempuan (janda/sudah dewasa) yang bisa mengurusi mereka dan merawat mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir, “Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Bagus (apabila demikian).” (HR. al-Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang istri turut berperan mendampingi suaminya dalam mentarbiyah anak-anaknya, sekalipun anak-anak tersebut tidak terlahir dari rahimnya.

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul hadits di atas dalam kitab Shahihnya, bab ‘Aunul Mar’ah Zaujaha fi Waladihi, artinya Istri membantu suaminya dalam mengurus anak suami.

Seorang ibu tidak boleh asal-asalan atau sekenanya menjalankan peran yang penting ini. Karena itu, ibu harus membekali dirinya dengan pengetahuan yang memadai terkait dengan tugas mengasuh, merawat, dan mendidik anak.

Ada beberapa sisi yang perlu diperhatikan oleh seorang ibu agar tarbiyah bisa berjalan dengan baik, di antaranya adalah sisi kesehatan anak.

Mengapa demikian?

Anak yang sakit dan tumbuh dalam keadaan tidak sehat tentu tidak akan bisa menjadi pribadi yang sempurna yang bisa bermanfaat bagi umat. Karena itulah, seorang ibu harus memerhatikan bagaimana anaknya tumbuh dengan sehat. Seorang ibu perlu membekali dirinya dengan pengetahuan tentang hal ini.

Sisi lain yang perlu diperhatikan adalah memberikan tarbiyah akhlak kepada anak, menumbuhkannya di atas akhlak tersebut, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik kepadanya, serta menjauhkannya dari kebiasaan yang buruk. Diharapkan kelak dia tumbuh menjadi anak yang saleh sebagai penyejuk mata bagi kedua orang tuanya.

Tabiat Khusus Setiap Jenjang Usia

Seorang ibu harus memahami bahwa setiap jenjang usia dari kehidupan anak memiliki tabiat yang khusus dan cara khusus yang sesuai untuk mendidiknya. Ibu harus mengenali berbagai kekhususan anak agar bisa mendidiknya di atas manhaj tarbiyah yang lurus.

Di antara kekhususan tersebut:

  1. Qabiliyah, siap menerima.

Anak yang masih kecil ibarat lembaran putih yang belum tertulis apapun. Dia siap menerima arahan yang dimaukan oleh pendidiknya. Semisal ranting yang lunak, ia mengikuti tekukan ke arah mana pun yang diinginkan oleh orang membentuknya.

Oleh karena itu, seorang ibu harus bersiap mengisi lembaran putih tersebut dengan kebaikan.

 

  1. Madiyah fit Tafkir

Anak kecil belum bisa memahami dengan baik karena akalnya belum sempurna.

Oleh karena itu, seorang ibu tidak boleh merasa galau ketika anaknya tidak memahami beberapa hal. Sebab, anak menyerap apa yang ada di hadapannya dengan pikirannya yang belum sempurna.

Andai ibu mengatakan kepada anaknya, “Tiga ditambah tiga berapa?”

Bisa jadi, si anak tidak paham. Akan tetapi, apabila si ibu meletakkan tiga pena dan menambahkan tiga pena lagi, barulah si anak bisa menjawab, “Enam.”

Karena pikirannya belum sempurna, anak tidak dibebani syariat kecuali setelah baligh. Mendidik anak di atas sifat-sifat yang terpuji haruslah dikaitkan dengan amaliah (amal nyata) yang bisa disaksikannya.

Misalnya, ibu hendak mendidik anak agar memiliki sifat suka memberi. Dalam hal ini, ibu memberi contoh di hadapan anak dengan menyedekahkan uang, makanan, atau pakaian kepada fakir miskin.

 

  1. Al-Fardiyah wal Ananiyah, egois mau menang sendiri.

Ibu harus mengetahui bahwa sifat seperti ini ada pada anak-anak. Dengan demikian, ibu berusaha mengarahkannya dengan sabar hingga si anak akhirnya bisa menghormati orang lain.

 

  1. Anak punya kebutuhan-kebutuhan

Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, pertumbuhannya akan terganggu atau akan muncul perangai yang buruk pada dirinya.

Di antara kebutuhan anak adalah:

  • Mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya
  • Memperoleh rasa aman, tidak ada kekhawatiran atau ketakutan yang terus menghantuinya.
  • Ingin dihargai dan diberikan kepercayaan. Apabila merasa tidak dihargai dan tidak diberikan kepercayaan, niscaya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri.
  • Ingin memiliki teman. Dalam hal ini, ibu perlu mencarikan teman yang baik untuknya. Teman yang bisa mendukungnya menjadi pribadi yang baik agar tidak bertentangan dengan tarbiyah yang ditanamkan kepadanya.

Cara Mentarbiyah Anak

Ketahuilah, seluruh cara yang kita lakukan dan upayakan kembali kepada salah satu dari beberapa jalan berikut ini.

 

  1. Sekadar mendiktekan perintah dan larangan

Misalnya dengan mengatakan kepada anak, “Tidak boleh begini, tidak boleh begitu”, “Lakukan ini dan itu.”

Sangatlah disayangkan, cara seperti ini sering dilakukan oleh banyak orang tua, padahal pengaruhnya kurang terasa.

 

  1. Menyampaikan perintah dan larangan disertai cara lain, seperti memberikan nasihat, atau memberikan targhib (memberikan harapan kepada kebaikan) dan tarhib (menakut-nakuti dengan hukuman).

Cara seperti ini lebih berhasil daripada yang pertama.

 

  1. Mencontohkan dan memberikan teladan.

Seorang ibu harus memerhatikan dan memperbaiki adab dan akhlaknya agar bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anak yang dididiknya.

Dia tidak boleh memerintahkan sesuatu, sementara dia sendiri tidak mengerjakannya. Jangan pula dia melarang sesuatu, tetapi dia sendiri mengerjakannya.

Misalnya, ibu menyuruh anaknya membaca al-Qur’an, sementara dia sendiri tidak pernah terlihat membuka lembaran mushaf apalagi membacanya.

Ibu mengajari anaknya untuk bersifat jujur dan melarang berdusta, tetapi ibu sendiri berdusta di hadapan anak-anaknya.

Ada pula beberapa hal penting yang perlu diketahui terkait pendidikan anak, di antaranya:

  • Kapan diperkenankan untuk memukul anak?

Pukulan memang termasuk sarana pendidikan. Akan tetapi, seorang ibu yang baik tentu tidak asal memukul anaknya.

 

  • Menakut-nakuti anak dengan sesuatu dan pengaruhnya bagi kejiwaan anak.

Untuk mendiamkan atau menenangkan anak, orang tua biasa menakut-nakutinya dengan sesuatu. Dalam hal ini orang tua harus mempelajari, sejauh mana hal tersebut berpengaruh pada kejiwaan anak.

  • Menjauhkan anak dari pergaulan dengan anak-anak yang tidak terdidik dengan baik dan teman-teman buruk yang dapat menyeretnya jatuh dalam kejelekan.

 

  • Mengikuti perkembangan belajar anak, apa yang sudah dipelajarinya, sejauh mana pemahamannya terhadap ilmu yang telah disampaikan kepadanya.

  • Mendidik anak perempuan agar memiliki rasa malu.

Di antaranya dengan menyuruh dan membiasakannya memakai kerudung sejak kecil.

  • Tidak bolehnya menampakkan pertentangan antara ayah dan ibu saat memberikan arahan kepada anak.

Misalnya, ayah memerintah anak untuk berbuat sesuatu, sementara ibu melarangnya. Hal ini akan menimbulkan kebingungan pada anak, siapa yang harus diikuti.

  • Ucapan dan perbuatan tidak boleh bertentangan.

Jangan sampai ibu berkata kepada anaknya, ‘Nak, kamu jangan menunda-nunda shalat!’ sementara anak melihat ibunya kerap menunda-nunda shalat.

 

  • Senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak dan menjaga lisan dari mendoakan keburukan untuk anak, apapun yang diperbuat anak yang membuat orang tuanya marah.

Hal-hal di atas perlu dipelajari lebih lanjut oleh seorang ibu yang ingin sukses mendidik anak-anaknya.

Apa yang kami tuangkan dalam ulasan di atas bukanlah dari pikiran kami sendiri, melainkan bimbingan seorang alim besar zaman ini, seorang murabbi (pendidik/pengajar) umat; Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah.

Beliau menyampaikan bimbingan di atas pada sebuah ceramah yang berjudul Daur al Mar’ah fi Tarbiyah al-Usrah (Peran Wanita dalam Mendidik Keluarga).

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas beliau dengan limpahan kebaikan.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah