Sahabat Sejati dan Sahabat yang Harus Dijauhi

sahabat sejati

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَيۡنَاكَ عَنۡهُمۡ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطًا

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya pada pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia. Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melewati batas.” (al-Kahfi: 28)

Sebab Turunnya Ayat

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ayat ini serupa dengan ayat yang tersebut pada surat al-An’am ayat ke-52.”

Salman radhiallahu anhu berkata,

“Para mualaf yang telah dibujuk hatinya, yaitu Uyainah bin Hushn al-Fazari dan al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi, datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, andaikata engkau duduk di bagian depan majelis dan engkau singkirkan mereka, yaitu Salman, Abu Dzar, dan para fuqara muslimin. Mereka hanya mampu berpakaian dengan jubah wol (bulu domba), tidak ada selainnya. Jika demikian, kami akan duduk di majelismu, berbincang-bincang bersamamu, dan mengambil apa yang engkau katakan.”

Turunlah ayat ini. (Lihat Tafsir alQurthubi, 15/390; ath-Thabari, 15/236; al-Baghawi, 3/159; dan Zadul Masir, 5/132)

Baca juga:

Menjaga Hak Orang-Orang yang Lemah

Ibnu Katsir rahimahullah,  dalam Tafsir-nya (3/81), menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang terpandang, yakni para pemuka Quraisy. Mereka meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar hanya mereka yang duduk di majelis beliau shallallahu alaihi wa sallam. Orang-orang lemah dari kalangan sahabat, seperti Bilal, Ammar, Shuhaib, Khabbab, dan Ibnu Mas’ud tidak boleh duduk bersama mereka. Mereka meminta agar orang-orang lemah tersebut disendirikan di tempat lain. Kemudian turunlah ayat ini.

Penjelasan Mufradat Ayat

  • Firman Allah,

وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya.”

Kata “sabar” dalam ayat ini dimaknai oleh para ulama tafsir dengan al-habsu dan ats-tsabat, yaitu menahan, menetapi, dan menguatkan.

Maknanya, “Wahai Muhammad! Tahan, teguhkan, dan kuatkan dirimu, serta duduklah bersama dengan sahabat-sahabatmu; yaitu orang-orang yang selalu mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, dan selalu berdoa (beribadah) kepada Rabbnya pada pagi dan sore hari. Mereka adalah orang-orang mukmin, hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang kembali (bertobat) kepada-Nya, dan senantiasa mengingat-Nya.”

Baca juga:

Rahasia di Balik Kata Sabar

Sabar yang dimaksud dalam ayat ini adalah sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ia merupakan jenis kesabaran yang paling tinggi. Dengan sempurnanya (sabar jenis ini), akan sempurna pula jenis kesabaran yang lain. (al-Baidhawi, 3/493; ath-Thabari, 15/234; dan as-Sa’di, 1/475)

  • Firman Allah,

يَدۡعُونَ رَبَّهُم

“Menyeru Rabbnya.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Maksudnya. mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dengan bertahlil (mengucapkan kalimat (لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ), bertahmid (mengucapkan الْحَمْدُ لِلهِ), bertasbih (mengucapkan (سُبْحَانَ اللهِ), bertakbir (mengucapkan اللهُ أَكْبَرُ), berdoa, beramal saleh seperti menjalankan shalat fardu (shalat lima waktu), dan amalan lainnya.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya adalah ibadah secara mutlak, seperti mengerjakan shalat lima waktu secara berjamaah, berzikir, dan membaca Al-Qur’an. Demikian pula berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberi kebaikan (manfaat) dan dijauhkan dari kejelekan (mudarat).

Imam ath-Thabari rahimahullah, dalam Tafsir-nya (7/203-206), menjelaskan bahwa para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai ayat ini:

  1. Maknanya ialah mengerjakan shalat lima waktu secara berjamaah.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakhai, Mujahid, dan adh-Dhahhak.

Pada sebagian riwayat, Mujahid berkata, “Shalat yang diwajibkan, yaitu Subuh dan Asar.”

Diriwayatkan dari Qatadah, “Dua shalat, yaitu Subuh dan Asar.”

Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab, “Shalat Subuh.”

  1. Maknanya ialah zikrullah.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibrahim, dan Manshur.

  1. Maknanya ialah mempelajari Al-Qur’an dan membacanya.

Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Ja’far.

  1. Maknanya ialah berdoa dan beribadah.

Pendapat ini diriwayatkan dari adh-Dhahhak.

Kemudian, Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan,

“Yang benar dalam hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala melarang Nabi-Nya, Muhammad, mengusir orang-orang yang menyeru (berdoa) Rabb mereka pada pagi dan sore hari. Maka dari itu, makna ‘menyeru (berdoa) kepada Allah’ adalah beribadah dengan berbagai cara ibadah yang dianjurkan, seperti bertasbih, bertahmid, memuji, baik dengan ucapan maupun dengan gerakan anggota badan, mencakup perbuatan yang wajib (seperti shalat lima waktu) maupun yang nawafil (sunnah), yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga:

Ibadah yang Paling Utama

Oleh karena itu, bisa jadi, mereka mengerjakan semua makna doa atau ibadah tersebut secara keseluruhan. Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka, orang-orang yang menyeru-Nya pada pagi dan sore hari, dengan berbagai ibadah. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah menamai ‘ibadah’ dengan istilah ‘doa’.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ

Dan Rabbmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (Ghafir: 60)

Bisa jadi, makna ‘doa’ di sini adalah ibadah secara khusus. Namun, pendapat ini tidaklah lebih benar daripada pendapat sebelumnya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyifati mereka dengan ‘orang-orang yang senantiasa melakukan ibadah (secara umum)’. Jadi, tidak ada pengkhususan suatu ibadah tertentu yang mereka lakukan.

  • Firman Allah,

بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ

“Pada pagi dan senja hari.”

Kalimat ini bermakna istimrar (kebersinambungan, terus-menerus, dan tidak terputusnya) ibadah mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, pada seluruh waktu.

Ada pula yang memahami bahwa maknanya ialah mereka senantiasa menjaga shalat Subuh dan Asar. (Fathul Qadir, 3/281)

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,

“Waktu pagi dan sore disebutkan secara khusus karena pada umumnya kesibukan manusia terjadi pada waktu tersebut. Barang siapa ketika manusia sedang sibuk beraktivitas, ia justru menghadap (beribadah) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tentu ketika waktu luang dia lebih giat beramal (dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala).” (al-Qurthubi, 6/432)

As-Sa’di rahimahullah berkata,

“Dalam ayat ini juga terdapat sunnah berzikir, berdoa, dan beribadah pada kedua penghujung hari (pagi dan petang). Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah memuji mereka karena ibadah yang mereka lakukan pada pagi dan petang hari. Setiap perbuatan yang pelakunya dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala, hal itu menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mencintai perbuatan tersebut. Jika Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya, berarti Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkannya.”

  • Firman Allah,

يُرِيدُونَ وَجۡهَهُۥۖ

“Mengharap wajah-Nya.”

Kalimat ini menerangkan keadaan orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ikhlas (karena Allah). Dikaitkannya suatu ibadah dengan keikhlasan adalah sebagai peringatan bahwa ikhlas merupakan sendi (tiang) semua urusan.

Ada pula yang berpendapat bahwa maknanya adalah taat kepada-Nya dan ikhlas (beribadah hanya karena Allah); ikhlas beribadah dan beramal hanya karena Allah subhanahu wa ta’ala, menghadap hanya kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya.

Baca juga:

Syarat Diterimanya Amal

Sebagian ulama ada yang menafsirkan “mereka beribadah dengan mengharap kepada Allah” yang disebutkan dalam ayat, bahwa Allah memiliki wajah. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ

Tetapi, wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetaplah kekal.” (ar-Rahman: 27)

Demikian pula firman Allah,

وَٱلَّذِينَ صَبَرُواْ ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِمۡ

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Rabbnya.” (ar-Ra’d: 22) (lihat Tafsir al-Qurthubi dan al-Baidhawi)

  • Firman Allah,

وَلَا تَعۡدُ عَيۡنَاكَ عَنۡهُمۡ

“Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”

Kata تعد berasal dari kalimat:

أَعْدَاهُ وَعَادَهُ

Maknanya ialah berpaling. Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Janganlah kedua matamu memandang rendah mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, 10/391)

Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan,

“Janganlah kedua matamu melampaui mereka. Janganlah engkau merasa gelisah dengan penampilan mereka yang usang (lusuh). Jangan engkau merendahkan mereka karena adanya keinginan kuat (dalam dirimu) terhadap orang-orang kaya sehingga engkau berpaling dari mereka yang lemah/miskin.”

Dalam ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wa ta’ala melarang Nabi-Nya berpaling dari dari orang-orang mukmin yang lemah dan fakir, karena berharap besar kepada orang-orang kaya dan perhiasan kehidupan dunia yang ada pada mereka.

Az-Zajjaj berkata, “Maknanya, jangan kamu palingkan pandanganmu dari mereka (orang-orang miskin) kepada yang lain (orang-orang kaya) yang terpandang dan berpenampilan bagus.” (Adhwa’ul Bayan, 3/264)

  • Firman Allah,

تُرِيدُ زِينَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ

“Mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.”

Maksudnya, karena menginginkan kehadiran para pemuka yang malah ingin mengusir dengan paksa dan menjauhkan orang-orang fakir dari majelis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun tidak ingin melakukannya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala melarang beliau melakukannya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan ayat,

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu.” (az-Zumar: 65)

meskipun Allah subhanahu wa ta’ala telah melindungi beliau shallallahu alaihi wa sallam dari perbuatan syirik.

  • Firman Allah,

وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.”

Maksudnya, orang-orang yang Kami kunci mati hatinya.

Baca juga:

Qalbu Yang Selalu Mengingat Allah

Imam al-Qurthubi rahimahullah, dalam Tafsir-nya (10/392), meriwayatkan dari jalan adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau berkata,

“Ayat ini turun kepada Umayyah bin Khalaf al-Jumahi. Hal itu karena dia meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sesuatu yang beliau tidak menyukainya, yaitu memisahkan orang-orang fakir dari sisi beliau. Dia juga  meminta beliau shallallahu alaihi wa sallam untuk lebih dekat (bersahabat) dengan penduduk Makkah yang terkemuka. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini. Maknanya adalah orang-orang yang Kami kunci mati hatinya sehingga tidak mau bertauhid.”

Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Maknanya, janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir yang berusaha mengusir orang-orang yang senantiasa beribadah pada pagi dan petang hari.” (Tafsir ath-Thabari, 15/236)

  • Firman Allah,

وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ

“Serta menuruti hawa nafsunya.”

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

“Maksudnya, orang-orang yang tidak mau mengikuti perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-Nya; lebih mendahulukan hawa nafsunya daripada ketaatan kepada Rabbnya.”

As-Sa’di rahimahullah mengatakan,

“Maksudnya, orang-orang yang menjadi pengikut hawa nafsunya. Apa pun yang ia sukai, ia kerjakan. Ia juga berusaha untuk menggapainya walaupun dalam usahanya terdapat kebinasaan dan kerugian. Dengan demikian, ia telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sembahan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sembahannya, dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya? (al-Jatsiyah: 23)

  • Firman Allah,

وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطًا

“Dan keadaannya sudah melewati batas.”

Maknanya, sia-sia; berisi penyesalan, kebinasaan, dan menyelisihi kebenaran.

Ath-Thabari, dalam Tafsir-nya (15/236), mengatakan bahwa para ahli tafsir berselisih dalam memaknai ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa urusan mereka menjadi sia-sia, sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Amr dan Mujahid. Ada yang memaknainya dengan penyesalan, sebagaimana riwayat dari Dawud, sedangkan riwayat dari Khabbab memaknainya dengan kebinasaan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa maknanya ialah menyelisihi kebenaran.

Yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa urusan mereka menjadi sia-sia dan binasa. Hal ini berdasarkan suatu ucapan, “Si fulan telah melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam urusannya,” jika ia melampaui batas dan kadar kemampuannya.

Demikian pula, “seseorang yang urusannya berlebih-lebihan” adalah orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, yaitu dengan berbuat riya, sombong, dan merendahkan orang-orang yang beriman. Seorang yang berlebih-lebihan, ia telah berbuat melampaui batas yang akan membuatnya menyia-nyiakan kebenaran, yang akan berakhir pada kebinasaan.

Faedah yang Dapat Diambil

As-Sa’di rahimahullah berkata,

“Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Nabi-Nya dan selainnya agar menyabarkan diri ketika bersama orang-orang yang beriman, hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang kembali (senantiasa bertobat), dan orang-orang yang selalu menyeru Rabbnya pada pagi dan sore hari, yaitu pada awal dan akhir hari.

Mereka melakukan hal itu hanya untuk mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka sebagai orang-orang yang beribadah dan melakukannya dengan keikhlasan.

Perintah untuk bersahabat dengan orang-orang yang baik, kesungguhan jiwa dalam bersahabat dengan mereka, upaya membaur serta berkumpul dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang fakir, karena bersahabat dengan mereka memiliki faedah dan manfaat yang tidak bisa dihitung.

Baca juga:

Memilih Teman, Membentengi Keyakinan

Ayat ini juga menunjukan bahwa orang yang seharusnya ditaati dan menjadi imam (pemuka manusia) ialah orang yang hatinya penuh dengan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan diungkapkan dengan lisannya. Dia tekun mengingat Allah, mengikuti keridhaan Rabbnya, dan mendahulukan kecintaan (kepada Allah) daripada hawa nafsunya.

Semua itu ia jaga setiap waktu. Ia memperbaiki keadaan dirinya sehingga seluruh keadaannya menjadi baik. Semua perbuatannya di atas keistiqamahan. Dia selalu mengajak manusia kepada apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepadanya. Karena itu, pantaslah ia diikuti dan dijadikan sebagai imam atau pemuka.” (Tafsir as-Sa’di, 1/475)

Penutup

Abul Barakat Badruddin Muhammad bin Muhammad al-Ghazzi ad-Dimasyqi berkata, dalam kitabnya, AdabulIsyrah (hlm. 19 dan 51),

“Di antara adab dalam pergaulan adalah ikhlas dalam bersahabat, yaitu memperhatikan pergaulan dengan temannya, menginginkan kebaikan untuk mereka, dan bukan mengikuti keinginannya. Dia berupaya untuk selalu menunjukkan jalan yang benar, bukan semua jalan yang disenanginya.”

Baca juga:

Memilih Teman Duduk

Abu Shalih al-Murri rahimahullah mengatakan,

“Mukmin yang baik adalah yang menemanimu dengan cara yang baik. Dia menunjukimu jalan kebaikan bagi agama dan duniamu. Adapun orang munafik adalah orang yang menemanimu dengan mencari muka dan berdusta, serta selalu menuntunmu menuju seluruh keinginanmu (menurut seleramu). Orang yang maksum hanyalah orang yang mampu membedakan dua keadaan ini.”

Beliau juga berkata, “Di antara adab berteman adalah tidak berteman dengan orang yang menyelisihimu dalam hal iktikad (keyakinan). Yahya bin Muadz berkata, ‘Barang siapa yang akidahmu berbeda dengan akidahnya, hatimu akan berbeda pula dengan hatinya’.”

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin