Ruqyah Adalah Kesyirikan?

RUQYAH ADALAH KESYIRIKAN?

Pada edisi 99 hlm. 62, poin 4 tertulis, “Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan thiyarah adalah perbuatan syirik.” (HR. Abu Dawud, sahih) Pertanyaan saya, apakah ruqyah termasuk syirik?

08238XXXXXXX

Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi

 

Menjawab pertanyaan Saudara, kami katakan bahwa ruqyah ada dua macam. Ada yang mengandung kesyirikan dan ada yang tidak.

Sebab, pengobatan dengan ruqyah telah dilakukan juga oleh orang-orang jahiliah, yaitu pengobatan dengan bacaan atau mantra. Dengan datangnya Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ruqyah ala jahiliah, yaitu yang dengan mantra atau bacaan yang mengandung kesyirikan.

Pada saat yang sama, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan ruqyah dengan bacaan yang syar’i, misalnya dengan al-Qur’an atau doa yang diajarkan oleh Islam. Hal itu sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat berikut ini.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأ شْجَعِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ،لا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Kami dahulu meruqyah pada masa jahiliah. Kami mengatakan, Wahai Rasulullah, apa pandanganmu dalam hal itu?

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, Perlihatkan kepadaku ruqyah kalian. Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Muslim)

Yang mengandung kesyirikan artinya adalah ruqyah yang terdapat permintaan pertolongan kepada selain Allah ‘azza wa jalla. (Fathul Majid hlm. 147)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ruqyah, sebagaimana riwayat berikut ini.

نَهَى رَسُولُ اللهِ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ فَقَالُوا:  يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي بِهَاذ مِنَ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَعَرَضُوهَا عَلَيْهِ فَقَالَ: مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ruqyah dan adalah keluarga Amr bin Hazm memiliki bacaan ruqyah yang mereka pakai untuk meruqyah dari sengatan kalajengking. Mereka datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melarang dari ruqyah dan kami memiliki bacaan ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah dari sengatan kalajengking.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perlihatkan kepadaku bacaan ruqyah kalian.”

Mereka pun memerlihatkannya (membacakannya) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku lihat tidak apa-apa. Barang siapa di antara kalian yang mampu memberi manfaat kepada saudaranya, lakukanlah.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan yang lain. Lihat secara rinci dalam Silsilah ash-Shahihah, 472)

Tampak pula dalam riwayat di atas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ruqyah jenis tertentu dan pada saat yang sama membolehkan jenis yang lain.

 

Jenis Ruqyah yang Dilarang

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarah Muslim.

  1. (Ada sebuah pendapat) bahwa ruqyah dilarang kemudian beliau membolehkan bahkan melakukan dan ditetapkan dalam syariat bahwa itu boleh.
  2. Yang dilarang adalah ruqyah yang tidak diketahui maknanya.
  3. Larangan itu bagi mereka yang meyakini bahwa ruqyah itu dengan sendirinya memberi manfaat (tanpa kehendak Allah ‘azza wa jalla), seperti halnya yang diyakini oleh orang-orang jahiliah.

Di samping larangan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membolehkannya. Atas dasar itu al-Khaththabi mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah meruqyah dan pernah diruqyah, pernah memerintahkan dan pernah membolehkannya. Jika dengan al-Qur’an dan dengan menyebut-nyebut nama Allah ‘azza wa jalla, ini boleh atau bahkan diperintahkan. Dilarang atau dibencinya ruqyah hanyalah jika tidak menggunakan bahasa Arab. Sebab, bisa jadi lafadz yang dipakai ialah kata-kata kufur atau yang mengandung kesyirikan.”

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan, “Termasuk hal yang terlarang adalah yang dilakukan orang-orang jahiliah yang meyakini bahwa ruqyah tersebut dapat menghilangkan penyakit. Mereka meyakini hal tersebut adalah bantuan dari jin (makhluk halus).”

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seseorang tidak boleh meruqyah dengan menyebut semua nama yang tidak dikenal, lebih-lebih lagi berdoa dengannya. Sebab, berdoa dengan selain bahasa Arab hukumnya dimakruhkan. Itu hanya diperbolehkan bagi orang yang kurang bisa berbahasa Arab.

As-Suyuthi rahimahullah menyimpulkan bahwa ulama sepakat tentang bolehnya ruqyah selama memenuhi tiga syarat berikut.

  1. Menggunakan kalamullah atau dengan menyebut nama Allah ‘azza wa jalla dan sifat-Nya.
  2. Menggunakan bahasa Arab dan diketahui maknanya.
  3. Meyakini bahwa ruqyah tidak memberi manfaat dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah ‘azza wa jalla. (Fathul Majid, 147—148)

 

 

MENGHUKUMI SEBAGIAN IMAM AHLUS SUNNAH SEBAGAI AHLI BID’AH

Apa hukum menganggap sejumlah imam Ahlus Sunnah sebagai ahli bid’ah dengan alasan mereka terjatuh dalam kesalahan pada urusan akidah, seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan selain keduanya?

 Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab sebagai berikut.

 Barang siapa melakukan kesalahan, kesalahannya tersebut tidak boleh diambil. Kesalahan tetap tertolak, sebagaimana ucapan al-Imam Malik rahimahullah, “Tidak ada dari kita kecuali bisa diterima dan bisa ditolak, selain penghuni kubur ini.” Maksud beliau ialah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setiap ulama bisa salah dan bisa benar. Maka dari itu, kebenarannya diambil dan kesalahannya ditinggalkan. Apabila dia termasuk pemeluk akidah salafiyah namun terjatuh pada beberapa kesalahan, kesalahan itu ditinggalkan. Kesalahan tersebut tidak mengeluarkannya dari lingkup salafiyah selama dia dikenal mengikuti generasi salaf. Hanya saja, dia salah dalam menjelaskan beberapa hadits atau mengucapkan beberapa kalimat yang keliru. Ketika demikian, kesalahannya tidak diterima dan tidak diikuti.

Demikian pula halnya seluruh imam-imam agama—semisal asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, ats-Tsauri, al-Auza’i, atau yang selain mereka—ketika terjatuh dalam kesalahan. Kita ambil kebenaran yang ada pada mereka dan kita tinggalkan kesalahannya. Kesalahan (yang dimaksud di sini) ialah segala sesuatu yang menyelisihi dalil syariat, yaitu ucapan Allah ‘azza wa jalla dan ucapan Rasul-Nya. Tidak ada seorang pun yang boleh diambil kesalahannya yang menyelisihi dalil syariat. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)

Para ulama telah bersepakat bahwa ucapan setiap manusia bisa diambil dan bisa ditolak, selain ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, yang wajib ialah mengikuti syariat yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerimanya, dan tidak membantah  sesuatu pun darinya. Hal ini berdasarkan ayat di atas dan yang semakna dengannya. Demikian pula berdasarkan firman-Nya ‘azza wa jalla,

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/254—255)

 

HUKUM BERMUAMALAH DENGAN PENGANUT SYIAH

Saya seorang pengajar. Bersama kami juga ada beberapa pengajar penganut Syiah. Saya bekerja bersama mereka. Saya memohon nasihat Anda tentang bermuamalah dengan mereka.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin menjawab sebagai berikut.

Anda hendaknya menasihati dan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Anda ajari mereka bahwa menganut agama Rafidhah itu tidak diperbolehkan; memang kita wajib mencintai dan meridhai Ali radhiallahu ‘anhu, tetapi kita tidak boleh ghuluw (melampaui batas). Tidak boleh dikatakan bahwa Ali mengetahui perkara gaib dan maksum. Tidak boleh pula Ali dijadikan tujuan dipanjatkannya doa—bersama Allah—dan tidak boleh beristighatsah dengannya atau dengan Fathimah radhiallahu ‘anha, al-Hasan, al-Husain, Ja’far ash-Shadiq, dan selainnya.

Anda ajari mereka bahwa inilah yang wajib dilakukan. Anda nasihati mereka. Jika mereka bersikeras di atas bid’ah tersebut, Anda wajib meng-hajr (memboikot) mereka, meski mereka bekerja bersama dengan Anda. Anda meng-hajr mereka dengan tidak menjawab salam, tidak pula memulai mengucapkan salam kepada mereka.

Akan tetapi, apabila mereka tidak menampakkan bid’ah mereka dan secara lahiriah menampakkan kesamaan dengan Anda, mereka dihukumi sebagai munafik. Anda bermuamalah dengan mereka sebagaimana muamalah dengan orang munafik, tidak mengapa. Hal ini seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermuamalah dengan kaum munafik di Madinah yang menampakkan keislaman dan tidak berbuat jahat (kepada kaum muslimin); Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan mereka layaknya kaum muslimin sedangkan urusan batin mereka diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/265)

 

 HUKUM BERMAJELIS DENGAN AHLI BID’AH

Bolehkah kita duduk bermajelis dan belajar kepada ahli bid’ah serta berserikat dengan mereka?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab sebagai berikut.

Tidak diperbolehkan duduk bermajelis dengan mereka. Tidak boleh pula menjadikan mereka sebagai teman. Mengingkari kebid’ahan mereka hukumnya wajib, demikian pula memperingatkan mereka dari kebid’ahan. Kita memohon keselamatan kepada Allah ‘azza wa jalla.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/266)

 PERIBADATAN BERHALA DALAM ISLAM?

Kaum orientalis menuduh bahwa Islam masih menyisakan sebagian bentuk paganisme (peribadatan kepada berhala). Contohnya ialah mencium Hajar Aswad. Bagaimana cara membantah mereka?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab sebagai berikut.

Contoh yang disebutkan ini bukanlah paganisme. Hal itu adalah perintah yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan bagi kita demi sebuah hikmah yang terang. Hal tersebut sama sekali berbeda dengan kebiasaan jahiliah, bukan pula bentuk peribadatan jahiliah.

Allah ‘azza wa jalla menghadapkan perintah-Nya kepada para hamba-Nya sesuai apa yang Dia kehendaki. Apabila Allah ‘azza wa jalla telah memerintahkan sesuatu, hal itu pun menjadi syariat tersendiri, tidak ada hubungannya dengan kebiasaan jahiliah.

Ada beberapa kebiasaan jahiliah yang termasuk perkara yang baik dan ditetapkan oleh Islam. Di antara kebiasaan jahiliah adalah diyat (tebusan) berupa seratus ekor unta, dan ini dikokohkan oleh Islam. Di antara kebiasaan jahiliah adalah al-qasamah (sumpah 50 orang untuk menolak tuduhan pembunuhan atas mereka, -ed.), yang juga dikokohkan oleh Islam.

Demikian pula mencium Hajar Aswad dan menyentuhnya, hal ini termasuk mengagungkan Allah ‘azza wa jalla dan mencari keridhaan-Nya, bukan mencari berkah atau keridhaan dari Hajar Aswad. Hal ini adalah semata-mata menaati perintah Allah ‘azza wa jalla untuk menyentuh Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Allah ‘azza wa jalla menguji para hamba-Nya dengan perintah ini, apakah mereka taat atau bermaksiat. Apabila Allah ‘azza wa jalla memerintahkan sesuatu, mereka melaksanakannya.

Allah ‘azza wa jalla menetapkan perintah agar mereka menyentuh Hajar Aswad dan Rukun Yamani, sebagai bentuk cobaan dan ujian, apakah mereka mendengar dan menaatinya? Apakah mereka melaksanakan perintah yang disyariatkan oleh Allah kepada mereka atau tidak?

Oleh karena itu, ketika Umar radhiallahu ‘anhu mencium Hajar Aswad, beliau mengatakan, “Sungguh, aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu, tidak bisa memberi madharat dan tidak bisa memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu.”

Di antara kebiasaan jahiliah adalah memuliakan tamu. Memuliakan tamu masih ada dalam syariat Islam. Semua hal ini, dan akhlak mulia semisalnya yang dicintai oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta semua perkara terpuji lainnya, adalah kebiasaan jahiliah yang masih ada, bahkan ditetapkan oleh Islam.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/275—276)

BERSEDEKAH ATAS NAMA ORANG YANG PERNAH MENYEMBELIH UNTUK SELAIN ALLAH

Seseorang bertanya kasus berikut. Ayahnya dahulu menyembelih untuk selain Allah, menurut kabar yang disampaikan kepadanya. Dia sekarang ingin bersedekah dan berhaji atas namanya. Dia menganggap, sebab ayahnya terjatuh dalam perbuatan tersebut ialah karena tidak adanya ulama, orang yang membimbing, atau orang yang menasihati ayahnya. Bagaimana hukum dari semua hal ini?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab sebagai berikut.

Apabila ayahnya dahulu dikenal dengan kebaikan, keislaman, dan kesalehan, dia tidak boleh membenarkan orang—yang tidak dikenal ‘adalah (kebaikan dan kejujuran)nya—yang menukilkan kabar tentang perbuatan ayahnya itu kepadanya.

Disunnahkan baginya untuk mendoakan ayahnya dan bersedekah atas namanya, hingga dia tahu dengan yakin bahwa ayahnya meninggal di atas kesyirikan. Hal ini terwujud dengan adanya persaksian dua orang—atau lebih—yang baik dan tepercaya bahwa mereka melihat ayahnya menyembelih untuk selain Allah ‘azza wa jalla, yakni untuk para penghuni kubur atau lainnya; atau mereka mendengar ayahnya berdoa kepada selain Allah ‘azza wa jalla.

Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta izin kepada Rabbnya agar diperbolehkan memintakan ampunan bagi ibunya, namun tidak diizinkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Ibu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal pada masa jahiliah di atas agama kekafiran. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin agar dibolehkan menziarahi kuburnya. Ini menunjukkan bahwa orang yang meninggal di atas kesyirikan meski dia tidak tahu, maka tidak boleh didoakan, tidak boleh dimintakan ampunan, tidak boleh bersedekah dan berhaji atas namanya.

Adapun orang yang meninggal dalam keadaan dakwah belum sampai kepadanya, ini termasuk urusan Allah ‘azza wa jalla. Pendapat yang benar di kalangan ulama tentang orang yang seperti ini, dia akan diuji pada hari kiamat kelak. Jika taat, dia akan masuk surga; jika bermaksiat, dia akan masuk neraka. Hal ini berdasarkan hadits-hadits sahih yang menerangkan hal tersebut.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/289—290)