Perbedaan Shabr, Tashabbur, Ishtibar, dan Mushabarah

Perbedaan istilah-istilah di atas dapat ditinjau dari keadaan seorang hamba dalam menerapkan kesabaran pada dirinya atau pada orang lain.

 Shabr

Menahan diri dan mengekangnya dari hal-hal yang tidak pantas disebut shabr (sabar), jika didasari oleh karakter asli dan akhlak bawaan.

 

Tashabbur

Jika menahan diri dan mengekangnya dengan memaksa diri, berlatih, dan berusaha menenggak pahitnya kesabaran, itu disebut tashabbur.

Hal ini ditunjukkan oleh bentuk kata tashabbur yang ditinjau dari ilmu etimologi bahasa Arab. Bentuk itu menunjukkan makna berusaha dan memaksakan diri, seperti kata tahallum (berusaha tenang), tasyajja’ (memberanikan diri), takarram (berusaha berderma), tahammul (berusaha memikul beban), dan semisalnya.

Apabila seorang hamba memaksa diri dan berupaya mendatangkan kesabaran, kesabaran akan menjadi sebuah kepribadian baginya. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ

“Barang siapa berusaha bersabar, Allah akan memberinya kesabaran.” (HR. al-Bukhari)

Demikian pula akhlak yang lain, seperti seorang hamba yang berusaha menjaga iffah (kehormatan), lambat laun sifat tersebut akan menjadi karakternya.

Apakah akhlak bisa diusahakan? Ini merupakan masalah yang diperselisihkan oleh manusia.

Apakah mungkin mengusahakan suatu akhlak atau sama sekali tidak mungkin? Seperti perkataan penyair,

يُرادُ مِنَ الْقَلبِ نِسْيَانُكُم

وَتَأْبَى الطِّبَاعُ عَلَى النَّاقِلِ

Hati ini diminta untuk melupakan kalian

tetapi tabiat tidak mampu melakukan

 

Penyair lain berkata,

يَا أَيُّهَا الْمُتَحَلِّي غَيْرَ شِيمَتِهِ

إِنَّ التَّخَلُّقَ يَأْتِي دُوْنَهُ الْخُلُقُ

        Wahai orang yang mencoba berhias dengan selain akhlaknya,

 Sesungguhnya usahamu meraih akhlak akan disusul akhlak aslimu.

 

Dikatakan pula,

فَقُبْحُ التّطَبُّعِ شِيْمَةُ الْمَطْبُوعِ

        Jeleknya mengusahakan tabiat adalah tabiat yang sudah tercetak

 

Golongan ini mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan akhlak, penciptaan, rezeki, dan ajal, maka hal tersebut tidak mungkin untuk diubah.

Golongan lain berpendapat bahwa akhlak itu mungkin diusahakan sebagaimana halnya akal, kehati-hatian, kedermawanan, dan keberanian dapat diusahakan.

Realitas di alam ini merupakan bukti nyata. Mereka mengatakan bahwa latihan akan menghasilkan kepribadian. Maknanya, barang siapa melatih dirinya dengan sesuatu dan membiasakannya, ia akan memiliki sebuah akhlak, karakter, dan tabiat.

Kebiasaan hidup akan mengubah tabiat. Jika seorang hamba terus-menerus bertashabbur (berusaha bersabar), kesabaran akan menjadi karakter dirinya. Demikian pula halnya jika dia selalu mengusahakan sikap hati-hati, ketenangan, kewibawaan, dan keuletan, semua itu akan menjadi akhlak dan tabiatnya.

Alasan lainnya, Allah ‘azza wa jalla telah memberi manusia kemampuan untuk menerima perubahan dan kemampuan untuk belajar.

Oleh karena itu, mengubah sebuah tabiat bukanlah mustahil. Akan tetapi, perubahan terkadang sangat lemah sehingga tabiat asalnya mudah muncul kembali dengan sedikit penyebab saja. Bisa jadi juga perubahan itu kuat, tetapi belum sepenuhnya berpindah dari tabiat asal sehingga akan muncul kembali jika penyebabnya sangat kuat. Terkadang pula, tabiat bisa berpindah sepenuhnya.

 

Ishthibar

Ishthibar lebih dari sekadar tashabbur. Secara etimologi, kata ishtibar merupakan bentuk ifti’al dari shabr, yang memiliki makna kontinuitas.

Tashabbur (berusaha sabar) adalah awal dari ishthibar (perjuangan bersabar), sebagaimana takassub (bekerja) adalah awal dari iktisab (profesi). Jika terus-menerus bertashabbur, jadilah ishthibar.

 

Mushabarah

Adapun mushabarah adalah menghadapi musuh dalam medan kesabaran.

Sebab, bentuk kata mufa’alah menunjukkan perbuatan yang melibatkan dua belah pihak, seperti musyatamah (saling mencela) atau mudharabah (saling memukul).

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah, bermushabarah, dan ribathlah kalian.” (Ali ‘Imran: 200)

 

Allah ‘azza wa jalla memerintahkan bersabar (terhadap dirinya sendiri), bermushabarah (terhadap seterunya), murabathah (komitmen dan kokoh dalam kesabaran dan mushabarah).

Seorang hamba terkadang bisa bersabar, tetapi tidak bisa bermushabarah. Bisa jadi, dia dapat bermushabarah, tetapi tidak bisa bermurabathah. Terkadang dia bisa bersabar, bermushabarah, dan bermurabathah, tetapi tanpa bertakwa.

Allah ‘azza wa jalla mengabarkan dalam kelanjutan ayat di atas, kunci semua itu adalah takwa, sedangkan kesuksesan dibangun di atas fondasi takwa.

وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٢٠٠

“Dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian beruntung.” (Ali ‘Imran: 200)

Kata murabathah, selain bermakna menjaga benteng pertahanan dari serangan musuh secara lahiriah, juga bermakna menjaga hati dari serangan setan dan hawa nafsu.

Wallahul Muwaffiq.

(diambil dari ‘Uddatush Shabirin wa Dzakhiratu asy-Syakirin hlm. 21—23 cetakan Darul Afaq al-Jadidah, Beirut)

ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar